Shaikh Al Albany Rohimahullah, menyatakan bahwa seorang muslim tidak boleh mengatakan bahwa dirinya tidak bermazhab selain mazhab Islam atau bermazhab Islam yang sesuai dengan Al Quran dan Hadits. Karena semua mazhab juga tidak mau dikatakan sebagai aliran yang tidak sesuai dengan Al Quran dan Hadits. Pada kenyataanya, memang ada banyak firqoh dan mazhab dalam dunia Islam. Keberadaan firqoh-firqoh dalam dunia Islam adalah fakta; ada orang Islam yang menganut mazhab Syi'ah, ada yang Mu'tazilah, ada yang bermazhab Syafi'iy, Hanbali, Asy'ariy dan lain-lain. Dan karena sampainya Alquran dan Hadis serta ajaran islam secara keseluruhan juga melalui para ulama yang merupakan para pewaris nabi, dimana para ulama itu juga adalah termasuk daripada golongan-golongan atau mazhab tertentu, maka mazhab atau identifikasi diri dan kelompok adalah suatu keniscayaan dan merupakan hal yang lumrah belaka.
Pertanyaan kita sekarang adalah, tepatkah atau baikkah kita mengidentifkasi diri atau kelompok sebagai bermazhab salafy? Mengenai siapa golongan salaf, jumhur ulama dan kaum muslimin umumnya menunjuk pada orang-orang generasi pertama, kedua dan ketiga dalam Islam yang sholih-sholih dan baik.
Orang-orang salaf adalah sebaik-baik umat Muhammad, merekalah golongan orang Islam paling sholih dan bertaqwa. Dengan demikian kita boleh juga mengidentikkan kaum salaf dengan kaum mukmin yang bertaqwa pada generasi awal. Kata asshoolihuun juga disebutkan dalam alquran untuk merujuk kepada hamba-hamba Allah yang baik dan bertaqwa. Begitu pula dengan kata siddiiquun dan lain-lain kata yang menunjukkan arti pujian atas kebaikan yang terdapat pada orang-orang tertentu yang memiliki kualitas ketaqwaan yang tinggi dengan jenis dan ciri-cirinya masing-masing.
Menjadi muslim atau mukmin yang sebenarnya adalah juga berarti menjadi sholih. Kaum salaf itu adalah orang2 sholih, yaitu sebenar-benarnya muslim yang sejati atau kaum yang praktik ber-Islamnya paling sesuai dengan ajaran nabi--meskipun diantara mereka juga terdapat perbedaan-perbedaan pendapat dalam beberapa hal. Nah di sini, kira-kira dalam pandangan etika maupun logika, patutkah atau bolehkah kita mengidentifikasi diri dan kelompok sebagai salafy, yang juga berarti sholih, atau sebaik-baik muslim? Lalu bagaimana dengan orang lain atau kelompok lain? Apakah berarti kita mengatakan mereka itu bukanlah orang sholih dan bukan muslim yang benar?
Bukankah adab para ulama yang sholih bahkan mengucapkan "Mukmin Insya Allah" ketika ada pertanyaan "Hal Mukminun anta?" Para ulama menjelaskan mengenai hal ini dengan membedakan jenis pertanyaan yang diajukan tersebut menjadi dua; pertama, jika pertanyaan itu ditanyakan untuk mencari tahu apakah yang ditanya itu seorang non muslim atau muslim. Dalam hal ini maka kita dianjurkan untuk menjawab dengan tegas bahwa kita adalah mukmin atau muslim. Tapi jika pertanyaan itu diajukan untuk mencari tahu mengenai kualitas keimanan atau keislaman, maka para ulama menjawab dengan kata "Mukmin Insya Allah", karena mereka bersikap tawadhu' dan meskipun mereka sudah dipandang sebagai ulama yang sholih tapi mereka tidaklah tahu apakah Allah sudah meridhoi mereka dan apakah benar bahwa mereka adalah mukmin sejati dalam pandangan Allah. Mereka juga ingat akan nasihat Allah yang melarang untuk menganggap diri sudah baik dan suci. Allah berfirman: " Laa tuzakkuuw anfusakum." Firman Allah itu kalau dimaknai secara bebas dan luwes dengan gaya bahasa kita saat ini, maka ia mengandung arti "Jangan sok suci".
Dengan menganggap diri atau kelompok sebagai pengikut atau golongan yang mempraktikkan Islam dengan cara paling baik sebagaimana golongan salaf generasi awal Islam, bukankah itu sebuah tindakan memuji diri sebagai kelompok yang paling benar dan paling baik? Dan dengan identifikasi tersebut, bukankah kelompok tersebut secara tidak langsung juga menganggap atau mengidentifikasi golongan lain sebagai golongan yang tidak salafy atau tidak benar-benar Islam?
Dari uraian diatas bisa difahami bahwa mengidentifikasi diri sebagai salafy berarti juga menyatakan bermazhab Islam, atau Islam yang paling baik. Nah jika demikian, bukankah itu kontradiktif dengan penjelasan shaikh Al Albany Rohimahullah yang mengatakan bahwa mengaku bermazhab Islam itu tidak tepat, karena pada dasarnya tidak ada pemeluk Islam--apapun mazhabnya--yang tidak merasa mengikuti ajaran Islam yang benar.
Bukankah akan lebih tepat dan masuk akal jika penyebutan atau penamaan suatu mazhab itu dinisbatkan kepada pencetus pemikiran tersebut dan hal-hal yang berhubungan dengan si mujtahid ataupun ciri-ciri dan pandangan dari kelompok itu? Seperti Mazhab Hanbali yang dinisbatkan kepada Imam Ahmad bin Hanbal rohimahullah atau mazhab Qodariyah yang dinisbatkan kepada ciri-ciri pandangan mereka.
Identifikasi diri adalah sebuah keniscayaan. Karena dengan itu seseorang atau sebuah kelompok mampu menunjukan kepada khalayak ramai mengenai identitas pemikiran ataupun aliran mereka sehingga mereka bisa menyebarkan keyakinan serta ajaran yang mereka anggap baik itu kepada umat. Namun demikian, identifikasi diri tersebut seyogyanya tidak mengandung arti--baik secara eksplisit maupun implisit--yang menyatakan bahwa mazhab lain adalah salah atau tidak sesuai dengan Islam yang sebenarnya, kecuali jika fihak atau mazhab lain itu benar-benar memilki ciri atau pandangan yang sangat bertentangan, misalnya identifikasi sunni untuk membedakan diri daripada syi'ah. Meskipun orang-orang Syi'ah juga sebenarnya tidak rela dianggap sebagai kelompok yang tidak mengikuti sunnah rosul.
Dengan demikian, mengidentifikasi diri sebagai bermazhab salaf sama tidak tepatnya dengan menyebut diri bermazhab Islam atau bermazhab sholih, bermazhab benar, taqwa dan kata-kata pujian lain yang semisal.
Praktik ber-Islam sebagaimana yang diamalkan oleh para al-salafu al-solih dari golongan sahabat, tabi'in dan tabi'i tabi'in itu adalah praktik menjalankan agama dengan cara yang paling baik dan benar. Jika itu boleh disebut sebagai sebuah mazhab, maka itu adalah mazhab yang paling sesuai dengan ajaran Muhammad s.a.w. Kita semua dianjurkan untuk selalu mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan yang dipraktikkan oleh mereka.
Yang tidak boleh adalah mengklaim diri sendiri dan kelompok sebagai satu-satunya golongan yang bermazhab sesuai dengan salafussolih itu, selain karena setiap kelompok juga berusaha mengamalkan Islam yang sesuai dengan yang diajarkan nabi sebagaimana diamalkan oleh para salafussolih, menganggap diri sebagai satu-satunya kelompok yang paling benar dan sesuai dengan praktik para salafussolih justru bisa menjerumuskan kita kepada ber-Islam dengan cara Khawaraij yang karena sempitnya akal dan hati serta dangkalnya iman merasa sebagai golongan yang paling benar lalu mengkafirkan dan menganggap sesat ulama-ulama lain yang sholih dan lebih dalam pemahaman agamanya sebagaimana terjadi pada pengkafiran sahabat Ali oleh mereka.
Saya seringkali memberikan contoh mengenai tokoh Islam yang ingin menjalankan Islam sebagaimana yang difahami dan dipraktikkan oleh para salafussolih dengan mengingatkan tentang kesadaran seorang Imam Al Bukhori. Beliau ini pengumpul hadits paling terkenal dan paling shahih kualitas hadits-haditsnya. Beliau faham bahasa Arab serta hafal Al Quran sejak kecil. Tapi beliau merasa bahasa Arabnya kurang mumpuni, dan merasa kepintarannya kurang dalam melakukan istimbath atau menyimpulkan hukum-hukum dari Al Quran dan Hadits. Oleh karena itu beliau mengikuti mazhab Syafi' dalam memahami hukum-hukum Islam.
Para ahli hadis selain Al Bukhori, yang mengikuti mazhab Syafi'i adalah At Tirmidzi dan Imam Muslim, namun beberapa ulama ada yang mengatakan bahwa Imam Muslim mengikuti mazhab Hambali. Beberapa ahli hadits lain semisal An Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Abu Ya’la, dan Al Bazzar juga mengikuti mazhab para Imam mazahib lain padahal mereka hafal ribuan hadis beserta sanadnya dan juga hafal Al Quran.
Jumlah hadits nabi sangat banyak. Bahkan dalam satu perkara saja terkadang terdapat puluhan hadis serta atsar dari para sahabat. Diperlukan ketaqwaan serta kecerdasan dan ketelitian yang lebih untuk mampu memahami, menyarikan, bersitimbath dan mengambil hukum yang paling tepat dari banyaknya hadits tersebut serta kesesuaiannya dengan ayat-ayat Al Quran. Selain menguasai banyak hadis, seorang ulama yang mampu melakukan istimbath hukum juga pasti diberkahi oleh Allah dengan pemahaman akan makna ayat-ayat Al Quran. Kenyataanya, memang tidak semua orang memiliki kecerdasan dalam memahami makna dari ayat-ayat Al Quran.
Kalau sekedar memahami terjemahan atau arti ayat-ayat Al Quran, tentu semua orang yang waras bisa. Tapi memahami takwil dan makna yang mendalam hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu. Oleh karena itu nabi Muhammad s.a.w mendoakan Ibnu Abbas agar diberkahi oleh Allah pemahaman takwil Al Quran.
Sikap yang diambil oleh para ulama ahli hadits tersebut bukanlah sebuah taklid yang tercela. Justru mereka ingin mendapatkan pemahaman yang baik agar mereka bisa menjalankan ajaran Islam sebagaimana yang dipraktikkan oleh para salafussolih. Mereka ber-ittiba' dalam memahami hukum-hukum Islam. Mereka tidak sekedar ikut atau fanatik dengan mazhab tertentu secara membabi buta karena mereka itu para penghafal Al Quran dan penghafal hadits. Mereka tahu dalil-dalil naqli dari ayat-ayat Quran serta hadis-hadis dan atsar yang digunakan oleh para imam mazahib serta logikanya kenapa para imam tersebut bisa sampai pada kesimpulan hukum tertentu.
Begitulah caranya kalau kita ingin memahami, ber-manhaj dan mempraktikkan Islam sesuai dengan ajaran yang sebenarnya dari nabi sebagaimana dipraktikkan oleh para salafussolih. Bagi para santri dan mahasiswa yang sudah belajar bahasa Arab, tafsir serta hadis, tidak boleh asal ikut suatu mazhab. Mereka berkewajiban membaca dan mempelajari dalil-dalil yang digunakan oleh para ulama mazahib ketika mengikuti pendapat mereka. Boleh jadi dalam suatu perkara seorang santri setuju dengan mazhab Hanafi, tapi dalam hal lainnya ia menganggap pendapat Imam Ahmad lebih masuk akal dan sesuai dengan dalil-dalil naqli.
Imam Al Ghazali yang bermazhab Syafi'i itu mengatakan lebih cenderung untuk mendukung pendapat Imam Malik dalam masalah air untuk bersuci daripada pendapat Syafi'i. Kita tidak diwajibkan terkungkung dalam satu mazhab. Kita boleh mengikuti mazhab tertentu dalam suatu perkara namun setuju dengan pendapat mazhab lain dalam perkara yang berbeda.
Bagi sarjana-sarjana Islam yang memiliki kemampuan lebih dan telah menghafal Al Quran serta menguasai Bahasa Arab dan Tafsir, ulumul Quran, juga ilmu-ilmu hadis secara mendalam, mereka bisa menjadi mujtahid. Tentu saja untuk menjadi mujtahid yang baik, mereka juga harus banyak memiliki referensi dari para ulama mujtahid yang terdahulu. Mengetahui seluk beluk ijtihad, mempelajari metode-metode istimbath yang digunakan oleh para Imam mazahib dan ulama-ulama lainnya. Lalu apabila ternyata dia menjumpai bahwa sudah ada banyak permasalahan dalam umat Islam yang telah dipecahkan oleh para mujtahid sebelumnya, maka sebaiknya para mujtahid baru ini berkonsentrasi pada permasalahan-permasalahan baru yang belum dicarikan jawabannya oleh para mujtahid terdahulu.
Adapun bagi orang-orang awam yang tidak pernah mengaji ilmu-ilmu agama secara cukup, yang hidupnya banyak dihabiskan untuk bekerja dan kegiatan lain serta tidak memungkinkannya untuk membaca kitab-kitab keagamaan, maka bagi mereka cukuplah mengikuti mazhab tertentu melalui para ulama yang berada di sekitarnya. Kita diajarkan untuk fas'aluu ahlazzikri in kuntum laa ta'lamuun. Untuk bertanya kepada ulama jika kita tidak tahu. Kita tidak mungkin mewajibkan orang-orang awam untuk mengkaji fiqih muqorin semisal al fiqhu 'lislamiyyu wa adillatuh agar terbebas daripada taklid.
Demikian itu cara mengikuti ajaran nabi melalui para ulama dengan cara yang bijaksana. Berbeda tingkatan keilmuannya, berbeda pula kewajiban dan sikap yang harus diambil.
Jadi begitulah urutannya kalau kita ingin mempraktikkan Islam dengan cara yang benar. Karena kita tidak bisa berjumpa dengan Nabi di dunia, maka kita berpegang pada Al Quran dan Hadits. Dan supaya praktik beragama kita sesuai dengan ajaran nabi melalui Al Quran dan Hadits, maka kita harus mengikuti pemahaman dan praktik para salafussolih. Untuk bisa berjalan diatas jalan yang ditempuh oleh para salafussolih itu kita harus mengikuti para ulama yang dikatakan oleh nabi sebagai pewaris para nabi. Al quran, hadits, atsar dan ilmu-ilmu agama itu bisa sampai kepada kita hari ini karena adanya para ulama yang menyampaikannya kepada umat.
Teks Al Quran itu akan terjaga sebagaimana janji Allah. Buku-buku hadis juga Insya Allah akan senantiasa ada. Tapi ilmu dan pemahamannya bisa hilang dan terkikis jika para ulama meninggal.
Dari Abdullah bin Amr bin Al Ash RA, dia berkata, "Saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, 'Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak akan menghapuskan ilmu agama dengan cara mencabutnya dari hati umat manusia. Tetapi Allah akan menghapuskan ilmu agama dengan mewafatkan para ulama, hingga tidak ada seorang ulama pun yang akan tersisa. Kemudian mereka akan mengangkat para pemimpin yang bodoh (ulama bodoh). Apabila mereka, para pemimpin bodoh itu dimintai fatwa, maka mereka akan berfatwa tanpa berlandaskan ilmu hingga mereka tersesat dan menyesatkan.'' {Muslim 8/60}
Maka mengikuti istimbath hukum Imam Syafi'i sebagaimana dilakukan oleh Al Bukhori, Tirmizi ataupun Imam Muslim adalah juga berarti mengikuti jalan--atau kalau boleh kita sebut mazhab--para salafussolih. Mengikuti mazhab Hanbali, Maliki atau Hanafi juga adalah mengikuti jalan salafussolih. Dan jalan para salafussolih itu adalah sebaik-baik jalan dan mazhab yang paling benar.
Dengan demikian akan lebih tepat jika ummat Islam yang mengikuti istimbath hukum Syaikh Al Albany rohimahullah disebut sebagai pengikut mazhab Albany karena menurut saya beliau memenuhi syarat untuk disebut sebagai seorang mujtahid. Dan sebagai seorang mujtahid sebagaimana para mujtahid terdahulu, tentu beliau harus memberi tahu pengikutnya bahwa tidak semua pendapatnya dalam beristimbath hukum itu selalu benar. Dan seorang mujtahid tidak boleh mengklaim bahwa pendapatnya itu adalah kebenaran mutlak dan mewakili kebenaran Al Quran serta Hadits. Karena setiap mujtahid juga membaca Al Quran dan hadits-hadits yang sama, namun mereka ada kalanya berbeda dalam menyimpulkan hukum. Adapun menggunakan term salafi untuk satu mazhab saja tidak tepat sebagaimana saya uraikan diatas. Wallau A'lam.