Jokowi berjanji akan memberi 'Jakarta Baru'. Semua orang berdoa untuknya. Saya yang nyaman-sejahtera tinggal di Blora pun berdoa untuknya, untuk 'Jakarta Baru'. Kemudian, sebagian dari saudara-saudara kita mulai meragukan Jokowi: Apakah setelah menang dan menjabat gubernur dia akan maju ke Pilpres? Apakah Pilgub hanya sebatas batu loncatan menuju RI1? Maka, demi menjawab keraguan orang dan meyakinkan semua orang, dia berteriak lantang berjanji, akan berkomitmen memperbaiki Jakarta selama lima tahun (1 periode).
Teriakan janjinya itu mampu meyakinkan semua orang di seluruh pelosok negeri. Bahkan semut dan macan pun terkesima. Maka, Jokowi menang dalam Pilgub. Dukungan untuknya tidak hanya sampai disitu. Dukungan terus mengalir setelah dia dilantik. Saya pun pernah bikin lagu untuk menguatkannya ketika mendapat 'hadangan' saat menata PKL:
Si Joko dari tanah Jawi
Kini memimpin tanah Betawi
Orangnya cungkring sikapnya lugu
Bikin kepala preman pada ngelu
Si Joko oh Si Joko
PKL sono tak mirip di Solo
Si Joko oh Si Joko
Semoga kuat dan tetap widodo
Kemudian, waktulah yang menunjukkan pada kita semua, seperti apa Jokowi. Setelah gaya menampik atas pertanyaan orang tentang capres, yakni "copras capres! nggak mikir!" yang terkenal itu, lha kok dia kemudian dengan bangganya menjadi capres sembari menginjak-injak teriakan janjinya sendiri?
Mulai saat itulah banyak orang, termasuk saya, tersadar. Jokowi tak pantas saya sebut sebagai orang lugu. Hebat! Saya yang biasa menciptakan seribu-satu karakter untuk cerita dan naskah drama pun terkecoh! Ternyata bukan Jokowi yang lugu, melainkan sayalah yang lugu! Dan benar kata pepatah lama bahwa "bukan orang bodoh, tapi orang lugu dan jujurlah yang akan selalu tertipu karena ia menganggap orang lain sama lugu dan jujurnya". Sungguh! Betapa Jokowi sangat layak mendapat Piala Citra untuk segala akting-aktingnya yang menawan!
Ketika orang mengingatkan teriakan janjinya saat kampanye Pilgub, para relawan Jokowi serentak membelanya dengan mencari seribu-satu pembenaran. Padahal, ketahuilah, seribu-satu alasan pembenaran itu tidak akan mengubah apapun. Jokowi tetap menjadi sosok calon pemimpin yang terbukti berlaku bohong. Nah, apakah kita akan menaruh harapan pada sosok calon pemimpin yang terbukti berlaku bohong? Silahkan jika para relawan dan simpatisan Jokowi tetap menaruh harapan padanya. Silahkan saja, itu akan semakin menunjukkan bahwa standar saya dan kalian berbeda.
Apakah penilaian saya terhadap Jokowi hanya sebatas itu? Nah, perlahan namun pasti, sosok Jokowi yang sebenarnya terkuak. Setelah jadi capres, lalu Pileg yang hasilnya tak sesuai bagi PDIP, dia mulai mondar-mandir meninggalkan kesehariannya sebagai gubernur demi menyambangi markas-markas parpol -- yang langkah ini disebutnya sebagai membangun koalisi tanpa bagi-bagi kursi yang diperhalus lagi dengan istilah penggalangan kerjasama tanpa syarat. Tentu saja, sontak banyak orang mengingatkan dan mengkritik akan itikad beserta langkah-langkahnya ini.
Tapi, agaknya dia tidak mau mendengar saran dan kritik dari orang lain termasuk dari pakar dan pengamat politik waktu itu. Dia tetap kukuh dengan blusukan politiknya. Jadi, bagaimana saya bisa menaruh harapan pada seorang calon pemimpin yang terbukti tidak mau mendengar saran serta kritik? Silahkan bagi kalian para relawan dan simpatisan Jokowi tetap menaruh harapan padanya. Kita tidak perlu berdebat, karena saya dan kalian punya standar yang berbeda.
Hari berganti hari, dan semakin paham pula saya tentang siapa Jokowi. Dia adalah orang yang sangat mudah berjanji. Apapun yang diharapkan orang dia selalu menyanggupinya. Tentu dengan disertai gaya yang 'asal nyelekop' seolah persoalan yang dihadapinya kelak akan selesai hanya dengan membalikkan telapak tangan. Bagaimana tidak? Mari kita baca petikan berita ini:
[[Bagaimana tanggapan capres dari PDIP Jokowi terkait tragedi yang akhirnya memantik kemarahan mahasiswa dan rakyat sehingga menimbulkan kerusuhan massal itu? "12 Mei? Memangnya ngapain 12 Mei?" ucap Jokowi di sebuah restoran di kawasan Menteng Jakarta Pusat, Senin (12/5/2014).
Setelah dijelaskan apa yang terjadi pada 16 tahun lalu, Jokowi pun baru tanggap. Ia berjanji bila dirinya menjadi presiden akan menuntaskan kasus tersebut seluruhnya.
"Ya mestinya semua dituntaskan. Artinya, di selesaikan dong semuanya," kata Jokowi.
Lalu, apa langkah Jokowi untuk menyelesaikan kasus tersebut, mengingat peristiwa tersebut diduga melibatkan para purnawirawan Jenderal yang sampai saat ini masih eksis di dunia politik? Mantan Walikota Solo itu tak menjelaskan lebih rinci.
"Ya diselesaikan, pokoknya diselesaikan. Orangnya bisa dicari, di mana? Diselesaikan," tukas Jokowi.]]
Tidak hanya itu, ketika ditanya apakah dia akan mencari Wiji Tukul dan bagaimana caranya, dia menjawab dengan begitu mudah: "Ya, harus dicari. Dicari."
Ya Tuhan! Betapa hebat ini olang belnama Jokowi! jangan-jangan begitulah kata Wiji Tukul dari tempatnya yang entah di mana.
Akhirnya, saya hanya mampu mengingatkan pada diri saya sendiri, bahwa Indonesia tidak hanya berumur 5 tahun ke depan. Setelahnya, masih ada hari-hari panjang yang melelahkan. Hari-hari panjang saat generasi selanjutnya mengembleng diri sebelum muncul sebagai sosok pemimpin yang sebenarnya, dan sama sekali bukan sosok pemimpin yang jadi-jadian.
Lantas apa yang bisa saya perbuat untuk negeri ini mengingat saya bukan siapa-siapa? Tepat di hari ketika Jokowi dicapreskan pada bulan Maret yang lalu, saya bertekad bulat untuk tidak memilihnya. Memilih Jokowi sama halnya saya mengajari anak-cucu saya menjadi sosok calon pemimpin yang mudah berjanji mudah mengingkari dan tidak mau mendengar saran serta kritik!
Saya tutup tulisan ini dengan hasil perenungan sederhana tadi pagi: Kebohongan seorang kepala desa akan menyakiti tanah-air-udara beserta manusia satu desa. Kebohongan seorang bupati akan menyakiti tanah-air-udara beserta manusia satu kabupaten. Kebohongan seorang gubernur akan menyakiti tanah-air-udara beserta manusia satu provinsi. Dan kebohongan seorang presiden tidak hanya akan meluluhlantakkan seisi negeri, tapi juga menenggelamkan setiap generasinya.
Salam. Rahayu.
Ciu Cahyono
Blora, 8 Juni 2014