Mengulas kondisi yang ada di Pulau mungil tersebut, pada tahun 2005 listrik di pulau tersebut belum tersalurkan, jauh dari infrastruktur apalagi handphone dan kendaraan serta ritel modern. Kita bisa membayangkan bagaimana nasib dan kondisi sebuah pulau apabila hanya ditemani lilin tanpa ditemani alat pendukung. Cerita itu diungkapkan oleh Daeng Sattar(67 tahun) masyarakat asli yang telah mendiami pulau tersebut.
Masyarakat di pulau tersebut hidup dan memanfaatkan kekayaan alam yang ada, memasak dengan cara tradisional dengan bantuan bara api dan makan dari hasil laut seperti ikan dan sejenisnya. Jikapun ada diantara mereka yang sakit mereka menggunakan jasa dukun pintar dan diberikan air seruan untuk diminum sebagai penangkal penyakit yang ada di dalam tubuh. Kepercayaan akan hal tersebut dari masyarakat berlangsung lama mengingat kepercayaan dari nenek moyang mereka begitu kental.
Mata pencaharian masyarakat di sana ialah sebagai nelayan, dulu mereka menjalankan perahu kecilnya menggunakan dayung lalu dari segi pendidikan anak-anak disana masih menggunakan tempat seadanya untuk belajar. Seiring perkembangan zaman pada tahun 2014 pemerintah kabupaten Lombok timur mulai menyalurkan listrik di pulau tersebut, sinyal alat elektronik dan handphone mulai terlihat dan jembatan mulai dibangun pada tahun itu, seiring perubahan tahun para nelayan mulai menggunakan mesin untuk mencari ikan, seperti mesin tempel, mesin diesel dll.
Pulau yang dijuluki Terpencil Terpadat Terluar(3T) dengan lahan yang tidak begitu luas dan beserta pelajar yang kurang, dari hal tersebut sekolah yang ada disana hanya SD dan SMP. Pada tahun 2017 bangunan sekolahnya mulai dibangun, gerbang dan lahannya mulai di tata hingga bisa digunakan sampai saat ini.