Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Jangan Ikut Aku, Aku Tertipu

19 November 2022   23:12 Diperbarui: 19 November 2022   23:18 233 2
Entah apa lagi namanya, mencari jejak kata di KBBI saja sudah tidak ditemukan. Yang lebih ikhlas dari kata ikhlas. Yang lebih marah dari kata marah.

Pernah mengeluh tak pernah berhenti. Namun Tuhan memang selalu punya jawaban.

Siang itu, di depan teras Mama. Kursi coklat penuh debu yang sudah lama tidak bertemu kembali aku bersihkan. Sambil ku lap perlahan, kutatap tajam pintu samping rumah Mama.
Di pintu ini, biasanya aku bertemu sebelum aku berangkat kerja. Ku kecup Mama, kupeluk, kucium sambil menunggu petuah Bapa, "Kerja yang baik, kamu dan kakimu bertanggungjawab untuk masa depanmu".

Sesungguhnya aku lelah. Rasanya aku iri pada perempuan-perempuan di luar sana yang bisa tertawa kapan saja, yang punya jadwal reuni hampir sepanjang tahun, yang Post Story makanan-makanan viral, yang pamer tiket liburan dan yang paling penting yang kerjanya setelah bangun, panggil mbaknya, duduk di meja makan, post story lagi, dadah ke suaminya lalu post story lagi, mandi, antar anak dan kembali kocok arisan sambil kuliner makanan mahal.

Sementara aku, di pagi itu, adalah pagi yang kesekian kali, harus bangun jam 3 Pagi, ambil alih kerjaan Mbak, karena memang tidak pernah punya Mbak, tidak sempat dandan karena takut ketinggalan kereta, dan kembali berdoa semoga aku selalu kuat. Lalu mulai menghitung sisa uang setelah dipotong harga tiket kereta sambil berpikir, cukup tidak ya hingga aku diberi upah lagi bulan ini.

Lagi-lagi Bapak selalu kuatkan. Usahamu besar, In Sya Allah rezekimu besar.
"Aamiin Pak!"

Aku tak pernah terbuka dengan kesusahanku. Semua orang tidak akan pernah percaya bahwa aku juga bisa tidak punya uang. Tapi aku yakin Mama dan Bapak paham, sehingga sampai menuju pulang pun tak pernah sekalipun minta apapun kecuali aku yang membelikan.

"Tabung ya Neng. Perjalananmu masih sangat Panjang!"
Dan inilah ingkar pertamaku.

Uangku tak pernah kutabung. Bagaimana bisa. Untuk makan saja aku harus hitung. Karena jika kelepasan, maka nasi sambal harus cukup untukku. Untung saja lidahku terbiasa.
Namun saat bertemu Mama dan Bapak, makanan favorit menjadi pilihanku. Semata agar Mama dan Bapak tidak khawatir. Maaf ya...

Hingga akhirnya aku dipermainkan. Sore itu, aku yang seharusnya tinggal di rumah sakit memilih pulang sebentar. Mungkin aku penuh dosa sehingga Tuhan tak izinkan aku temani Mama dan Bapak di saat terakhirnya.

5 meni saat aku pergi hatiku terlampau sakit. Tak kutemukan jawaban hingga akhirnya pesan singkat masuk di handphoneku.
"Semua anak mama ditunggu di Rumah Sakit!"

Aku linglung, aku limbung, aku pergi berlari saat hujan deras menuju rumah sakit. Hingga tiba-tiba aku sudah dibawa oleh entah siapa, dipangkunya aku menuju motor dia, kuyup badanku tak kurasa sama sekali. Sampai di sana, aku hanya melihat bapa sedang koma.

Aku dilarang menangis. Aku bingung. Benar-benar bingung.
Ranjang Mama kosong. Infus Mama masih ada.

Terlalu banyak orang di kamar. Suster membereskan peralatan mama. Aku dilarang bertanya.
"Mama masuk ICU?"
"Enggak Mbak!"
"Lalu?"

Tak puas di situ. Semua orang diam hanya berkata. "Neng jangan nangis, Bapak nanti dengar"
Ah apalagi ini Tuhan.

Kuberlari ke meja satpam kamar Mama. Berharap mendapat jawaban yang baik.
"Sabar, pulang ya. Tunggu mama di rumah!"
"Mama sembuh?" aku terlihat bego. Kondisi mama sore tadi saja sangat tidak mungkin untuk mama sembuh secepat itu.

Aku kehilangan energi.
Hanya sempat sampaikan melalu pesan singkat. "Mama nggak ada, Mas!"

Kembali ke rumah.
Kutatap tempat tidur Mama dan Bapak. Mataku tertuju pada barisan gamis hitam di belakang pintu.
Rapi dan sudah dipotong agar pas dipakai saat lebaran kata mama.

Tapi ini masih Januari. Masih lama menuju lebaran.

Ah aku bego.
Pantas mama ngotot rapikan baju. Ternyata biar aku memakai baju yang disiapkan mama saat menghantarkan mama dan kemudian bapa menuju peristirahatan terakhirnya.

Menunduk dalam. Menyesali waktuku yang terbuang percuma.
Tiba-tiba aku kembali merasakan sakit hati yang begitu perih.
Malam itu, sesudah isya. Tepat setelah kumandikan jenazah Mama. Lirih hati berkata. Sebentar lagi Bapa pun mandi di sini.



Ah...
Aku kehilangan arah dalam waktu yang bersamaan. Sungguh aku tidak siap. Aku bisa gila. Dan ternyata memang aku menjadi gila. Belum kutemukan obatnya. Semoga aku segera sembuh.

Rasa kangen yang begitu dalam.
Di kursi coklat di depan pintu samping rumah Mama. Kuteguk teh panas yang sering disajikan Mama untuk Bapak.

Senyum Bapak manis sekali. Senyum yang sering kudapati di dalam mimpi saat menenangkanku untuk selalu sabar dan ikhlas.

"Aku tidak kuat Pak. Aku lelah seperti ini. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Rasanya semua hariku isinya penipuan. Atau mungkin aku yang tertipu."

Bapak tidak salah jika Bapak bilang aku anak yang kuat. Aku kuat kok Pak, buktinya Allah saja masih kasih ujian hingga sekarang sementara aku menangis hampir tiap malam.

Itu pertanda aku kuat atau tidak ya?

Aku pamit.
Kuambil wudhu, bersiap cerita pada Tuhan. Saat ini tak seorangpun yang aku percaya selain Sang pemilik.

Untuk ketiga kalinya. Aku merasakan. Tiba-tiba menyeruak hebat.
Hatiku perih, sakit sekali. Hari itu aku banyak tertawa. Bahkan aku menjadi inspirasi beberapa orang. "Hei, beri tahu kami dong, bagaimana caranya Bahagia setiap saat?" Aku tertawa.
"Tuh kan.Kamu itu kapan saja di mana saja selalu tertawa."

Mereka lupa bahwa dunia ini adalah tempatnya drama. Untuk apa aku berbagi kesedihan, karena aku tahu yang menyelesaikan kesedihanku ya diriku sendiri.

Hingga malam ini, Tuhan masih memberi teka teki atas hari perih dan terlampau sakit ini.
Sedikit aku paham.
Namun seseorang berkata Kembali.
"Ikhlas. Tuhan punya jalan terbaikNya"

Kutunggu jawabanMu. Jawaban penuh makna, yang aku sangat yakin akan memberiku Bahagia lahir dan bathin.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun