Tiga hari yang lalu, dengan bersepeda motor, saya terpaksa harus pulang malam usai membeli bongkahan batu cincin dari pinggiran kota metropolitan Jakarta. Bongkahan-bongkahan batu cincin sebesar kepalan tangan orang dewasa itu bila ditimbang kira-kira beratnya 10 kg.
Bongkahan-bongkahan batu bernilai jual tinggi itu saya letakkan di dalam tas kanvas tanpa resluiting. Tali tas saya selempangkan di pundak kanan sehingga posisi tasnya sekarang ada di bagian depan atau tepatnya menempel di perut.
Sebelum meninggalkan daerah perburuan batu cincin, teman saya sempat berpesan agar saya berhati-hati dan selalu waspada di perjalanan, sebab sudah menjelang tengah malam.
Tentu saja saya mengiyakan. Padahal, tanpa diingatkan pun saya selalu waspada di manapun saya berada. Saya pikir, prinsip kehati-hatian dan kewaspadaan memang harus selalu dikelola dengan baik.
Sepanjang perjalanan yang saya lalui, situasinya relatif sepi meski penerangan jalan sangat memadai. Namun ranting-ranting pohon yang sesekali tertiup angin itu tak urung mampu membuat sinar lampu jalanan acapkali menjadi temaram.
Setengah perjalanan menuju ke rumah, dua sepeda motor dengan empat penumpang tampak menyusul dari arah belakang. Dari kaca spion, saya dapat mengamati bila mereka semakin mendekati motor saya.
Kecepatan kendaraan pun saya tambah dan saya tambah lagi. Anehnya, mereka pun melakukan hal yang sama.
Sekarang saya putuskan untuk mengurangi kecepatan. Anehnya, mereka juga melakukan hal yang sama pula.
Namun entah kenapa, saya bukannya menghindar, melainkan malah memutuskan untuk menghentikan kendaraan. Malam itu saya sama sekali tak memiliki rasa takut. Bahkan saya kemudian menunggu reaksi mereka meski saya sendirian. Saya pikir, seandainya terjadi hal-hal yang tak diinginkan, bongkahan-bongkahan batu cincin ini terpaksa harus bicara.
Beberapa meter sebelum mereka mendekati motor saya, mereka saya hentikan. Dengan bertolak pinggang di tengah jalan, mereka saya tegur dengan suara lantang:
"Stop!! Tadi saya lihat, kalian sepertinya mengejar saya, ada apa?!"
Belum sempat membuka mulut, langsung saya gertak:
"Kalian mau merampas motor, ya?!
"Bub ........ bu ........ bukan Bang! Enggak! Sumpah!" jawab salah seorang di antara mereka dengan tergagap.
"Ah, bohong! Sekarang matikan motor dan kalian tiarap!" perintah saya masih dengan suara tinggi.
Setelah semua tiarap, tubuh mereka saya periksa. Saya harus meyakinkan diri bahwa mereka tak membawa senjata tajam. Bahkan tas mereka tak luput dari pemeriksaan.
Bersih dari hal-hal yang mencurigakan, akhinya mereka saya persilakan untuk berdiri.
"Maaf, akhir-akhir ini kan sedang marak begal motor. Jadi saya harus waspada terhadap gerak gerik siapa saja yang saya anggap mencurigakan. Oh ya, kalian tadi seperti mengejar saya. Tapi saat saya memperlambat motor saya, kalian juga melakukan hal yang sama, ada apa?" tanya saya.
"Begini, Bang. Maksud kita nih, kita ingin jalan bareng aja. Konvoi lah, gitu. Seperti kata Abang tadi. Situasinya kan sedang tidak kondusif! Ngomong-ngomong, Abang dinas di mana, Bang?! ucap salah seorang di antara mereka.
"Dinas? Maksudnya?" tanya saya.
"Maksud saya, Abang nih dinas di Kepolisian mana?! dia balik bertanya.
"Saya bukan polisi, saya tukang batu cincin," jawab saya.
"Oo .......... , okelah kalau begitu. Ya udah, yuk Bang, kita jalan!" ajak mereka.
- Selamat berakhir pekan Indonesia.