Namun kecenderungan itu tidak boleh terjadi di hadapan atau pendengaran Ayahku. Jika itu terjadi maka akan ada konsekwensi yang harus diterima.
Konon, menangis merupakan salah satu kodrat yang dimiliki manusia. Menangis adalah hak paling azasi yang dimiliki setiap manusia, bahkan juga sebagian binatang. Dan, bukankah menangis sebagai penyeimbang kondisi kejiwaan manusia?
Ketika masih kanak-kanak, apabila ingin menangis kami harus pergi dari rumah. Biasanya kami akan pergi ke rumah Bude untuk meluapkan kepedihan itu. Bude, yang juga punya anak seusia kami segera memeluk seraya mengusap rambut kami. Anak-anak Bude biasanya akan ikut menangis meski mereka tak tahu penyebab kami menangis.
Pernah, suatu kali Bude tak ada di rumah ketika aku akan mengadukan duka laraku. Untuk mengurai kepedihan itu terpaksa aku harus mencari tempat yang aku anggap aman. Di tepi sawah ada sebuah gubuk yang biasanya dipakai untuk melepas lelah oleh para petani. Di situlah kesedihanku aku tumpahkan.
Di tempat yang sunyi, aku bagai menemukan surga kecil. Surga kecil yang sangat nyaman untuk anak kecil demi mengadukan sedepa rasa kecewa, marah dan sedih.
"Mengapa manusia tidak boleh menangis?" Pertanyaan itu muncul di sela-sela isak tangisku.
"Untuk apa Tuhan menciptakan air mata? Hanya sebagai pelumas bola mata saja?" Hm, pertanyaan sederhana dari seorang anak.
***
Aku terkejut ketika ada tangan manusia dewasa menyentuh tubuhku. Ternyata manusia dewasa yang sempat membuatku terkejut itu Ibuku.
Seperti juga Bude, Ibuku memelukku, mengusa-usap rambutku. Sesekali rambutku diciumnya. Perasanku sangat damai kala itu. Sejuk, teduh. Mustinya aku harus berhenti menangis. Namun ketika aku merasakan tubuh Ibuku bergetar dan terisak, tangisku kembali pecah.
Pelukan Ibuku kian erat. Rambutku diciumnya, lama. Aku tak mampu menterjemahkan apa arti semua itu. Adakah Ibuku ingin membilas kepedihanku yang selama ini tak kuasa beliau lakukan? Atau, adakah sesuatu yang tak akan pernah mampu aku ketahui?
Pemandangan bertangisan seperti ini tak akan pernah ada di dalam rumah. Kami tak punya keberanian untuk menanggung sebuah akibat. Bahkan untuk siapa pun juga.
***
Usiaku delapan tahun ketika Ibuku melahirkan adikku yang ke tiga. Rupanya kelahiran adikku itu mengakibatkan Ibuku harus kehilangan banyak darah. Nyawa Ibuku tak tertolong. Ketika hal ini terjadi, ibu-ibu yang berdatangan untuk melayat berurai air mata. Dengan suara agak keras Ayahku melarang ibu-ibu itu menangis di dekat jasad Ibuku. Seperti juga ibu-ibu, aku dan kedua adikku segera meninggalkan rumah. Yang tersisa di rumahku hanya bapak-bapak yang cenderung tahan untuk tidak menangis.
Kami bertiga pergi ke gubuk di tepi sawah, tempat yang pernah aku kunjungi bersama Ibuku. Di gubuk itu kami menangis sejadi-jadinya. Kini lengkap sudah kepedihan itu menemani. Menemani kami saat ini dan seterusnya. Ibuku yang kami anggap sebagai benteng terakhir itu kini tiada.
"Ayah, ijinkan kami menangis untuk mengantar kepergian Ibu."