Seperti yang kamu inginkan, seharusnya aku hanya mengucapkan selamat malam
Bukannya… selamat tinggal
***
“Maaf. Aku harus pergi Beth. Aku harus meninggalkanmu sendiri.” Kata-kata itu terasa pahit dilidahku.
“Tapi apa alasannya?” wajahnya membuatku tak sanggup untuk menatapnya lebih lama.
“Aku harus meraih mimpiku.”
“Dengan cara meninggalkanku?” ada isak dalam suaranya. “Apa salahku?” bisik lirihnya membuatku sedih.
“Kesalahanmu hanya satu, terlalu mencintaiku, yang tak pantas untuk diberi cinta sebesar itu” Aku tak berani menatap matanya yang kini kuyakini pasti berkaca-kaca. Mata indah itu indah, andai saja tanpa air mata. Mata itu indah, karena aku tak hanya melihat dirinya yang sebenarnya di sana, tapi juga segala hal yang kubutuhkan darinya.
“Tapi kenapa? Tolong katakan, mengapa aku tak boleh mencintaimu seperti yang seharusnya, kamu pantas dicintai, lebih daripada ini.” Sekarang dia memelukku erat, seakan takut kehilangan, sebenarnya, aku takkan menghilang, aku hanya akan berada jauh dari jarak pandangnya. Aku mengerti kekhawatirannya, jadi aku membalas pelukannya dan membelai lembut rambutnya, lalu menghadiahkannya sebuah ciuman hangat di puncak kepala. Setelah cukup meresapi pelukan itu, aku melepaskannya dengan canggung.
“Please…baby don’t say good bye, baby just say good night.” Lalu dia mengecup ringan pipiku, rasanya hangat tapi tak nyaman, seperti goresan luka saat bibir itu menyentuh kulitku.
Belum sempat aku mengucapkan kata perpisahanan dia berbalik, lalu menutup pintu dengan cepat, aku tau di balik pintu dia akan menangisi kepergianku. Dalam hati aku tau bahwa dia tak ingin melihatku melangkah pergi, dia lebih suka bila saat ini seperti malam-malam kami yang lalu, saat aku hanya mengucapkan selamat malam dan esok kita bertemu, tapi maaf aku tak bisa menjanjikan hal itu. Ucapan selamat tinggal memang harus diucapkan.
***
Berat dan menyakitkan saat aku harus melangkahkan kaki untuk menjauh, tapi ini baik untukku dan juga baik untuknya. oh Tuhan apa yang harus kulakukan, di satu sisi aku menyiksa diriku, di sisi lainnya aku justru membuka jalan demi kebaikan gadis yang sungguh-sungguh kucinta.
***
“Akan lebih baik bila Beth bersamaku” Pria itu menatapku, mencoba meyakinkanku dengan cara lelaki sejati, dan yah tentu saja, dia memiliki segala kriteria itu. Daniel punya segala hal yang diinginkan wanita. “Kamu tau betapa aku mencintainya, dan jika kamu sungguh-sungguh mencintai Beth, kamu tau apa yang harus kamu lakukan”
“Itu akan menyakitinya” kataku pelan sambil membayangkan wajah rapuh Beth “dan juga menyakitkanku” tambahku dalam hati.
“Pikirkanlah” Daniel berkata dalam nada bosan dan langsung meneguk habis Wine yang ada dalam gelasnya. “Impian besar setiap gadis adalah menemukan pria yang sempurna”
Saat Daniel mengatakan hal itu otakku langsung menampilkan bayangan Beth yang bicara dalam nada riang “Everybody think that a girls dream is to find the perfect guy..hahahahhaha” dia tertawa mengejek, mengejek kebodohan fakta itu. “hmmmm yeah rite! but…our dream is to eat without getting fat.” Dan dengan gigitan besar dia akan mencabik Burger dalam mulutnya. Pada saat itu aku tau aku harus menyiapkan tissue untuk mengelap bibirnya yang meninggalkan noda sauce, walau akan lebih baik jika aku membiarkannya saja, menunggu saat dia akan menjilat noda sauce di bibirnya.
“Hey…” Daniel mengejutkanku dan membuyarkan kegiatan mengenangku.
“Fine, setelah ini datanglah padanya, tepat setelah aku pergi, hibur saat dia terluka, berikan cintamu yang banyak, walau aku tau takkan ada satu orangpun yang mampu mencintai Beth seperti aku mencintainya.” Aku berbicara cepat seakan ingin menyelesaikan kalimat yang begitu menyakitkan ini.
“Ini baik buatmu.” Daniel menyeringai.
“Tapi akan lebih baik buatmu.”
“Aku membayar mahal untuk hal ini” Daniel mencoba mengingatkan, dan ini seperti menghujam jantungku, menghinaku dengan cara yang sangat tak pantas. Aku menjual cintaku dengan lembaran kertas bernominal, aku menjual cintaku dengan kesempatan melanjutkan cita-citaku yang tertunda.
“Dan aku terlalu murahan untuk menjual milikku yang paling berharga.” Suaraku serak saat mengatakannya, aku ingin mengubah pikiranku saat ini tapi mengingat apa yang seharusnya terjadi di masa depan aku menyerah dan mengubur keinginan hatiku.
“Kalau begitu…sempurna…selamat tinggal Eliza…nikmati kehidupan barumu, dan aku akan mengobati luka hati mantan pasangan terlarangmu.” Dan setelah itu Daniel berlalu sambil mengusap kepalaku, seakan aku gadis kecil yang rapuh, dan yeah aku memang serapuh itu.
Gambar : Kitty Gallanaugh