Dalam 15 bab tersebut, Tulis Sutan Sati menceritakan kehidupan Midun, pemuda yang berasal dari salah satu kampung di Minangkabau. Midun sangat disukai dan dikasihi oleh orang-orang di kampungnya karena sifatnya yang sopan santun, gagah berani, penyayang, sabar, jago silat, tulus, dan ikhlas dalam segala hal. Berbeda halnya dengan Kacak yang merupakan keponakan pimpinan kampung di sana. Ia tinggi hati, sombong, perkataannya kasar, dan tidak ada sopan santun. Oleh karena itu, Kacak sangat dibenci orang di kampung itu. Orang-orang memperlakukan Midun dan Kacak sangat berbeda. Kacak pun iri dengan Midun karena ia berpikir bahwa dirinya, yang merupakan keponakan pimpinan kampung, lebih pantas dikasihi daripada Midun yang hanya anak seorang petani biasa.
Kacak selalu mencari cara supaya Midun terlihat buruk. Ada saat Midun dituduh melukai Pak Inuh, yang memiliki gangguan jiwa dan merupakan keluarga dari Kacak. Lalu, ada juga saat Midun dituduh ingin melakukan sesuatu tidak baik pada istri Kacak. Tidak sampai situ saja, beberapa kali Kacak merencanakan untuk membunuh Midun. Ia bahkan membayar Lenggang, orang jahat yang dulunya merupakan pencuri. Percobaan Lenggang untuk membunuh Midun di pacuan kuda gagal. Saat itu terjadi perkelahian yang sangat besar, darah terlihat di mana-mana. Perkelahian itu diberhentikan oleh polisi yang sedang berjaga. Lenggang, Midun, dan Maun, teman dekat Midun, ditangkap. Midun pun dihukum ke penjara di Padang selama enam bulan, Lenggang dihukum setahun penjara dan dibuang ke Bangkahulu, sedangkan Maun bebas dari hukuman.
Ketika sedang menjalankan tugasnya sebagai tahanan, Midun bertemu seorang gadis, yang bernama Halimah. Setelah keluar dari penjara, Midun tinggal bersama Halimah. Singkat cerita, Midun tidak sengaja membantu seorang pria Belanda di pasar baru ketika ia sedang makan. Tak disangka, ternyata sinyo Belanda itu merupakan anak dari seorang pejabat terkenal. Midun diberi pekerjaan sebagai bentuk terima kasihnya. Pada akhirnya, Midun menikahi Halimah dan Kacak ditangkap, dipenjara, dan dibuang ke Padang karena menggelapkan uang.
Novel "Sengsara Membawa Nikmat" karya Tulis Sutan Sati ini mengandung banyak nilai moral dan amanat yang baik untuk para penikmat karyanya. Oleh karena itu, novel ini cocok untuk dianalisis menggunakan pendekatan pragmatik. Secara umum, pendekatan pragmatik adalah pendekatan kritik sastra yang ingin memperlihatkan kesan dan penerimaan pembaca terhadap karya sastra. Pendekatan pragmatik merupakan pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca, seperti tujuan pendidikan, moral agama atau tujuan yang lainnya (Apriliana, Meisya, & Susilowati, 2016).
Nilai moral baik yang bisa didapatkan dari novel "Sengsara Membawa Nikmat" masih sangat relevan sampai sekarang. Tokoh Midun dikenal karena sifatnya yang sopan santun, gagah berani, penyayang, sabar, jago silat, tulus, dan ikhlas dalam segala hal. Dengan kemampuan yang ia miliki, Midun selalu berusaha untuk menolong orang-orang di sekitarnya, walaupun terkadang orang melihat perbuatannya salah. Di sini, penulis ingin menyampaikan untuk selalu berbuat baik, baik itu menolong sesama atau selalu berlaku sopan ke orang lain, karena hal tersebut akan selalu bermanfaat untuk kita di masa depan. Hal ini dibuktikan pada kutipan:
Memang Midun seorang muda yang sangat digemari orang di kampungnya. Budi pekertinya amat baik dan tertib sopan santun kepada siapa jua pun. Tertawanya manis, sedap didengar; tutur katanya lemah lembut. Ia gagah berani lagi baik hati, penyayang dan pengasih, jarang orang yang sebaik dia hatinya. Sabar dan tak lekas marah, serta tulus ikhlas dalam segala hal. Hati tetap dan kemauannya keras; apa yang dimaksudnya jika tidak sampai, belum ia bersenang hati. Adalah pula padanya suatu sifat yang baik, yakni barang siapa yang berdekatan atau bercampur dengan dia, tak dapat tiada senang hatinya, hilang sedih hati olehnya. Karena itu, tua muda, kecil besar di kampung itu kasih dan sayang kepada Midun. Hampir semua orang di kampungnya kenal akan dia. Sebab itu namanya tergantung di bibir orang banyak, dan budi pekertinya diambil orang jadi teladan. (Sati, 1928, hal. 4)