Bahkan ketika Ibuk dengan berbusa menasihati Dru, masuk kuping kiri keluar kuping kanan menjadi hal yang sangat lumrah. Ibuk yang saat itu tak pernah bosan berbuih, Cuma ingatkan satu hal, " ya sudah lah terserah kamu. Yang penting kamu inget Gusti Allah. Jalan yang benar, Agama nomor satu. Ngaji dan shalat jangan jadi formalitas tapi harus jadi pegangan kamu!"
Biasanya kalau sudah begini, sambil menuangkan sirup ABC yang konon setelah itu membuat tenggorokan gatal, Dru hanya menganggukkan kepala, seolah menuangkan sirup harus konsentrasi tingkat tinggi agar ibuk ga dumel, "Lihat sini lo kalau Ibuk bicara"
103 FM menemani Dru untuk sekadar mencerna segala hal yang Ibuk sampaikan, kemudian berdebat dengan diri sendiri lalu membenarkan sedikit sabda Ibuk diakhiri dengan pernyataan mutakhir tak terbantahkan yaitu zaman Ibuk dan aku lain, maka apa yang Ibuk sampaikan jelas sudah tidak sejalan denganku.
Aroma kopi tumbuk sudah mulai tercium jauh sebelum adzan Shubuh berkumandang. Tinggal menunggu suara minyak goreng beradu dengan adonan ubi dan pisang goreng buatan Ibuk.
Mata masih saja sepet, semoga aroma gorengan Ibuk tidak segera menusuk hidung. Bukan malas shalat Shubuh tapi membayangkan air wudhu membasahi wajah saja rasanya seperti diguyur air hujan saat langit sedang gelap, kemudian karena lupa membawa payung sehingga harus berlari berlomba dengan cipratan air langit agar segera sampai di rumah dan menyelesaikan adegan tadi dengan mandi.
Kalau temanya sudah mandi, mau tidak mau harus melek permanen. Dibawa pulas lagi jelas sudah beda seninya.
Duh maaf ya Allah. Oke aku bangun.
"Dru..."
"Iya Buk... sudah. Ini sudah bangun."
"Mau bareng apa ndak?"
"Ndak Buk, Ibu sama Bapak aja. Aku masih ngelamun sebentar ya Buk"
Sayup terdengar dumelan Ibuk lagi.
"Dasar Dru. Sudah tahu kalau shubuh dia ada jadwal melamun, bangun lebih awal gitu lo. Nanti kalau Ibuk dan Bapak sudah tidak ada menyesal lo. Cari imam, cari teman Shubuhan ndak ada lagi."
Duh, Ibuk. Kebiasaan deh kalau mau ajak Shubuhan tapi aku masih ada jadwal yang lain.
"Aku dengar Buk. Besok aku bangun lebih awal ya"
Aku ingkar lagi. Sampai shubuh tadi masih saja aku tak bisa tepat janji untuk Ibuk dan Bapak.
"Aku buru-buru ya Buk. Kereta jam lima pagi. Minggu depan aku janji deh. Aku akan temani Ibuk jadi makmum Bapak ya."
Entah aku yang kurang peka. Atau memang aku adalah anak yang tidak tahu diri. Bisa-bisanya tidak paham atas perlakuan Ibuk dan Bapak yang di luar kebiasaan. Hari ini adalah perjalanan sesungguhnya dari Dru dimulai.
Hari Senin yang sangat membagongkan. Seharusnya tepat jam Sembilan pagi sudah sampai di kantor.
Turun di Stasiun Bekasi. Kereta sudah sangat padat penumpang. Bahkan hingga putaran ke tiga saja aku masih tidak bisa masuk atau setidaknya memaksakan masuk ke dalam kereta menuju Jakarta.
Kalau saja tahu akan seperti ini lebih baik aku berhenti sampai Gambir.
"Kok bisa selama itu sih Dru?"
"Iya aku juga kaget.Tidak biasanya aku sampai seterlambat ini. Jam tujuh biasanya sudah sampai di Stasiun Bekasi, dan biasanya langsung dapat kereta Jakarta. Tadi penuh luar biasa. Aku susah bergerak. Bahkan yang ada orang lari-lari ditambah dengan adanya copet menuju kereta. Akhirnya aku mundur daripada badan mungilku terinjak"
"Memangnya kamu semut bisa terinjak"
"Aku dicariin tadi?"
"Sama siapa?"
"Iya barangkali. Atau sebetulnya aku tidak masuk juga tidak ada dampak apa-apa ya?"
"Ada dong, gajimu pasti dipotong"
"Dih larinya ke gaji"
Sebetulnya aku tidak ada semangat di pagi ini. Bahkan Bram pun tidak dapat jadi alasan untuk aku berlama-lama dan betah di kantor.
Entah aku sudah bosan dengan Bram atau aku sudah tidak ada rasa sama sekali atau memang sebetulnya yang aku butuhkan adalah sendiri.
Perjalananku yang begitu menyenangkan saat masih Bersama Ibuk dan Bapak rasanya tidak ada lawannya. Tidak ada moment yang mengesankan dan membuatku nyaman selain Bersama Ibuk dan Bapak.
Tertawaku bukan pertanda aku Bahagia. Namun jika orang harus mengasihani aku karena kehidupanku, lebih baik orang iri dengan kebahagianku. Meratapi kesedihan dan kesepian di kamar adalah obat paling mujarab untuk aku menenangkan hati. So, publish hal-hal yang indah adalah salah satu caraku menutupi semua sedih dan gundahku.
Jika seantero jagat raya mengenal Dru sebagai pribadi yang paling menyenangkan, maka Dru telah berhasil menjadi pemeran utama kehidupan sesi dua.
"Aku izin boleh?"
"Baru sampai sudah minta izin?"
"Maka aku bertanya, boleh?"
"Tidak!"
Bram memindahkan laptopnya ke ruangan sebelah. It's oke. Memang mauku tidak melihatmu Bram. Tidak alasan untuk benci Bram. Tidak pula ada ruang untuk aku memikirkan Bram. Bahkan keinginan yang menggebu perihal hubunganku dengan Bram rasanya jadi kebas.
Aku tak peduli dengan apapun saat ini.
Aku tak peduli dengan nyanyian manusia-manusia tidak penting.
Telingaku sudah sangat terbiasa untuk tidak ada di garda terdepan tentang menjadi ratu.
Mencoba mengingat Kembali, babak baru saat aku menyebutku sebagai perempuan dewasa yang dapat menjaga dirinya sendiri. Dengan begitu percaya diri aku sampaikan pada Ibuk dan bapak bahwa aku dapat diandalkan. Aku yakin dengan keyakinanku, maka tidak perlu khawatir. Satu hari Ibuk dan Bapak akan berbahagia dengan kebahagiaanku. Aku akan menjadi perempuan beruntung di muka bumi ini karena pilihan hidupku tak pernah salah.
"Percaya.Ibuk mah percaya sama kamu. Kamu kan tegas, tidak mungkin kamu ambil keputusan keliru"
Hah, hebat kali kau Dru. Sebegitu bacotnya kamu hingga Ibuk luar biasa percaya sama kamu saat itu.
Oh tenang saja. Aku akan menjaga hati Ibuk dan Bapak. Aku yakinkan sekali lagi aku tidak akan membuat sisa hidup Ibuk dan Bapak susah. Aku akan menomorsatukan mereka. Maka jika aku punya pasangan haru sayang Ibu dan Bapak. Karena aku yakin aku pun bisa sayang dengan mertuaku nanti.
Bagus kan imajinasiku!
Sampai akhirnya waktu itu tiba. Dengan segala sisa kekhawatiran. Ibuk dan Bapak ikhlaskan keputusanku.
Apakah aku ragu? Iya.
Lalu apakah aku berhenti? Tidak.
Gengsiku terlalu tinggi saat itu. Satu bulan menjelang pernikahanku. Aku baru paham bahwa ternyata pasanganku bukan besar di culture agama yang aku harapkan.
"Loh bukannya kamu jatuh cinta karena dia taat Dru? Shalat tak pernah tertinggal. Puasa Sunah rajin?"
Siapa yang bertanya ya saat itu. Tapi kurang lebih jawabanku seperti ini.
"Iya, aku tertipu. Maka jika siapapun mau dapat pasangan yang taat agama, kenali baik-baik. Percayalah semakin lama saling kenal akan semakin baik. Jangan terlalu berbangga hati tanpa pacaran langsung menikah adalah hal yang fenomenal. Berdebat dan adu argument adalah salah satu hal kecil untuk saling mengenal. Saat marah dan emosi adalah saat paling tepat untuk kamu menilai pasanganmu."
Kehidupan tidak boleh berhenti. Penyesalan tidak boleh aku pupuk terus. Karena bagaimanapun aku masih memiliki cita-cita dan harapan yang konon katanya tak boleh terputus.
"Buk, maaf terlambat lagi."
Aku benar-benar tak bisa tepati janji. Sungguh penyesalanku tak akan pernah terbayar.
Jika saat ini banyak hal yang tidak mengenakkan yang aku lalui. Aku yakin karena ulahku yang tak pernah mengiyakan Ibuk dan Bapak.
Maaf ya Buk, Pak. Aku minta maaf. Jika sampai pada akhirnya ceritaku tak seindah yang aku gaungkan. Bahkan hingga detik ini aku limbung.
Aku benar-benar tak punya imam, tak punya teman menjadi makmum.
Aku kesepian.
Saat ini tugasku doakan Ibuk dan Bapak. Baik-baik di sana ya. Gusti Allah sayang sekali sama Ibuk dan Bapak.
Keinginanku tak banyak sekarang. Aku hanya ingin Bahagia.
Maaf ya Buk, jika semua hal berbusa dari Ibuk baru kuingat dan kujalankan saat ini. Kiranya Ibuk dan Bapak memaafkan aku.
I love you...