Perkumpulan Advokat Indonesia (Peradi) mendukung penuh upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk membersihkan korupsi peradilan yang masih marak terjadi. "Pengadilan yang bersih, fair dan berkeadilan juga menjadi tujuan para anggota Peradi," tegas Ketua Bidang Peradi Bidang Organisasi Peradi, AJ Harris Marbun, saat dihubungi Kamis (23/7).
Menurut Harris, korupsi peradilan sangat berbahaya bagi pencari keadilan, karena pihak yang tidak bersalah sangat mungkin akan menjadi korban atau dikorbankan. Ia menambahkan, peradilan yang korup akan cenderung mengorbankan rakyat kecil yang tidak punya kemampuan finansial, akses dan informasi yang memadai.
Namun dia mengatakan, banyaknya kasus korupsi peradilan yang melibatkan advokat tidak berarti profesi ini korup. Pasalnya masih banyak advokat yang memiliki integritas, independen dan menjalankan profesinya dengan standar profesionalisme yang tinggi.
"Upaya untuk membersihkan korupsi peradilan harus melibatkan banyak pihak, tidak mungkin hanya menuntut advokat agar bertindak fair, jujur dan independen jika perangkat hukum lainnya tidak punya komitmen yang sama. Peradi memiliki komitmen untuk menciptakan peradilan yang bebas korupsi dan berkeadilan untuk semua golongan masyarakat," imbuh Harris.
Kasus korupsi peradilan kembali mencuat menyusul aksi tangkap tangan yang dilakukan KPK terhadap pengacara dari kantor pengacara OC Kaligis dan majelis hakim di PTUN Medan. Dalam kasus ini OC Kaligis dan Yagi Bhastara telah ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK bersama dengan Ketua PTUN Medan Tripeni Irianto Putro, Hakim Anggota Amir Fauzi, Hakim Anggota Dermawan Ginting, dan panitera PTUN Medan Yusril Sofian.
Ketua Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (ILUNI-FHUI) Melli Darsa mengatakan, kasus suap yang diduga melibatkan kantor pengacara OC Kaligis telah mencoreng wajah advokasi Indonesia. Jika kasus ini tidak segera ditangani, masyarakat akan mempertanyakan berbagai kasus lain apakah diputuskan berdasar keadilan hukum atau karena praktik gratifikasi advokatnya.
"Kita mengingatkan semua advokat bahwa profesi ini adalah pembela hukum, bukannya kasir gratifikasi apalagi korupsi,” kata Melli Darsa.
Terkait penetapan OC Kaligis sebagai tersangka gratifikasi peradilan, sejumlah aktivis hukum meminta Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan lebih ketat terhadap kasus yang kini ditangani oleh kantor pengacara ini. Salah satunya yang sangat kontroversial adalah gugatan perdata senilai US$ 125 juta atau sekitar Rp 1,6 triliun terhadap Jakarta Intercutural School (JIS).
"Pengawasan terhadap kasus-kasus yang melibatkan kantor pengacara itu harus diperketat. Korupsi peradilan ini adalah masalah mental," tandas Choirul Huda, Guru Besar Universitas Muhamadiyah Jakarta beberapa waktu lalu.
Dalam kasus JIS, OC mewakili TPW, ibu MAK, salah satu murid di JIS yang mengaku mengalami kekerasan seksual. Dalam persidangan perdata terungkap sejumlah kejanggalan dalam kasus ini. Di antaranya adalah keterangan tertulis dari Dr. Osmina dari RSPI yang menyatakan bahwa TPW telah menyalahgunakan surat rujukan yang dia keluarkan. Surat yang harusnya digunakan untuk mengurus klaim asuransi MAK, justru digunakan TPW sebagai bukti adanya kasus kekerasan seksual terhadap MAK.
Celakanya, surat keterangan RSPI tersebut dijadikan dasar oleh majelis Hakim untuk memvonis 5 pekerja kebersihan PT ISS dengan pidana penjara 7-8 tahun dan denda Rp 100 juta. Padahal sejak awal bukti medis adanya kasus kekerasan seksual tidak pernah terungkap. ***