Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Melekatnya Kenangan Anak terhadap Orangtua

9 Juli 2020   19:09 Diperbarui: 9 Juli 2020   19:02 140 31
Entah apa yang menyebabkan saya kadang tertawa sendiri. Kadang juga merasa kesal bila ada siswa saya yang curhat panjang tentang kehidupan pribadinya.

Kebetulan yang bersangkutan telah lulus kuliah. Karena masih terhubung dengan kontak WA jadi kami kadang masih bisa saling berkomunikasi.

Siswa tersebut menuliskan curhatannya, saat aku mengingat ayah dan ibuku kadang aku tertawa. Meskipun begitu sebenarnya aku seharusnya lebih banyak merasa kasihan daripada sekedar mentertawakan.

Bagaimana tidak, ibu selalu sibuk dengan dunianya  yang penuh dengan pekerjaan sehari-hari. Sebagian besar waktunya digunakan untuk bergosip berjam-jam.

Ketika sudah memegang HP maka bila urusan rumah selesai, ada saja teman ngobrolnya. Tentu saja telpon lewat jaringan media sosial. Kadang lebih sering menggunakan vedio call.

Bila kami, aku dan saudara laki-laki datang ke rumah. Maklum, kini aku telah tinggal di tempat kost, sementara saudara laki-lakiku juga sudah bekerja dan berkeluarga.

Ketika di antara kami ada yang datang, karena beberapa keperluan, ibu sepertinya menunjukkan rasa tidak senang, karena merasa terpotong pembicaraannya.

Ibu tak menyadari sementara ia asyik membicarakan kekurangan orang lain, ia telah membuatku seperti burung yang terbang ke sana ke mari demi menumpahkan isi hati kepada orang lain.

Ayah dan ibuku kadang sibuk berdebat satu sama lain. Jika tidak begitu mereka sedang asyik bergosip dengan teman-temannya.

Jika sudah bosan, mereka akan ke luar rumah. Sementara aku disibukkan dengan kegiatan kuliah, kadang dari pagi hingga malam hari.

Sehingga aku pun jarang melihat ayah. Kebetulan guruku seorang psikolog. Beberapa hari lalu, ia membicarakan tentang pengaruh seorang ayah terhadap kejiwaan anak perempuannya.

Pembicaraannya itu sangat menyentuh hati. Ia benar ketika mengatakan bahwa aku adalah orang yang telah dewasa di mata semua orang. Namun, aku tetap merasa perlu bimbingan ayahku setiap saat dalam hidupku.

Aku perlu kekuatan moral seorang yang bijak dan baik. Namun, ayahku kelihatannya tak punya waktu untukku.

Demikianlah, menjadi orangtua yang berangsur-angsur satu persatu anaknya pergi meninggalkannya. Untuk mengusir sepi terpaksa melakukan kegiatan yang tanpa disadari kadang merupakan kegiatan yang dianggap salah oleh anaknya.

Anak yang mulai dewasa mampu memberikan penilaian atas apa yang dilakukan orangtua.

Berbeda dengan cerita yang disampaikan oleh siswaku yang lain. Katanya, suatu malam, ayahku pulang dan memberikan teka teki kepadaku. Ia juga mengatakan bahwa teman-teman di kantornya tak dapat memecahkan masalah tersebut.

Saat itu semua orang di rumah telah tertidur, saat aku mencoba memecahkan teka teki itu. Aku lama memikirkannya, hingga aku akhirnya menemukan jawabannya.

Aku sangat gembira, sehingga membangunkan ayahku untuk memberitahunya. Ia pun merasa senang atas upayaku memecahkan teka teki itu.

Ia selalu mendorongku menajamkan daya intelektualitasku. Ia telah mempersiapkanku dengan baik untuk menghadapii persoalan hidup secara bijaksana.

Apa pun yang telah dilakukan oleh orangtua akan begitu melekat pada benak anak hingga usianya beranjak dewasa.

Tak sedikit yang kemudian menjadikan apa yang telah dilakukan orangtua jadi pembelajaran anak selama hidupnya. Dan turun temurun disampaikan kepada anaknya lagi.

Memberikan warisan berupa budi pekerti dan perilaku terbaik, baik dalam bentuk kasih sayang. perhatian, perbuatan yang dapat dijadikan teladan tentu saja lebih baik daripada warisan harta benda yang mungkin saja akan menjadi perebutan antar saudara.

Jadi, pada saat menjadi orangtua, melakukan yang terbaik demi anak-anaknya adalah sebuah kewajiban yang harus diemban

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun