separuh bulan berlabuh menudungi ubun hari yang lelah...
gurat kenangan bagai saat pertama...
terkatup membiru dan murung melengkung pilu...
di atas telaga bening yang tenang sisa malam menitikkan bisik...
sekuntum cinta putih masih terselip di harum hitam rambutmu...
sekian patah kata diguraskan meski hati menjadi gusar...
siapa kuasa mengusap tajam wajah pedang...
meski kelu mulut mengulum pahit empedu...
bagai mengeja sebuah sajak...
selalu saja ada yang tak tergapai...
bening bola mata yang kerap kupandangi di bawah bulan...
kini telah muram terpejam kelopaknya...
harum yang terburai ketika bunga-bunga bangun...
kini abai terkulai memeluk mimpi-mimpi lena...
tubuhku rindu berbincang dendang merdu gelak tawamu...
di tengah danau ada sepi terapung...
seperti engkau yang memberiku senyap bisu...
tinggal angin meraung sendu...
dingin meringkus tubuh dalam kidung sunyi...
menyisakan lembut dari belai...
aku akan berjaga dekat jendela...
meski senja berulangkali meninggalkanku...
seperti logika yang tak pernah mati...
meraung hingga pecah kerongkongan...
dan keangkuhan terlalu kokoh untuk di robohkan...
hujan angin menjerit malam...
tetapi lebih nyaring lengking rindu hamba...
di atas serakan kerak setipis ari dari segumpal api...
akhirnya tergulung dan usai oleh sebuah sebab yang bernama tradisi...