Derita Lapindo, derita kami semua. Terutama para pengguna jalan yang melintasi jalan menuju kawasan timur Jawa Timur ini. Sebelum peristiwa semburan lumpur Lapindo 29 Mei 2006, sebelum tanggul-tanggul menjulang tinggi dan bau gas menyengat pekat seperti saat ini, saya sudah terbiasa melintasi jalur ini pulang dan pergi dengan motor.
Sejauh ini kondisinya masih belum juga membaik. Pada siang hari debu-debu halus jalanan beterbangan menyesakkan dada, terhirup habis sampai di bagian dalam kantung paru-paruku. Dan jika musim berganti kacau seperti dua hari belakangan ini, di sela-sela panas yang terik tiba-tiba hujan deras mengguyur, jalanan sangat becek dan licin membuat motor terseok, oleng, atau selip.
Namun semua itu tak menyurutkan semangatku untuk tetap menjalankan kewajibanku sebagai seorang pendidik. Aku menganggap perjalanan yang kaulakukan sebagai suatu amanah, bukan semata-mata mengharapkan gelontoran materi dan bonus-bonus berbagai tunjangan profesi. Bukan juga untuk mengaktualisasi diri, karena kurasa bukan disanalah tempatnya, mengajar di pelosok bukanlah tempat yang aman untuk “unjuk kemampuan diri”. Mungkin untuk mengulang kisah Si Umar Bakri yang bermetamorfosis di abad millennium ini? Entahlah!
Terkadang mulut lacurku menggerutu, atas waktu yang tersita lantaran kacau dan macetnya jalan. Wajah-wajah kecut atasan dan teman sejawat sudah menanti atas keterlambatanku sampai di tujuan. Namun segera kuucap istighfar saat kudengar rengekan anak-anak berbaju kumuh mengantri koin rupiah di setiap perempatan jalan dan lampu merah yang kulalui. Pernah suatu saat aku merasa malu menyaksikan seorang penambal ban yang telah renta masih bersemangat menambal ban bocorku meskipun berjalannya terseok-seok karena stroke, bahkan ia tak mengharap uang belas kasihanku yang kubayarkan beberapa kali harga jasanya
Kita semua berharap, kapan situasi dapat normal kembali sehingga dapat melintas kembali dengan nyaman. Apalagi Bulan Ramadhan sudah semakin dekat. Tentunya akan juga berdampak pada kualitas ibadah puasa kita dalam mobilitas kita dalam berestafet dari satu tempat ke tempat lain. Semoga pemerintah menyadari betul situasi ini, dan segera menyelesaikan PRnya untuk mempersiapkan layanan mudik lebaran tahun ini.
Menjelang Puasa Ramadhan, pantaskah aku menyangsikan semua berkah dariNya? Berkah yang bisa terpungut di sepanjang perjalanan, tanpa sewot, amarah, dan memelihara lidah kita. Bersamaan situasinya dengan berbagai kebutuhan keluarga menjelang lebaran sudah mulai berjajar mengantri, menggelitik-gelitik emosi. Belum lagi harga semua kebutuhan pokok berlipat naik.
Semoga banyak hati nurani yang turut merasakan sulitnya deraan hidup, ada logika yang turut memikirkan kemiskinan dan kepapaan para jelata, ada tangan-tangan yang terpaksa bekerja ekstra menuntaskan kerja lemburnya, memberi layanan jalan yang lebih nyaman dan aman.
Menjelang Puasa Ramadhan dan Idul Fitri nanti, di sekian banyak perut menahan lapar dahaga, di sekian banyak nafsu yang terkekang, alangkah senangnya jika bisa kita lewati kembali sepanjang jalur Lapindo dengan nyaman, lancar, dan tanpa tersandung satu batu-batu di jalan.
Marhaban Ya Ramadhan…