Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story Artikel Utama

“Flashpacking” atau “Backpacking”?

11 Januari 2012   18:28 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:01 841 4

Dengan munculnya maskapai-maskapai biaya rendah (low cost airlines) dan mudahnya mencari informasi melalui internet, sekarang kota-kota di negara tetangga menjadi tujuan wisata yang ‘biasa’. Apalagi dengan kemudahan tanpa visa untuk tinggal selama kurang dari 30 hari. Sekarang kalau ditanya, liburan kemana nih kemarin?, banyak yang menjawab, ke Key-eL, ke Singapur, atau ke Bangkok.

Traveling ber-budget tengah-tengah cenderung rendah ini yang disebut dengan flashpacking. Saya yakin banyak dari kita yang mengerti istilah backpacking. Lalu apa bedanya flashpacking dengan backpacking?

Backpacking biasanya diidentikkan dengan traveler yang melakukan perjalanan jangka panjang dan membawa backpack atau tas yang “nempel di badan”. Backpacking adalah metode traveling yang menitikberatkan pada biaya yang minimal dan pengalaman yang maksimal. Jadi jika perjalanan antar negara biasanya dilakukan naik pesawat, para backpackers banyak yang memilih perjalanan darat. Selain murah, tujuan mereka juga adalah untuk mendapatkan pengalaman dari masyarakat lokal, atau berinteraksi dengan sesama backpackers, tidak hanya sekedar sight-seeing dan shopping. Mereka biasanya berkeliling beberapa negara, jadi masa traveling mereka bisa berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan (saya pernah bertemu backpacker asal Amerika yang sengaja cuti setahun untuk backpacking keliling Eropa dan Asia). Bekalnya: baju seadanya, traveler’s cheque, dan Lonely Planet (yang mereka sebut sebagai ‘the bible’). Di setiap perbatasan negara, untuk menghemat biaya (dan mengurangi bawaan), para backpacker ini bertukar ‘the bible’. Praktis dan ekonomis. Mereka juga tinggal di hostel (yang model dormitory, sekamar beramai-ramai), atau tidur di tempat seadanya, misalnya stasiun atau airport. Begitulah, kehidupan mereka ‘keras’. Ada juga di antara mereka yang tinggal cukup lama di satu tempat, dan untuk biaya hidup, bekerja serabutan, misalnya cuci piring atau menjadi montir. Ilegal sih sebenarnya.

Nah, flashpacking juga menekankan pada budget yang rendah, tapi masih cenderung kelas menengah, masih dengan style, biasanya sekitar seminggu sampai dua minggu, dan orientasinya pada sight-seeing. Meski naik low cost airline dan tinggal di hostel, tapi masih membawa koper, kamera digital, belanja suvenir, dan tidak terlalu banyak berinteraksi dengan masyarakat lokal (atau tidak sama sekali). Meski bukan backpacker, saya sering nyinyir kalau ada orang mengaku backpacking tapi kenyataannya flashpacking. Abis jelas-jelas pengalamannya beda gitu. Saya juga flashpacker, tapi belum pernah naik Air Asia (apa ini malah jadi OOT). Karena orientasinya adalah jalan-jalan dalam waktu terbatas dan menekan biaya, flashpacker harus pandai-pandai mencari informasi dan mengatur jadwal. Semua traveler harus begitu sih.

Anyway, untuk lebih hemat biaya saat flashpacking, selain tips standar seperti penerbangan murah dan tinggal di hostel; ada beberapa tips lain yang mungkin berguna:

#1 “Gaul” dengan resepsionis hostel

Yep. Cobalah sering berbincang dengan resepsionis hotel dan tanyakan spot-spot lokal yang murah untuk dikunjungi atau tempat makan yang menarik tapi tidak mahal. Saya diberitahu tempat makan ramen yang murah lagi enak (meski makannya berdiri) di Tokyo, plus tumpangan pergi ke Shibuya karena waktunya pas dengan jamnya si resepsionis pulang kerja. Lumayan kan. Maklum Tokyo mahal. Hihi. Resepsionis juga banyak tahu soal dimana bisa membeli suvenir dengan harga murah dan bagaimana menawar dengan “sopan” (tidak asal njeplak harga).

#2 Jangan memaksa tinggal di hostel murah tapi jauh dari mana-mana

Memang sih, harga penginapan di dekat pusat kota atau tempat strategis itu pasti lebih mahal, tapi pertimbangkan soal transport dan waktu yang diperlukan untuk mencapai semua destinasi tujuan. Teman saya pernah tinggal di hostel yang harganya setengah dari yang di pusat kota, tapi memerlukan waktu lebih dari sejam untuk menuju tempat tujuan wisata yang diingininya, dan dia lupa mempertimbangkan berapa biaya naik MRT bolak-baliknya. Rugi waktu sekali dan rugi uang juga kan. Di daerah-daerah strategis juga ada hostel atau hotel yang affordable kok.

#3 Jangan malas jalan kaki

Oh well, orang Indonesia terkenal jalannya lambat lho. Serius. Sudah jalannya lambat, mau jalan juga sebenarnya malas. Padahal banyak yang bisa dilihat sembari berjalan kaki. Dengan berjalan kaki, selain tidak mengeluarkan biaya, kita juga bisa menemukan hal-hal menarik sepanjang perjalanan. Tidak usah ngoyo sih. Jalan kaki 5-10 kilometer sudah lumayan. Atau bisa juga menyewa sepeda sehingga bisa bepergian lebih jauh. Hemat dan sehat.

#4 Tidak perlu sungkan kalau tidak membawa oleh-oleh

Ih, jalan-jalan (apalagi ke luar negeri) kok tidak bawa oleh-oleh? Malu dong sama tetangga. Kalau saya sih agak males. Paling saya beli gantungan kunci atau tas kanvas yang murah (dan sekaligus untuk kampanye reduce plastic *halah*), tapi lebih seringnya saya membeli kartu pos negara setempat dan mengirimkannya dari sana. Kartu posnya murah, biaya kirim juga murah. Tidak perlu menyediakan space tambahan di koper pula. Hihi. Untuk suvenir diri sendiri, saya biasa membeli tumbler (tempat minum) Starbucks yang ada tulisan nama kota setempat. Agak mahal sih, tapi kan buat saya sendiri, dan oleh-oleh untuk yang lain sudah dikirim lewat pos. Haha.

Okay sekian dulu, saya ngantuk, hehe. Tips solo-traveling akan saya bagi lain kali.

-Citra

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun