Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Nikahi atau Bunuh Saja Aku Sekalian!

25 Juni 2010   17:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:17 360 0
[caption id="attachment_177665" align="alignleft" width="240" caption="fineartamerica.com"][/caption]

Aku tak lebih dari sebatang pohon tua, yang hidup di tandusnya sahara tanpa ada yang bisa kauambil dariku selain lapuk dan kerontangku. Kalau kau masih bisa berfikir baguslah! Aku tak perlu bersusah payah menjelaskan padamu bagaimana diriku saat ini, yang tak lebih seonggok jasad tanpa jiwa. Jiwa itu telah bersenggama dengan siang dan malam hari, mengabarkan akan hadirnya satu lagi makhluk yang terjerambab dalam ruang keabu-abuan yang tak lagi dapat memilah warna hitam ataupun putih.

“Kita putus!” itu kata terkhir yang masih terngiang-ngiang di telingaku saat aku meminta pertanggungjawaban Dewa atas usia kandunganku yang saat ini berjalan enam minggu. Aku tak mampu lagi menyembunyikan rasa kawatirku. Depresi menggerogoti jiwaku hingga lapak-lapak logika tak mampu lagi menbawaku untuk berfikir rasional. Impossible! Wanita tangguh sepertiku saat ini meraung kesakitan, tanpa ada yang tahu dan peduli kegalauan hatiku .

“Ayolah,Wak. Jangan biarkan aku sendirian mengatasi masalah berat ini!” pintaku pada Dewa siang itu di kantornya, sengaja kutemui dia di jam kantor yang padat tak lain agar dia tak menghindariku lagi.

“Kamu gila Sis!” aku kaget dia membentakku kasar begitu. Selama ini aku tak pernah melihatnya kasar dan nanar seolah memendam sekam bara dalam dirinya.

“Coba kaupikir ulang untuk menuntut pertanggungjawabanku. Bagaimana kutahu janin itu anakku?” Pedas sekali perkataan Dewa tapi dia tak salah. Dewa memang bukan satu-satunya lelaki yang tidur denganku, tapi aku wanita. Memiliki insting siapa ayah dari janin yang ada dalam kandunganku ini. Sejak terlambat menstruasi di minggu pertama aku sudah berniat membuang saja janin sialan ini. Tak henti-hentinya aku mengumpati kebodohanku. Bagaimana bisa aku kecolongan begini? Bahkan aku sudah melakukan coitus sejak usiaku 14 tahun, saat masih kelas dua SMP dengan Bram pacar pertamaku.

Dini hari ini dalam perjalanan pulang menuju Banyuwangi, tak ada yang dapat kulakukan di kereta selain mengumpulkan kembali kepingan-kepingan kekecewaan yang timbul tenggelam dalam lamunanku hampir di sepertiga perjalananku pulang kampung. Wajah mereka, lelaki-lelaki yang kupacari secara bergantian seolah mengejek kebodohanku. Mana mungkin mereka mau bertanggung jawab, wong kami melakukannya atas dasar suka sama suka, tanpa paksaan bahkan setengah gila. Bagiku sebenarnya seks tak lebih kegiatan fisik semata yang berujung kepuasan batin yang telah terpenuhi. Tapi kalau urusan nikah atau berumah tangga, tunggu dulu!

Usiaku masih cukup belia. Aku masih haus belajar. Masih haus slengekan, haus menghabiskan waktu bersama teman satu komunitas, dan haus akan petualangan-petualangan lainnya selain mengurusi suami dan anak. Meski belum bisa dibilang wanita karier yang sukses tapi pekerjaanku cukup lumayan mapan. Pendapatan bulanan masih lebih-lebih untuk membiayai hidupku di kota metropolitan. “ Duh Gusti! Mengapa musibah ini menimpaku?” Setelah sekian lama aku melupakan Tuhan, kata-kata protes ini lancang keluar dari mulutku. Mau mengkambing hitamkan siapa lagi? Para lelaki bajingan itu? Aku? Atau…

Di pantulan kaca jendela kereta api jurusan Jakarta-Surabaya ini aku melihat bocah polos perponi dengan rambut  dikuncir ke belakang tengah berlarian di satu senja bersama teman-teman sebaya. Bocah itu adalah aku. Saat usia lima tahun aku sudah sering menaklukan banyak permainan dibanding teman-temanku. Dulu semasa anak-anak selalu saja aku yang paling jago diantara teman-temanku, dan sekarang… anehnya aku tidak jago dan tak berhasil merancang masa depanku sendiri.

Para pedagang hilir mudik menjajakan dagangan menambah pusing kepalaku saja. Aku sempatkan untuk tidur, mungkin dapat mengurangi denyut-denyut pusing di kepalaku. Teringat beberapa waktu lalu ketika terakhir aku pulang kampung halamanku di Banyuwangi Jawa Timur.

“Sis, cepat pulang. Bapakmu semakin kritis,”demikian emak menyuruhku pulang melalui HP malam kemarin. Hal ini sudah biasa bagiku. Maklum bapak sering ngalup, keluar masuk rumah sakit, kritis, gak sadar, ujung-ujungnya meminta aku pulang. Jika aku sudah sampai di rumah semua penyakit bapak langsung lenyap, bablas!

Tapi kali ini aku merasa diakali. Kepulanganku bukan karena bapak sakit, melainkan bapak dan emak sudah sepakat ingin mengawinkanku dengan pak kades kami yang baru ditinggal mati istrinya karena kanker serviks.

“Jika kamu tidak mau menikah dengan pak kades, biar bapak mati saja!” itu kata-kata yang bapak lancarkan untuk membujukku.

“Tapi, pak…. Sise tidak mengenal beliau. Bagaimana bisa aku bapak kawinkan dengannya?” aku mencoba merayu bapak.

“Kalau kamu anak yang berbakti, tentu pertanyaanmu itu tak seharusnya kauucapkan. Bapak capek melihatmu yang sendirian terus sepanjang hidup. Kapan kamu mau memberi bapak momongan? Siapa yang akan melanjutkan garis keturunan ini. Kamu anak bapak satu-satunya.” Bahkan aku tak berani sedikitpun menyela. Jika sudah begini cuma ada satu jawaban, manut atau maut menjemput bapak.

Dan tiga bulan berlalu semenjak peristiwa itu sampai saat ini aku tidak berani mengiyakan atau menolak. “Pak, beri Sise waktu ya?” itu kata-kata terakhirku sebelum malam itu meninggalkan rumah tanpa pamit.

Sekarang aku pulang hendak memenuhi janji bapak, menerima pinangan pak kades. Tapi, ini kulakukan bukan suatu pengabdian kepada orang tua. Bukan juga untuk membuat bapak senang karena berhasil menikahkanku. Tak lain adalah untuk mencari kambing hitam calon lelaki lain yang mau menikahi perut buncitku saat ini.

Sesampai di kampung aku langsung disambut sumringah. Bapak dengan gagahnya mengatakan aku wanitanya yang paling mulia. “Anak bapak, kau benar-benar anak bapak yang tak pernah sedikitpun bapak ragukan!” disambut senyum emak genap sudah rasa gembira itu.

Malam berganti pagi dan tak terasa tibalah aku pada hari menjelang pernikahan yang telah dirancang demikian detail. Jika esok bisa kulalui maka bereslah semua masalah, pikirku. Meskipun aku dironrong rasa tertekan, jangankan untuk mencintai lelaki itu, melihat wajah kaku dan kepala botaknya saja aku rasanya ingin muntah. Bagaimana bisa dengan tiba-tiba pria berusia 51 tahun  ini bersanding denganku? Dengan apa rentang jarak perbedaan usia kami akan kukaitkan? Akh… bukan itu tujuanku menikah dengannya.

Malam ini tak lagi ada yang bisa mencegahku, mencegahnya untuk menelanjangi diri masing-masing. Alunan musik berirama dangdut masih berdentum-dentum di malam kedua pesta pernikahanku. Di kamar pengantin kami, bulat-bulat kuserahkan diriku padanya, suamiku! Menunaikan kewajibanku sebagai seorang istri, meski semua perkataan dan rayuannya tak berhasil sedikitpun menghidupkan sinyal-sinyal hasratku. Tiba-tiba handphone berdering. Membuyarkan kontraksi seluruh kerja otot tubuh, membekukan butir-butir keringat yang mulai membahasahi dahi dan dadanya. Menciutkan nyali yang berkobar seketika.

“Hallo..”kataku membuka pembicaraan.

“Sis… perlahan suaranya memecah kekakuan dan kebisuan kamar ini. Maafkan aku. Bisakah kita bicara berdua?”

Handphone sontak kumatikan, itu suara Dewa.

Tak lama dering itu kembali mengagetkanku. Aku tak mempedulikannya. Kurejected seketika.

Lewat tengah malam, semilir angin lewat celah kaca jendela nako yang terbuka membangunkanku. Tidur yang terpenggal…membuahkan dahaga akan setitik air putih yang tentunya akan menyegarkan kembali tubuhku.

Karena belum terbiasa saat kembali dari dapur aku memasuki ruang yang salah, meski kufikir itu kamar pribadiku. Semula kubuka pintu, tak ada yang salah. Suamiku sudah berada di dalam kamar bertelanjang bulat lagi.

Aahh, lagi! Dia minta lagi… fikirku dalam keengganan. Tapi sesuatu tanpa sadar  membuatku  berkesima, bukan lantaran aku mendapati tubuh polosnya yang tambun  telah bertelanjan bulat, tapi ada dua tubuh telanjang di sana, seorang wanita dengan usia paruh baya  berada di ranjang itu masih dengan ginco merahnya yang norak.. Saking terkejutnya sampai suamiku tak mampu berkata-kata. “Sis…………………..tunggu!”

Aku hanya bisa beranjak tanpa bicara. Liar dibalas liar. Pecundang berhadapan dengan pecundang.  Begitulah! Mungkin seperti itulah hukum alam yang berlaku padaku saat ini. Di kamarku, yang benar-benar kamarku, dengan rasa tawar kunyalakan kembali handphoneku. Terdapat satu pesan di inbox. Sederet kalimat tertulis disana, hampir membuat nafasku berhenti.

Azizahku sayang…

Jika kau disana kedinginan bersama buah hati kita, biarkan aku menghangatkan tubuh kalian berdua dengan sisa bara api yang hampir padam karena telah membakarmu saat itu. Bara ini adalah bara yang sama yang saat itu menelantarkan cinta di atas nafsu gila semata. Kehilanganmu membuat separuh hati ini ingin menikam habis separuhnya lagi yang masih tersisa.

Andai ada yang bisa membelokkan arah jarum jam kuingin tak ada yang dapat memisahkan kita lagi terjebak dalam ruang dan waktu yang tak menentu di dunia abu-abu ini.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun