Aku bisa tertawa lepas, sampai suaraku menghilang perlahan dan air mata mengikuti dari belakang.
Biasanya kalau sudah seperti itu Bram ikut tertawa, intonasi tertawanya kurang bagus sehingga lebih mirip penonton bayaran Dahsyat yang sedang menonton almarhum Olga bercanda dengan Raffi padahal pikirannya lagi melayang ke sejumlah uang yang akan diterima nanti. Semakin banyak tertawa, semakin ramai, semakin banyak jam untuk jadi penonton bayaran maka semakin banyak pula cuan yang bisa disimpan untuk masa depan, setidaknya satu tahun ke depan.
Aku pun bisa terdiam, dengan sangat lama. Jika pada akhirnya tak ada yang paham dengan diamku, aku bereskan semua perlengkapanku, turun sedikit ke arah kedai kopi di lantai satu, memesan kopi panas take and go, menarik nafas lebih dalam dan lebih lama lalu mengencangkan safety beltku, menyalakan radio dan mulai menyimpan kaki pada pedal gas yang sudah distel dengan tingkat amarah yang baru saja lewat.
Tiga puluh menit adalah waktu yang pas untuk aku berdrama dengan diriku sendiri, dengan sedikit lebay biasanya seperti ini adegannya;
"Ya Tuhan, cukup. Kurang apalagi ujian untukku? Apa aku terlalu kuat sehingga Engkau biarkan aku seperti ini terus?"
atau seperti ini, "Oke fine Tuhan, saya ikhlas. Jika memang jalanku seperti ini, ini yang terbaik yang Engkau berikan" kemudian setelah itu sesenggukan, berkaca sebentar, memastikan pose menangisku ga jelek-jelek amat.
Damn and shit. Berlebihan seorang Dru menjadi seorang perempuan. Terlalu feminim dalam soal rasa namun sangat maskulin dalam berdebat dengan semua orang termasuk Bram.
"Hai, sudah lama di situ?"
"Lumayan."
"Lumayan lama atau lumayan kesal atau?"
"Lumayan bikin pantatku tepos"
"Hahahaha...bisa saja kamu. Apa kabar hari ini? Aku perhatikan kamu banyak tertawa hari ini"
"Memang kalua aku banyak tertawa, itu pertanda baik?"
"Ya, setidaknya kamu tampak lebih manis jika dibandingkan dengan melipat muka sepanjang hari"
"Oh"
"Kamu itu tidak bisa sedikit luwes begitu? Jangan judes banget deh jadi perempuan"
"Memang kamu siapa? Mengatur tingkat keluwesan aku yang bahkan kamu sendiri tidak tahu kaku dan luwesku sampai level mana"
Ga betah lama-lama berbicara dengan orang yang tidak kuharapkan datang. Tumbennya tidak ada satu mahluk pun yang berniat menculikku sekadar lepas dari obrolan basa basi yang sangat tidak kusukai.
"Kamu itu judes Dru. Bagaimana caranya laki-laki betah sama kamu kalau begini terus."
"Aku punya level judes versiku sendiri. Kalau sampai seseorang menyampaikan semua jeleknya aku, ya pertanda aku tidak suka dengan orang itu. Pertanda aku tak berharap dia berlama-lama denganku. Pertanda aku muak didekati laki-laki dengan segala label kesulatanannya berharap mendapatkan barbie berbalut kebaya."
"Ya ga begitu juga Dru. Tapi mbok ya senyum gitu lo!"
"Duh udah deh. Tadi siapa sekarang siapa, kalian sudah tidak tahu mesti ngapain ya, sampai tugasnya itu ngikutin aku?"
"Ih Dru.."
Cyndi melengos. Membiarkan Dru sendirian di bangku taman yang perlahan satu persatu sudah mulai meninggalkan baunya di situ.
Tidak ada seorangpun yang dapat membuat Dru Kembali seperti Dru yang dulu. Bram sekalipun.
"Sok tahu, memang seberapa besar pengetahuanmu tentang masa laluku?"
Kamu yang setiap hari melihatku dari pagi hingga malam. Kamu yang setia mendengarkan segala keluh kesahku. Kamu yang terus bertahan di ranting coklatmu, dengan segala upaya kamu tetap meminta agar Tuhan biarkan kamu tetap ada di situ. Setidaknya hingga aku mulai bosan bercerita atau hingga aku sudah dapat penggantimu.
Jika sehelai daun saja bisa bertahan dari serangan dan ombang ambing angin sepanjang waktu. Lantas kenapa aku bisa sangat rapuh karena perlakuan laki-laki. Jenis manusia yang kadang ingin kulenyapkan dari bumi ini. Namun di sisi lain kalua semua isinya perempuan dunia ga asik juga.
Aku baik-baik saja seharusnya jika tidak simpan harapan terlalu tinggi dan doa yang semakin lekat.
Kekhawatiran dengan banyak hal mau tidak mau membuat perasaanku pada Bram sedikit, sedikiiiiiiiiit saja berkurang. Bukan sudah tak mau merindu, hanya sudah telanjur hilang kepercayaan dengan segala hal yang Bram janjikan berbalut doa.
"Jadi kamu tidak percaya doa? Di sana Bram khusyu berdoa untuk kamu dan dia. Sementara di sini kamu hanya membandingakn hidupmu dengan aku yang sebetulnya tanpa ada aku pun dunia akan tertawa. Ranting akan tetap berdiri tegak dan Pohon bisa menjadi raksasa hebat penuh energi sekalipun aku taka da lo Dru. Sementara kamu, tanpa kamu sadari mungkin saja Bram akan kehilangan arah hidup jika kamu tinggalkan dia"
"Wow, gila kamu ya? Bram kehilangan arah hidup jika tidak ada aku? Kamu makin coklat makin tidak masuk akal bicaramu."
"Salah Dru. Tidak begitu"
"Begitu. Aku tahu diri. Sangat tahu diri. Bahwa aku hanyalah perempuan yang kehilangan martabat yang sedang mencari di jalanan tentang arti cinta dan rasa, namun sayangnya yang dipeoleh hanya umpatan, cacian, hinaan, yang pada akhirnya aku semakin tidak percaya diri menjadi seorang perempuan yang bercita-cita menjadi pendamping dari pasangan yang begitu menyanyanginya.
"Apa salah Bram?"
"Banyak"
"Iya apa, sebutkan!"
"Pokonya banyak. Saking banyaknya aku tak bisa lagi sebutkan satu peratu."
"Bram sedang berjuang untuk kamu. Kamu menyangsikannya?"
"Berjuang? Lucu kamu. Tidak ada. Tidak pernah ada"
"Ada Dru. Aku saksinya."
"Hei, kamu di sini. Tempatmu tak pernah berpindah. Bagaimana caranya kamu tahu? Bram saja tak kenal denganmu"
Nanar kutatap daun yang sudah tua ini. Dengan penuh harap dia memintaku bersabar.
"Jangan begitu tatapannya. Sungguh tak enak dipandang"
"Iya jangan begitu dong Dru. Jika hingga detik ini aku masih belum bisa menjemputku. Sungguh bukan maksudku. Aku yakin Tuhan sedang siapkan waktu terbaik untuk kita"
Ku Aamiinkan saja dulu.