Namaku Serigala. Taringku tajam, mulutku “bau”. Aku selalu menyunggingkan senyum liar di hadapan mereka. Pandanganku agak buram hingga aku tak bisa membedakan mana putih, mana hitam.
Halachhh..itu alasanmu saja. Aku tahu penglihatanmu masih awas.
Aku selalu berpikir licik. Tak ada ampun bagi mangsaku apalagi musuh. Aku tak mengenal pertemanan. Apa yang bisa kumakan pasti kan ku makan [Rawrrr]. Saking liciknya, aku selalu berpakaian bulu Domba agar terlihat lugu. Ya, agar musuh dan mangsaku tak melihat taringku yang tajam. Tak mencium bau badanku yang menyengat hidung.
Kau berlagak pahlawan dan sok keren dengan baju bulu domba itu. Padahal aku tahu mengapa kau menggunakannya. Itu karena kau tak mampu membeli jubah Serigala yang baru. Aku paham betul kau habiskan uangmu untuk memenuhi nafsumu. Ck ck ck …
Betapa polosnya mangsaku. Betapa bodoh. Jelas saja mereka bodoh, mereka tak mengenyam pendidikan sepertiku. Merasakan belajar di sekolah. Belajar bagaimana memakai topeng. Aku adalah palsu. Namaku Serigala dan aku bukan Domba. Aku hanya Serigala dengan pakaian bulu Domba.
Gurumu mengajarkan topeng manusia. Topeng itu hanya digunakan manusia. Mereka menyebutnya dengan sandiwara. Topeng di atas panggung kehidupan para manusia. Hanya dengan itu mereka bisa memainkan peran sepanjang hidupnya.
Aku beruntung dapat belajar menggunakan topeng. Guruku menyebutnya dengan Dramaturgi. Bukan dramaturgi Aristoteles melainkan bentuk lain komunikasi dari Goffman. Panggung depan berbaju bulu Domba bukan panggung belakang sebagai Serigala.
Setidaknya, ini pelajaran yang berguna yang pernah kau dapat. Sayang, kau gunakan untuk menutupi jati dirimu. Kau gunakan untuk menerkam mangsamu. Jika begini, akan kuhadiahkan kau Jubah Kemunafikan paling tebal sedunia.
NB : Untuk membaca hasil karya para peserta Malam Prosa Kolaborasi yang lain maka dipersilahkan berkunjung ke sini : Hasil Karya Malam Prosa Kolaborasi.