Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Jakarta, Benarkah Tanpa Harapan?

27 Mei 2011   02:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:09 160 0
[caption id="attachment_110603" align="alignnone" width="640" caption="Sebuah Vandalisme di jembatan penyeberangan di wilayah Gatot Subroto. "][/caption]

BENARKAH TANPA HARAPAN?

Saat ini, jumlah kendaraan bermotor di Jakarta mencapai 12 juta unit. Sebanyak 8,5 juta di antaranya adalah motor. Jika seluruhnya serentak turun ke jalan, maka area yang dibutuhkan kendaraan tersebut hampir menyamai luas jalan di Jakarta. Dengan pertambahan kendaraan bermotor mencapai 1.000 unit perhari, tiga tahun lagi Jakarta tidak lagi “Padat Merayap Tanpa Harapan”, seperti tulisan liar yang ditulis di salahsatu jembatan penyeberangan di Jalan Gatot Subroto. Tahun 2014, atau lebih cepat, diperkirakan Jakarta akan lumpuh. Macet total, namun masihkahtanpa harapan?

Masalah transportasi dan kemacetan bukan masalah baru bagi kota Jakarta. Sejak zaman Gubernur Ali Sadikin, kemacetan sudah menjadi masalah yang membuat pusing. Masalah ini tidak henti dibahas di berbagai seminar di universitas, maupun menjadi dagangan politisi. Namun sampai sekarang penyakit kronis kota ini belum juga terobati. Apa yang salah?

Masalahnya sebenarnya cukup simpel. Panjang jalan yang ada di Jakarta tidak seimbang dengan pertumbuhan kendaraan. Jika kita hitung panjang seluruh luas jalan di Jakarta, luasnya sebesar 40 juta hektar, atau sekitar 6% dari keseluruhan luas Jakarta. Ini masih jauh dari ideal, dimana jumlah jalan seharusnya berjumlah 14%, atau sepanjang 17.700 km. jika mengikuti perkembangan tren saat ini, yang hanya 1% per tahun, maka panjang luas jalan itu baru terpenuhi setelah 85 tahun. Di sinilah masalah itu semakin berat.

Menambah ruas jalan tentu bukan solusi. Menurut Darmaningtyas, pakar transportasi, pertambahan ruas jalan hanya menghasilkan masalah-masalah dan tentu boros biaya. “ Solusi itu harus berupa pertemuan dari bermacam solusi, yang harus digarap secara sinergis.” ucapnya.

Darmaningtyas mencontohkan belum adanya integrasi antara berbagai jenis moda angkutan umum. Padahal, masih menurut Darmaningtyas, di negara-negara lain angkutan umum memegang peranan.“Tetapi di Jakarta ini angkutan umum tidak digarap secara serius. Pembangunan angkutan umumyang dilakukan pemerintah jakarta baru di mulai dengan busway transjakarta. Itu pun belum maksimal” ucapnya.

Senada dengan Darmaningtyas, ketua Gerakan Cinta Jakarta, Tantowi Yahya, mengungkapkan perpindahan pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum adalah kewajiban. “Tapi ada syaratnya, angkutan umum itu harus aman dan nyaman. Dan tentunya memberikan kepastian waktu perjalanan” jelasnya. Lebih jauh Tantowi juga mengisyaratkan, solusi apapun yang diterapkan pada masalah transportasi Jakarta tidak akan mengurai masalah, jika tidak diikuti dengan partisipasi warga.

Tantowi mencontohkan sebuah langkah mudah perihal partisipasi. Menurutnya, jika setiap masyarakat mau naik dan turun di halte, ini mengurangi kemacetan akibat angkutan umum yang ngetem, sekaligus jumlah perjalanan kendaraan 2.000.000 perjalanan perharinya. “Jumlah ini bisa mengurangi kemacetan Jakarta selama 15-20 menit, lumayan kan. Kita semua bisa menyelamatkan Jakarta.” ucapnya.

Maka masih adakah harapan? Jika solusinya terintegrasi, dan didukung partisipasi masyarakat, tentu ada.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun