Siapa bilang belajar di sekolah internasional berarti melupakan bahasa ibu? Siapa bilang bersekolah di sekolah internasional berarti mengesampingkan nilai-nilai sejarah dan budaya negeri sendiri? Jika Anda termasuk orang yang masih memiliki stigma negatif tentang sekolah internasional sehubungan dengan pengembangangan nasionalisme dalam diri siswa, sebaiknya Anda membaca artikel ini terlebih dahulu.
Pada 24-26 Februari 2012 lalu, sejumlah 30 siswa dan 4 guru dari Sekolah Pelita Harapan International Lippo Village (SPHI -LV) mengadakan sebuah study tour sebagai tindak lanjut dari pembelajaran novel trilogi karya Ahmad Tohari yang berjudul “Ronggeng Dukuh Paruk”. Adapun novel ini telah dipelajari selama beberapa minggu dalam pelajaran Bahasa Indonesia (Language A – High Level) dan menjadi bahan diskusi yang sangat menarik, baik di dalam maupun di luar kelas. Rombongan yang beranggotakan siswa-siswi kelas 11 dan 12 ini begitu antusias dalam menjalani kegiatan study toursebab dalam caranya yang unik kegiatan ini telah membawa mereka pada sebuah pemahaman yang lebih jauh mengenai bahasa, budaya, dan sejarah bangsa mereka sendiri.
Mengunjungi Tempat Tinggal Sang Penulis
Setelah menikmati perjalanan yang begitu menyenangkan dengan kereta api selama lima jam, rombongan SPH-LV sampai di stasiun kereta api Purwokerto. Sepanjang Jumat malam, rombongan tersebut beristirahat di sebuah hotel di kota kecil nan asri ini. Keesokan harinya, yaitu pada hari Sabtu, rombongan langsung pergi ke rumah Bapak Ahmad Tohari untuk “berdiskusi” tentang berbagai hal menarik seputar buku, karir, dan kehidupan beliau. Tampak bahwa siswa-siswi sangat tidak sabar untuk segera bertemu dengan penulis idola mereka.
Begitu sampai di rumah Bapak Ahmad, rombongan disambut dengan keramahan dan kehangatan yang luar biasa. Hal tersebut begitu tampak dari cara Bapak Ahmad beserta istrinya yang mempersilakan masuk dan memberi suguhan ala daerah setempat yang begitu baik. Acara diskusi menjadi semakin menarik ketika beliau mempersilakan peserta untuk bertanya.
Satu hal yang banyak dibicarakan pada acara tersebut adalah bagaimana proses kreatif kepengarangan trilogi tersebut terjadi dan bagaimana relevansi, signifikansi, dan hubungan antar tokoh dalam merepresentasikan sejarah pada jaman G 30 S/ PKI, sebagai latar waktu di daerah Banyumas dan sekitarnya, sebagai latar tempat trilogi tersebut.
Acara kunjungan ke rumah penulis diakhiri dengan rangkaian penandatanganan buku. Yang membuat para rombongan lebih bersemangat lagi adalah ketika Bapak Ahmad Tohari mengajak rombongan untuk ikut serta mengunjungi makam Ki Bonokeling yang menjadi salah satu inspirasi trilogi tersebut. Ternyata daerah-daerah sekitar makam itu pulalah yang dijadikan sebagai lokasi syuting film “Sang Penari”. Desa Pekuncen, Banyumas adalah sebuah desa yang menjadi inspirasi penulis untuk mengerjakan trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk”.
Menari Bersama Para Ronggeng
Kunjungan dilanjutkan dengan menelusuri kawasan pedesaan terpencil di daerah Banyumas, setelah melewati jembatan sungai besar nan elok, Serayu. Di sana, rombongan belajar cara menabuh calung, gendang, dan menggunakan beberapa alat musik khas Banyumasan.
Dengan didampingi petugas dinas kebudayaan setempat, acara ini menjadi semakin meriah karena rombongan tidak hanya belajar sejarah ronggeng. Rombongan juga diberi kesempatan untuk menonton berbagai tipe tarian ronggeng, dari yang klasik sampai ke kreasi. Hal yang paling mengasyikkan adalah ketika rombongan diperbolehkan untuk belajar menari bersama-sama.
Menikmati Malam yang Ramai Khas Yogyakarta
Pada malam harinya rombongan menghabiskan malam di daerah Alun-alun Kidul, Yogyakarta. Hal ini adalah kesempatan langka bagi siswa-siswi yang sebagian besar anak didik yang lahir dan besar di kota metropolitan. Siswa-siswi begitu menikmati kesempatan untuk bermain becak dan sepeda dengan lampu warna-warni. Tak jarang, mereka juga saling berlomba untuk mengayuh sepeda-sepeda unik tersebut dengan cepat.
Sepertinya malam itu menjadi malam yang luar biasa karena mereka bisa menikmati jajanan yang tersedia di pinggiran jalan. Menikmati hidangan lesehan dan bermain gasing udara yang berkelap-kelip juga terlihat sebagai pengalaman yang tak terlupakan. Harap maklum , kebanyakan dari mereka datang dari keluarga menengah ke atas yang sebenarnya miskin pengalaman tentang kehidupan rakyat pada umumnya. Rupanya kegiatan ini juga menjadi sebuah sarana yang baik untuk mengenalkan kepada mereka tentang kehidupan di luar “dunia mereka” yang sesungguhnya.
Menelusuri Jejak Peradaban yang Agung dari Masa Silam
Keesokan harinya rombongan menjelajah Candi Borobudur, Magelang. Diawali dengan menonton film tentang Borobudur, hati para siswa tergerak untuk melihat kompleks candi raksasa tersebut secara lebih dekat. Film tersebut sangat membantu memberikan prior knowledge kepada siswa tentang candi tersebut.
Dengan bantuan seorang tour guide, para siswa begitu antusias untuk mengetahui sejarah dan filosofi Borobudur. Ternyata ada beberapa hal baru yang membuat mereka terkagum-kagum (selain dengan keindahan candi tentunya). Tradisi merogoh patung Budha yang ada di dalam stupa sudah bukan menjadi rahasia lagi. Banyak orang yang melakukannya dengan alasan untuk mendapatkan keberuntungan. Saat ini tradisi itu harus dihentikan karena pasca erupsi Merapi telah membuat candi terlapisi zat kimia yang akan membuat batu-batu candi semakin mengeropos. Yang membuat siswa terkagum-kagum adalah tour guide menjelaskan filosofi dibalik “merogoh patung Budha”.
Yang pertama, dengan berusaha menyentuh patung Budha, orang akan berusaha sebisa mungkin sebab jarang sekali orang bisa menyentuh bagian tangannya yang susah dijangkau. Itu artinya manusia harus pantang menyerah di dalam menggapai mimpinya. Yang kedua, ketika mengalami kesulitan menyentuh patung tersebut, orang biasanya akan mencoba melalui lubang yang lain. Ini berarti ketika satu jalan sudah ditempuh namun tidak berhasil, maka manusia harus mencoba jalan lain untuk sukses.
Begitulah perjalanan singkat akhir pekan yang dialami rombongan siswa-siswi SPHI-LV. Di sinilah mereka belajar bagaimana menghargai bahasa, sejarah, budaya dan seni negeri sendiri. Study tour memberikan pengalaman yang nyata dan berharga bahwa hidup ini tidak sekedar apa yang dialami masing-masing pribadi. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu membawa siswa kepada dunia yang berbeda dengan dunia mereka, menuntun siswa dengan perspektif yang berbeda, dan tentunya sanggup mendidik karakter yang mampu mengaplikasikan segala ilmu teoritis yang sudah siswa dapatkan. Terbukti pula bahwa sekolah internasional pun juga dapat mendidik rasa nasionalisme pada jiwa siswa-siswanya.
Akhir kata, think globally, act locally!
Salam,
Clarasia Kiky Puspita Anggraeni