Ujian nasional masih menjadi momok yang menakutkan bagi para pelajar Indonesia. Bagaimana tidak menakutkan? hasil belajar selama tiga tahun hanya ditentukan kelulusannya dalam waktu yang singkat yaitu hanya empat hari. Dari dasar sederhana itu, saya sebagai pelajar terkadang berfikir apakah perlu diadakan ujian nasional? Awalnya saya merasa ujian nasional bukanlah hal yang sangat tidak perlu karena ujian nasional saya kira hanya sebatas permainan dalam kreativitas menggunakan trik-trik menyontek. Walaupun beredar berita bahwa pemerintah menyatakan ujian nasional bebas dari bocoran kunci jawaban tapi saya sangat tidak yakin. Bukan hal yang rahasia lagi bahwa ada oknum-oknum yang memang sengaja menjual kunci jawaban dengan harga yang luar biasa menggiurkan. Bahkan diantara oknum-oknum tersebut ada orang yang "bertukar ilmu dengan siswa di sekolah". Sebelum UN siswa sudah dibekali materi UN melalui pelajaran tambahan di sekolah. Menebak-nebak buah manggis mana kiranya nanti soal yang akan keluar di UN. Mempelajari kisi-kisi yang dikeluarkan pemerintah. Try out UN hingga beberapa kali sudah dilakukan. Namun, usaha tersebut seperti tiada daya yang sangat mudah dikalahkan oleh mudahnya memperoleh kunci jawaban. Siswa juga seperti dilonggarkan dalam mengerjakan ujian nasional dengan peraturan yang ada. Pengawas tidak boleh berkeliling, hanya dipersilahkan duduk manis dikursi pengawas. Imbasnya terasa seperti bebas karena dapat mengeluarkan "catatan kecil" dengan mudah. Guru yang biasanya mengawasi ujian semester sangat tegas bisa menjadi sangat lunak bahkan tidak berdaya dalam mengawasi ujian nasional. Jadi, nilai UN dengan dasar ketidakjujuran apakah perlu diapresiasikan? Setelah berfikir lanjut saya merasa hasil UN tidaklah berguna secara signifikan. Bagi siswa SMA nilai UN hanyalah sebatas menjadi hiasan di ijazah sebagai tanda lulus SMA. Seberapapun tingginya nilai UN tak mempengaruhi dalam seleksi masuk perguruan tinggi negeri. Apakah itu pertanda perguruan tinggi negeri tidak percaya dengan hasil UN? Saya rasa iya, perguruan tinggi negeri lebih percaya pada nilai raport melalui SNMPTN Undangan atau tes langsung melalui SNMPTN tulis. Hal utama dari yang saya ungkapakan diatas adalah saya merasa tidak perlu diadakan UN karena Mahkamah Agung (MA) telah menyatakan UN dinilai cacat hukum dan pemerintah dilarang menyelenggarakan UN . Namun, kenapa hingga tulisan ini dipublis masih saja UN dilaksanakan? Padahal, UN banyak menuai pro dan kontra bagi masyarakat. Masalah ketidakjujuran dalam mengerjakan UN, masalah pemerataan soal UN ditengah sangat timpangnya perbedaan fasilitas dan tenaga pendidik didaerah terpencil dengan kota besar dan masalah lainnya apakah tidak cukup untuk menghentikan UN? Terkadang saya berprasangka buruk kepada oknum penyelenggara UN, mungkin UN hanya menjadi proyek demi memperoleh sedikit dari pundi-pundi uang yang dikuncurkan pemerintah hingga lebih dari 500 miliyar rupiah. Jadi tak salah jika siswa merasa hanya menjadi boneka percobaan demi proyek pemerintah yang masih carut marut ini. Saya rasa penentuan hasil belajar dalam beberapa hari tidaklah etis. Saya lebih setuju apabila guru yang menentukan siswa lulus atau tidak, karena guru lebih dapat menilai apakah siswa layak lulus atau tidak. Lagipula saya rasa ungkapan saya tersebut senada dengan
Pasal 58 ayat 1 yang berbunyi “evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan“.
KEMBALI KE ARTIKEL