“Jangan terlalu dikhawatirkan, Giana memang sedikit dramatis, kadang dia suka pura-pura pingsan untuk menarik perhatian, dia baik-baik saja, percayalah…minta Estella untuk membuatkannya sesuatu yang hangat.” Dan kemudian suara di seberang terputus, aku memandang frustasi pada sosok pucat yang kini berbaring di tempat tidur dan telepon di genggamanku yang seolah tak lagi berfungsi.
“Miss Giana sedikit lemah, tapi dia akan baik-baik saja” Estella meyakinkanku, perempuan setengah baya berwajah Hispanik itu terlihat keibuan, kulihat dia lebih mendekati sosok ibu bagi Emile dan Giana dibanding ibu kandungnya sendiri, Marique Weingarden yang bergaya seperti Manequin berjalan, dia wanita yang tak bisa menerima kenyataan bahwa waktu akan membuatnya menua, Marique benar-benar kecanduan botox, yoga, dan makanan herbal tak masuk akal. “Kita biarkan saja dia istirahat Miss De Lancey”kata Estelle lagi “Saya akan membuatkannya sup”
Aku mengangguk perlahan, dan setelah Estelle pergi aku memutuskan untuk menghempaskan diri di sofa yang terlihat nyaman tapi tak begitu kunikmati, karena serangan panik dan apa yang tengah kuhadapi.
“Hey…”suara lemah Gianna menyadarkanku dari lamunan, dengan cepat dia memperbaiki posisinya, sekarang dia dalam posisi duduk dengan kaki di luruskan dan punggung bersandar pada bantal. Aku menghampirinya.
“Are you okay?” nada suaraku tak bisa menyembunyikan kekhawatiranku.
“Tak pernah sebaik ini, inilah perasaan yang paling kunantikan ” dia tersenyum atau mungkin lebih tepatnya menyeringai. “Seharusnya aku ketakutan, setiap perkenalan awal memang meninggalkan rasa seperti itu, dan sekarang…bolehkah kau mendekatiku dan berikan tanganmu padaku!” Aku menyerahkan tanganku, ada rasa was-was tak masuk akal yang mempengaruh otakku, mungkin saat kedua tangan kami bersentuhan seharusnya ada rasa hangat atau ada cahaya yang berpijar, seperti dalam film tentang sihir. Tapi tak ada apapun.
“Aku merasakanmu…” Gianna memejamkan mata dan bicara lembut “Aku senang kita bertemu lagi…atau pada akhirnya begitu” sekarang ada senyum mengembang di wajahnya “Kupikir jiwamu mengembara…” Aku merasakan belaian di lembut tangannya “Sudah waktunya kau menemukan kepingan yang hilang, sudah waktunya menyelesaikan kisah yang tertunda, atau mungkin malah …membiarkannya begitu saja” sempatku terlena dengan kemerduan suara yang merapal bagaikan sebuah nyanyian, tapi setelahnya aku tersentak manakala mata bulat Gianna terbuka dan memancarkan binar yang berbeda, binar antusias yang tak alamiah, seakan ada tarian api dalam pupilnya.
“Gi…”aku merasakan suaraku tergetar di tenggorokkan.
“Well…”suaranya terdengar sedingin angin di bulan Desember“Aku tau jawabannya sekarang…”dia menggelengkan kepalanya lalu tersenyum “Hallowen kemarin…Andromeda dan Aurora memang pada akhirnya harus tewas dengan tragis…itu untuk karma yang harus mereka bayar, hanya saja sayangnya tubuh mereka hancur berserta jiwa yang mereka punya, awalnya aku ingin menjadikan tubuh mereka rumah baru untuk wadah bagi dua jiwa yang menderita, Venus dan Mars, legenda kisah cinta terlarang yang berakhir tragis, dan taukah kau…?” dia menatapku dalam dengan begitu terpesona.
“Jiwanya ada padamu” dan senyum mengembang di wajahnya yang kini tak lagi pucat, justru sebaliknya terlihat bersemu cerah, wajahnya terlihat cantik tapi lebih dewasa dari usianya. Aneh! lalu dengan penuh cinta dia membelai wajahku, dan mengecup puncak kepalaku, seakan dia adalah ibuku, aku melepaskan diri karena ketakutan dan kebingungan.
Aku ingin mencerna kata-katanya dengan lebih mudah, tapi anehnya sebagian dari diriku hanya ingin menganggap bahwa ini hanyalah perbuatan konyol remaja yang terlalu tertarik dengan ilmu Wicca yang dipelajarinya dari internet dan buku-buku yang mereka anggap menarik.
Tapi Gianna seperti membaca pikiranku dan berteriak tak terkendali”Kau tak mempercayaiku!” lalu tanpa ragu dia melempariku dengan pajangan perak berbentuk Centaurus yang berada di meja kecil di samping tempat tidur, tak dapat menghindari, benda itu menghantamku, meninggalkan perih di keningku, aku mengusapnya perlahan. Ada dorongan dari dalam diriku untuk membalasnya mungkin dengan menjambak rambutnya lalu membenturkan kepalanya pada tembok, sekuat tenaga, sebisa yang kumampu, tapi kusadari, aku hanya menatap darah yang kini berada di jariku, darah yang berasal dari lukaku.
Gianna lagi-lagi membuatku ketakutan saat dengan sigap tangannya menarik jariku yang ternoda darah lalu menjilatinya, aku merasakan lidahnya yang dingin dan membuatku geli juga ngeri. Dalam hidupku, aku tak pernah ketakutan sehebat ini, seketika tubuhku menggigil. Pada saat itu Gianna memelukku, seakan dia tau aku membutuhkan itu.
“Jangan takut, aku hanya ingin mengetahui apakah itu dirimu, Venus…gadis malang yang bodoh, memilih mati untuk melanjutkan kisah cinta di dunia lainnya, tapi…apa yang kau dapatkan, sayangku?” kali ini aku dibuat terkejut lagi, saat kedua tangannya yang kokoh mencengkram wajahku dan seperti diminta untuk menatap ke dalam matanya.
Aku memejamkan mata, ketakutan itu datang lagi.
“Tapi kau harus mencarinya…Mars…dia ada di sana, menunggumu atau mungkin memburumu” setelah itu suaranya terdengar letih dan dia tertidur…ataukah mungkin aku yang baru saja terbangun dari tidurku yang terbuai bermimpi?
bersambung...