Seminggu sudah aku merencanakan hari ini. Menyusun segalanya agar berakhir sempurna dan mempesona.
“Oh, jadi dia pecinta anggrek. Hm, rupanya ia lebih menyukai matahari tenggelam ketimbang bulan. Ok,pantai adalah sanctuary nya.”
Segala macam informasi tentang gadis itu kukliping menjadi satu dalam sebuah ruang memori. Satu-satu kususun dan kuatur agar terealisasi di hari ini. Hari ulang tahunnya.
Semua berjalan sempurna hingga tengah hari, aku sudah memastikan lagi. Dan dia bilang bisa. Termasuk bagaimana kami berdua akan pergi ke pantai. Hanya untuk melepas penat kataku. Dia tidak boleh tahu, bahwa pantai sejak siang itu sudah berubah menjadi sebuah tempat yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.
Sebuah kapal kecil berwarna putih bergoyang-goyang cantik di bibir pantai. Ia seperti ingin pulang tapi enggan. Lambungnya berhiaskan kain satin bergelombang. Di tengahnya menyumbul serumpun bunga yang juga dibentuk dari kain itu sendiri. Ada titian kayu yang akan mengatar kami masuk ke kapal. Seorang nelayan sengaja kupakaikan pakaian berwarna putih dengan rompi hitam dan dasi kupu-kupu di lehernya. Kupilih yang masih gagah juga agar kuat membawa kami berputar -putar. Di dalam kapal semua penerang dimatikan karena aku yakin cahaya matahari lebih cantik dari lampu manapun. Round table dengan taplak keemasan berdiri anggun dikelilingi dua kursi yang diikat pita. Meskipun ini pantai, tapi menu kami adalah nasi goreng kari. Karena dia tak suka makanan laut. Kami berdua akan keliling pantai dengan kapal. Sambil makan dan berbincang. Lalu tepat saat matahari tergelincir, kapal itu akan berhenti di tempat yang paling tepat. Semua sudah kupercayakan pada si nelayan. Terakhir, sebuket anggrek ungu dan sebuah kado istimewa akan menutup kejutan kali ini. Tidak ada kata cinta memang. Aku hanya ingin dia merasakannya.
Tapi sial, Jam tiga tadi- saat mobilku sudah panas dan aku sudah siap meluncur menjemputnya. Tiba-tiba si Kribo menelpon.
“Do, bantu aku. Aku hampir mati disembelih dept collector ini,” katanya memelas.
“Nggak bisa, Bo! Aku kan sudah ada janji kencan dengan Juwita sore ini.”
“Do, ditunda dulu lah kencan dengan Juwitanya. Kamu tidak ingin kan, datang ke kosku dan melihatku sudah ada di freezer?”
“Nggak mungkin lah Bo. Mereka nggak mungkin macam-macam. Sini biar aku bicara sama dept collector itu.”
Tak berapa lama suara di ujung telpon berubah.
“Kamu Aldo temannya si Kribo ya? Katanya kamu bisa lunasi semua hutang si Kribo. Sini cepat bayar totalnya delapan juta!”
Delapan juta buatku bukan perkara sulit. Tapi aku tidak ada waktu ke sana.
“Transfer aja ya, Bang?”
“Nggak, nggak ada transfer-transferan. LUNAS-CASH-TUNAI! Saya tunggu sampai jam empat. Lewat semenit saja. Siap-siap teman kamu jadi sate.”
Argh, dasar si Kribo. Selalu menyusahkan. Tapi kalau dulu tidak ada dia, mungkin aku juga sudah mati dikeroyok preman terminal.
Juwita, maafkan aku.
“Oke, Bang , saya ke sana sekarang.”
Selesai urusanku dengan si Kribo dan dept collectornya, aku segera memacu kendaraan ke rumah Juwita.
Kuharap matahari hari ini mau sedikit berbaik hati dan menunda jam tenggelamnya.
Sepi.
Rumah Juwita kosong.
Seorang satpam tergopoh-gopoh menghampiriku, “Mas, nyari Non Juwita?”
“Iya Pak. Kok sepi ya?”
“Wah terlambat!" Aku tahu, mungkin Juwita marah.
Tapi si satpam melanjutkan, "Mas adalah orang ke...”
Satpam itu menghitung jari-jarinya.
“Lima yang datang ke sini dan gagal ketemu sama Non Juwita. Dari siang tadi Non Juwita udah pergi mas. Sama mas Beno.”
“Hah, Beno?”
Siapa Beno?
“Terus lima orang itu siapa aja?”
“Yang saya kenal sih, mas Rangga sama mas Juan.”
“Yang lain cowok juga?”
“Ya masak banci mas.”
Benar-benar apes. Berarti informasi tentang Juwita kurang lengkap. Ternyata selain pecinta anggrek, pantai dan sunset, ia juga pembohong dan pengoleksi laki-laki. Bagus!
--
Selama dua puluh empat tahun hidup di dunia aku tidak pernah percaya pada eksistensi hari sial. Tapi kali ini aku percaya. Mobilku berjalan malas mengelilingi komplek perumahan Juwita. Sampai pada akhirnya sebuah taman seperti memanggil-manggilku.
Aku memarkir mobil. Lalu duduk pada sebuah bangku panjang yang sudah sedikit berkarat. Taman ini penuh bunga warna – warni. Lumayan menyegarkan pikiran setelah kejadian barusan. Dengan berat ku tarik nafas panjang lalu ku keluarkan. Kenapa hidupku sebegini malangnya ya Tuhan?
Sayup-sayup aku mendengar sebuah percakapan. Ah, rupanya di sebelah kanan tak jauh dari tempatku duduk, ada sepasang kakek nenek sedang menghabiskan sorenya. Wow, romatis sekali pikirku. Mereka menyindirku atau apa?
Lama-lama aku jadi penasaran, apa sih yang sebenarnya mereka bincangkan? Apa sih topik yang bisa membuat mereka tidak berpisah hingga hari ini.
Aku menggeser dudukku mendekati mereka, Nenek itu nampak antusias bercerita mata abu-abunya seperti hidup kembali. Dan kakek yang lebih kurus itu menanggapi juga...
“Pa, ikan di pasar tadi besar-besar. Aku ingin beli satu untuk makan malam kita. Tapi kata Kania, harganya terlalu mahal jadi aku tidak jadi membelinya dan lebih memilih beli ikan yang lebih kecil. Kamu tidak marah kan?”
“Aku mencintaimu.”
“Memang sih rasanya pasti kurang mantab. Tapi aku janji Pa, berapapun harganya, di saat hari ulang tahunmu aku akan masakkan ikan besar yang enak itu.”
“Aku mencintaimu.”
“Hahaha... aku juga heran kenapa harga ikan itu bisa begitu mahal. Padahal ikan ciptaan Tuhan, harusnya gratis kan?”
“Aku mencintaimu.”
Aku mengernyitkan kening, ada yang tidak beres dengan percakapan mereka.
“Oma, Opa...”
Seorang gadis yang... kuakui, manis, berlari menghampiri kakek nenek itu.
“Alat bantu dengarnya ketinggalan.”
Lembut, suaranya begitu lembut. Tingkah lakunya juga. Senyumnya berbeda dengan senyum perempuan manapun. Menenangkan.
Kakek nenek itu menghentikan percakapan, lalu mendongak bingung ke arah si gadis. Dengan telaten gadis itu memasangkan alat bantu dengar ke nenek kakeknya.
“Hahaha, terimakasih Kania. Pantas aku tadi tidak dengar Opamu bicara apa. Jadi aku terus-terusan bercerita sesukaku.”
Oh, jadi namanya Kania.
“Memang tadi Oma bercerita apa?” Tanya Kania, masih dengan tatapannya yang begitu meneduhkan.
“Oma bicara tentang harga ikan yang mahal di pasar tadi Kania.”
“Opa?”
Si kakek tak langsung menjawab, tapi akhirnya ia bicara, “Sama, kebetulan sekali ya, meskipun tidak mendengar Oma, Opa juga bicara tentang ikan yang kecil-kecil di dapur.”
Aku tidak tahan untuk tertawa. Tiba-tiba suasana hening. Ternyata mereka bertiga sudah menoleh ke arahku.
“Ada yang lucu?” Kania nampak sedikit kaget dan bingung mungkin, ada orang aneh yang tiba-tiba menyela percakapan mereka dengan tawa yang menyebalkan.
Aku beranjak, menghampiri mereka bertiga, “Maaf, maaf. Saya tidak bermaksud. Saya cuma mau bilang, kamu punya kakek nenek yang luar biasa,” kataku pada Kania.
Kania menatap kakek neneknya bangga. “Memang.”
“Sebenarnya dari tadi saya menjadi saksi perbincangan mereka, dan apa yang mereka bicarakan lebih dari sekadar masalah ikan di pasar atau di dapur,”lanjutku.
Wajah kakek berubah masygul.
“Oh ya? Jadi apa yang mereka bicarakan?”
Kali ini Kania menatap kakek neneknya penuh curiga.
“Mereka bicara tentang cinta. Tiga kali, kakek bilang, aku mencintaimu.”
Dan yang tidak kusangka adalah, wajah kakek dan nenek itu bersemu merah. Hei, kalian sudah tua. Dan aku baru saja patah hati.
“Hahaha... sudah kuduga-sudah kuduga,” si nenek menepuk-nepuk pundak suaminya.
“Dalam pembicaraan tadi, nenek juga bilang akan memasakkan ikan besar itu berapapun harganya, saat hari ulang tahun kakek,” kali ini nenek terdiam. Ia menunduk malu.
“Oh, janji ya Oma!” Kakek seperti mendapat kesempatan balas dendam.
Kania tertawa ke arahku. Aku baru sadar giginya begitu rapi, dan lesung pipinya, cantik meski hanya sebelah.
“Ya, Oma dan Opa memang begitu.”
“Mereka luar biasa,” pujiku sekali lagi.
“Maaf jika mereka mengganggu soremu.”
“Oh tidak, mereka memperbaiki sore ku.”
“Oh ya? Bagaimana ceritanya?”
“Sebelumnya perkenalkan, namaku Aldo.”
“Kania.”
Dan sore ini matahari tenggelam tepat waktu. Penyelasan hilang pelan-pelan, berganti rasa syukur yang memuncak ke langit-langit. Biarkan saja kapal di pantai sana terisi orang lain. Mungkin keluarga nelayan yang jarang makan enak. Di sini di bawah tatapan cakrawala yang memerah, kami menghabiskan senja bersama, menjalani rencana Tuhan yang Ia buat sesempurna mungkin untukku, bicara tentang cinta dan tertawa renyah berempat bersama debar-debar hati yang baru. Dan satu lagi, sudah kubilang, hari sial itu tidak ada.