Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Cinta Terlarang (Bagian 4 Tamat)

17 Juli 2010   14:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:47 482 0
[caption id="attachment_189296" align="alignleft" width="300" caption="pamissee.blogspot.com/"][/caption]

Lagu belum berakhir, aku bergegas berlari keluar café meninggalkannya sendiri. Kupacu mobil dengan kencang, sekencang tangisku yang tertahan. Apa lagi babak baru yang harus kujalani? Tidddaaaaaaaaaaaaakkk! Ternyata kau datang untuk mengiris-ngiris kembali hatiku!

Bima mematung di café, memandang sepotong tubuh yang berlari dan akhirnya menghilang dari pandangannya.

***

Sejak pertemuan itu, aku banyak diam. Sepulang dari butik usaha yang kubuka untuk menghidupi kami sekeluarga, kubuka setengah hari saja dua hari terakhir ini. Sepulangnya aku lebih menghabiskan waktu mengurung diri di kamar. Sulit untuk memulai membicarakan hal ini kepada Linda karena aku tahu pasti akan menikam jantung hatinya. Membiarkan saja masalah ini seperti sebelumnya, mustahil. Aku yakin cepat atau lambat waktu akan mengungkap, akan tetapi sebelum aku menyampaikan pada Linda yang paling terpenting adalah aku harus berbicara lagi pada Bima, dan untuk menemuinya kembali aku merasa berat sekali. Berulang kali sudah Bima mencoba menghubungiku lewat handphone. Berulang kali juga mama membujukku untuk menemuinya saat Bima ke rumah. Tapi sampai saat ini semua masih mentah!

***

Jam di dinding menunjuk pukul 13.45 Wib. Siang di akhir pekan ini agak menyesakkan dada. Udara terasa kering dan panas. Kucoba membuka halaman surat kabar di beranda, terasa pegal-pegal juga badanku setelah seharian hanya tiduran di kamar. Sedan hitam berhenti tepat di muka rumah. Tamu, pikirku. Yang keluar dari mobil malah Linda. Tak lama kulihat…Bima! Sialan, rupanya Bima mencoba mendekati Linda tanpa sepengetahuanku. Darahku berdesir cepat naik ke ubun-ubun.

“Assalamu’alaikum…” masih berbalut seragam sekolah Linda berlari kecil memasuki halaman rumah, menyalamiku dengan senyum renyahnya lantas berlalu masuk ke dalam. Bima tersenyum kecil menatap keherananku.

“Pulanglah..” pintaku lirih padanya saat dia tepat di hadapanku.

“Tidak.”

“Kau sudah lancang! Dan tak akan aku biarkan kau masuk ke kehidupan kami dan berbuat semau-maumu sendiri!”

“Hey, aku sudah ijin mamamu.”

“Lantas???”

“Ayolah Rin. Ijinkan aku bicara padamu. please...”

Plakkkkkkkk!! belum selesai Bima bicara aku sudah mendaratkan tamparan keras pipi kirinya.

“Pergiii!!” suaraku meninggi, tak pernah seumur hidup aku semarah dan merasa sehina ini.

“Pergi…iii..iiii pergi………..pergi….i…i…suaraku semakin melemah dan mulai sesenggukan, pergiii….iii….pergi…..iii…i……..melihatku meradang sesenggukan Bima menjauh, berbalik memunggungiku…tertunduk. Langkahnya gontai. Ia masuk mobil dan meluncur hilang dari pandanganku.

Mama keluar, merengkuhku. “Sudahlah Rin…kau jangan terlalu keras begini.” Mama membelaiku lembut. Teduh nian berada di pelukan mama. Mama mendekapku hangat, dan aku tak ingin lepas dari pelukan sayangnya.

“Aku bingung ma. Aku marah padanya.”

“Iya….Rin, mama tahu tapi jangan menghukum dirimu seumur hidupmu begini.” Mama terus membelai anak rambutku.

“Tapi aku tak bisa membiarkan Bima masuk lagi dalam kehidupanku,ma.”

“Mengapa? Apa kau masih mencintainya?” pertanyaan mama membuatku malu. Meskipun aku tahu mama sangat mengerti isi hatiku dan mama memang tak seperti papa, keras kapala tanpa mau kompromi tapi pertanyaan mama sama sekali tak kusangka-sangka.

“ Mama jangan berkata begitu.” pintaku

“Beri Bima waktu untuk bicara, ia akan menyampaikan sesuatu yang sangat penting. Kau harus mau mendengarkan. Jangan egois begini, Rin.” Aku merasa tiba-tiba saja mama berpihak pada Bima.

“Mengapa mama malah membelanya?”

“Sudahlah…bicaralah dengannya. Mungkin setelah kalian berbicara semua akan jelas jadinya.”

“Tidak akan, ma.”

“Bagaimana jika Bimapun masih mencintaimu?” alis mama berkenyit menunggu jawaban dariku. Sorot mata mama penuh selidik tak mau lepas memandangku, sabar menunggu jawabanku.

“Ma, jangan ngawur ma. Tolonglah mama jangan membuatku semakin bingung.”

“Bima sudah menceritakan apa maunya pada mama kemarin, Rin.”

Kudongakkan kepala. Menatap tajam mata mama, sekarang giliranku yang menunggu reaksi dari mama, “Apa yang mama bilang barusan?”

“Bima sesungguhnya…”

“Ya?” tak sabar kutunggu kalimat mama.

“Sesungguhnya dia, dia bukan anak papa, Rin.” Aku terkejut. Keterkejutanku bukan seperti orang yang tersambar halilintar, bukan juga seperti mendengar suara dentuman bom yang tiba-tiba meledak. Keterkejutanku seperti jika tubuh ini tiba-tiba dijatuhkan ke dalam lautan es yang teramat dingin, hingga rasa dingin itu menusuk –nusuk sampai ke tulang. Membekukan peredaran darah, mematikan rasa dan juga logika. Aku terdiam. Kosong.

“Bima…” aku mendesis. Rasa dingin yang menjalari seluruh relung jiwaku, hanya dia yang bisa menghangatkannya.

“Bima anak Sonny.” Lanjut mama.

“Aku semakin tak mengerti, ma.”

“Bima telah melakukan uji tes DNA beberapa bulan sebelum papamu meninggal. Dan hasilnya ternyata ia positif anak Sonny, bukan anak papa.”

“Dan mama tahu itu?”

“Ya, kami semua tahu. Waktu itu Bima pulang, menyampaikan berita ini pada keluarga, pada kami semua, mama terdiam sejenak…tapi papa tak ingin kau tahu, nak.” Suara mama memelas.

Aku bangkit dari pelukan mama. Teganya mama membohongiku selama ini…”

“Rin, maafkan mama. Mama tak bisa berbuat apa-apa”

Kutinggalkan mama sendirian. Mama orang yang paling aku hormati, orang yang paling aku sayangi melebihi diriku sendiri, ternyata telah mencederai hatiku.

***

Aku memutuskan untuk secepatnya menemui Bima. Tekadku sudah bulat untuk berbicara padanya. Aku baru tersadar betapa bodohnya sikapku selama ini. Mengulur-ngulur waktu hanya membuatku semakin terombang-ambing dipermainkan perasaanku sendiri. Malam ini aku harus bertemu dengannya.

Kucoba menghubungi handphonenya. Berulangkali Bima berusaha menghubungiku tapi baru kali ini aku berani balik menghubunginya. Mengapa tak diangkatnya? Kucoba lagi menekan panggilan ulang, masih tak diangkatnya. Dan tiba-tiba klik! Tidak ada nada panggil lagi. Reject? Aku kalut. Marahkah dia? Kuulangi berulang kali namun tidak ada juga terhubung. Padahal sudah aku memutuskan untuk mengundangnya ke rumah malam ini.

Perasaanku riang tak terkira. Jika kau merasakan kegembiraan yang meletup-letup kau akan merasa waktu begitu cepat berlalu. Dan jika malam ini aku merasakan hal itu dengan penuh perasaan berdebar, menantikan bergulirnya waktu untuk berjumpa dengannya, dengan penuh getar di jiwa, telah menyalakan semua sinyal yang menggelorakan desir darahku. Akh….perasaan yang sama setelah sekian tahun terpendam, alangkah lamanya waktu menghampiriku.

Bima, ingin lekas-lekas kukecup bibirmu itu. Perasaan kasmaran di tubuh gadisku dulu masih sama kurasakan saat ini. Perasaan tak sabar untuk berjumpa. Aku membayangkan lekuk-lekuk wajahnya yang masih terekam kala kami bertemu di café beberapa hari yang lalu. Wajah yang semakin matang dan tetap menyimpan ketampanan. Akh…Bima! Lagi-lagi aku menggumam sendiri.

Tiba-tiba handphone berdering. Ya Tuhan…Bima memanggil! Kegembiraan begitu meletup-letup sepertinya jiwa ini keluar dari tubuhku. Jiwaku menari mendayu-dayu dalam iringan lagu yang baru bisa kurasai makna syairnya saat ini, demi cinta.

“Hallo…” kuangkat telpon.

“Ibu Rini?” suara seorang laki-laki terdengar di seberang, tegas.

“Ya?”

“Maaf ibu, saya mencoba kontak dengan nomor terakhir yang telah mengontak hp ini…”

“Maksud bapak?”

“Bisakah ibu ke sini secepatnya? RSUD Dr. Soetomo. Bapak Bima kritis. Hallo…..hallo….”

Hp di tanganku jatuh. “Tidakkkkkkkkkkkk….mama…..mamaaaaaaaa” aku menjerit sekuat-kuatnya.

Mama dan Linda berlarian menghampiriku.

“Ada apa, ma?”

“Ada apa, Rin?”

“Bimm…Bimmaa, ma. Bima kecelakaan ma!” aku menangis histeris membayang tubuh Bima terkulai tak berdaya sendirian di rumah sakit. Seluruh tubuhku terasa lemas, tak kuasa untuk berdiri. Aku lunglai, terjatuh pingsan.

Ketika terbangun, mama dan Linda sedang memandangiku. Aku bangkit dengan sigap meski kemudian rasa pening di kepala masih terasa berat. Mama sudah siap mengajakku ke rumah sakit dan taxi sudah menunggu di luar 15 menit yang lalu.

“Ayolah sayang, kuatkan dirimu. Kita berangkat?” aku mengangguk dan mulai mengumpulkan kekuatan untuk melangkah.

***

Di rumah sakit, dua orang polisi sudah menunggu di depan ruang IRD. Aku yakin Bima kritis.

“Maaf , Ibu Rini?” Tanya seorang diantaranya kepadaku.

“Ya, saya pak.” Sahutku

Pak Suhendar polisi itu lalu menjelaskan kepada kami bahwa Bima mengalami kecelakaan di km 12 Jalan Tol Suarabaya-Porong. Sanksi mata mengatakan bahwa mobil beliau tiba-tiba terjungkal dan terlontar jauh setelah dua kali berbalik. Mobil yang dikendarainya berada di jalur paling kanan dan mulai kehilangan arah begitu mau belok ke kiri, dengan kecepatan yang tinggi membuat mobil nabrak jalur pembatas tol. Mobil gagal direm karena di depannya sebuah minivan dengan kecepatan lambat berada di jalur kiri…dan seterusnya….dan seterusnya…aku tak menyimak lagi.

Seorang dokter keluar dari ruangan, membuka sarung tangannya. “Maaf, Saudara Bima lukanya sedemikian parah, dan kami telah berusaha tapi beliau tak mampu bertahan. Beliau telah pergi.” Singkat saja dokter itu berkata dan segera berlalu.

Ha…ha….aku hanya bisa terkekeh mendengarnya……kubilang juga apa ma! Ha…..ha…..tawaku membahana di seluruh ruangan. Benarkan ma, ha….ha….ha.... semua mata mulai tak percaya memandangiku. Ha…ha….ha.....kubilang juga apa,ma! Tak lama lagi kami akan bersama lagi.. Ha…..ha…..ha.... aku ngeloyor keluar rumah sakit mencari Bima. Mencari kemana Bima pergi. Ha…ha…ha….........................................................................................................................................

Tamat

_______________________________________________________________________________________________________

·Diangkat dari kisah nyata seorang teman yang saat ini sedang dalam penyembuhan psykoterapis di RSJ Lawang.

·Nama dan kejadian sengaja disamarkan, diceritakan dengan tambahan unsur imajinatif penulis

·Semoga dia lekas sembuh dan bangun dari tidur panjangnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun