Mohon tunggu...
KOMENTAR
Dongeng

Seratus Rupiah Untuk Hari Ini

31 Maret 2012   12:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:13 163 0

Kamis merupakan hari berlibur untukku. Berdiam diri di rumah, sesekali nonton dvd korea, atau film-film update lainnya. Biasanya juga menghamburkan waktu untuk menulis beberapa alinea. Ataupun menulis sajak dan sesekali bisa menghabiskan beberapa buku (nggak sampe tamat sih, cuman yang pentingnya aja, hheee...).

Alangkah kesalnya saat hari kamis minggu ini harus diisi praktikum Produksi Film. Itu berarti minggu ini saya tidak punya waktu berlibur (ceritanya, setiap weekend selalu keluar rumah untuk mengikuti beberapa kegiatan). Apa boleh berkata, akhirnya kamis pagi setelah melaksanakan kewajiban rumah, nyapu, ngepel, nyuci de-el-el, saya berangkat dengan mio hitam yang sudah menemani selama hampir 3 tahun. Sudah pernah terjatuh dan tabrakan, tapi dia tetap setia temani walau body-nya udah lecet-lecet, kaca kanan depan udah pecah tapi mesinnya tetep wonder donk!!. Lho kok jadii ngomongin si hitam. Heumm... -__-!

Jadi, ceritanya hari tersebut harus praktikum di laboraturium Dakwah Audio Visual. Kami biasa menyebutnya DAV Production, biar lebih keren gitu. Setiba di lab, belum ada batang hidung yang terlihat termasuk dosen pembimbing kami. Saya pun menguhubungi pembimbing ternyata beliau tidak bisa hadir karena ada project yang harus segera diselesaikan. Saya pun dengan senang hati (wew!) langsung jarkom teman-teman, Wisnu, Charles, Fathur, k’Afthon, Ridho, Agus.

Akhirnya perpustakaan menjadi tempat ampuh penghilang kesendirian. Buku Komunikasi Antarpesona karya Alo Liliweri dan buku Panduan Praktis Menulis Skenario karya Eddy D. Iskandar menjadi tujuan utama.

Setelah didapat kedua buku, saya menghubungi sahabat saya, Teh Lia untuk makan siang. Karena tepat satu jam lagi waktu makan siang akan tiba. Kami pun bertemu di perpustakaan dan berdiskusi tentang makan siang kami.

“Makanan apa ya yang enak tapi murah?” ucap sahabatku.

“Paling warteg atas” jawabku.

“Tapi pengen yang rada spesial” ucapnya kembali.

Biasanya kami suka bernegosiasi (jadi inget bu Parihat, dosen mata kuliah Negosiasi,hhee..) untuk memberikan pilihan makan siang. Panasnya mentari membuat kami tidak konsentrasi memilih makanan yang berjejer dari Tamansari bawah sampe Tamansari atas deket Kopma.

Akhirnya dengan semangat kami bergegas dengan si Hitam menuju Dipati Ukur (Unpad) untuk menyantap Mie Reman (mie jepang Ramen tapi bernama Reman, coba santap juga deh..promosi..hheee). Memang bukan waktu yang tepat, karena setiba disana tempat Mie Reman sedang direnovasi dan diperkirakan akan selesai dua jam kemudian.

Kami pun berkeliling mencari tempat makan di sepanjang Unpad. Tak ada yang sreg, akhirnya si hitam mengajak kami berkeliling Dipati Ukur. Di perjalanan kami teringat Baso Malang Karapitan (BMK). Akhirnya kami terus menelusuri jalan simpang Dago menuju BMK depan BIP. Di tengah perjalanan sahabatku mengajak makan di kantin Mesjid Salman ITB. Berhubung saya belum pernah makan disana, akhirnya kami putuskan untuk makan siang di kantin Mesjid Salman ITB.

Uang yang kami keluarkan standard makan di rumah makan dengan gizi yang cukup tinggi. Teh Lia, sahabatku mengeluarkan uang 10.000 rupiah untuk menunya nasi, kulit sapi, tempe bacem, yogurt strawberry-vanila. Dan saya mengeluarkan 12.300 rupiah untuk nasi, bola daging, sayur, tahu isi puyuh, kerupuk, dan yogurt strawberry-vanilla.

Nikmat rasanya di tengah terik mentari itu kami menyeruput yogurt dingin dan asam. Dengan sedikit berbincang tentang outline buku yang akan kami buat (aamiin) kami meneruskan perjalanan. Sebelumnya kami melaksanakan kewajiban terlebuh dahulu yaitu sholat Dhuhur di mesjid Salman.

Perjalanan di teruskan melewati jalanan yang cukup menyeramkan, kami berada di belakang aliansi mahasiswa yang sedang berunjuk rasa tentang kenaikan harga BBM. Alhamdulillah, kami tak terlibat lebih jauh dan tak melihat aksi tersebut secara detail. Saya mengantarkan Teh Lia ke gang kosannya. Saya pun berlalu pulang ke rumah, karena semua urusan di kampus sudah selesai.

Seperti biasa, saya melewati Jl. Purnawarman dan menembus melewati BEC dan Gramedia. Belok ke kiri saya melihat gedung DPRD Bandung yang kokoh. Orang-orang menyebutnya Balkot (Balai Kota). Karena macet melanda saya masuk gang tikus (gang yang biasa digunakan orang ketika macet dan ingin cepat sampai tujuan). Ketika menembus gang, ban belakang terasa kempes.  Saya kira hanya kurang angin saja. Saya pun melanjutkan perjalanan melewati Jl. Asia-Afrika dan kembali tembus ke gang tikus.

Baru masuk gang ada pengguna motor di belakang saya bilang “Mbak, bannya bocor”

Saya pun berteriak pula kepadanya “Iya mas, makasih!” dengan sedikit hati-hati saya mencari tambal ban. Tak jauh dari pandangan, saya melihat tukang tambal ban. Saya pun bertepi disana dan memarkir si Hitam dengan hati-hati.

“Ban bocor pak” ucap saya kepada bapak tua tambal ban.

“Mangga neng” jawabnya.

Dari tempat duduk yang tak jauh dari tempat motor diparkir. Saya mempunyai firasat si ban belakang harus diganti. Langsung saya melihat dompet di tas saya. Tiba-tiba bapak tambal ban-nya bilang “harus di ganti neng, yang bocornya ada tiga, itu yang baru ketemu, nggak tau yang belum ketemu”.

Saya menelan ludah dengan cepat. Dikhawatirkan saya tidak membawa uang untuk mengganti ban belakang. Seketika saya mengingat diman beberapa bulan yang lalu harus mengganti ban depan. Uang yang dikeluarkan dari dompet yaitu 45.000 rupiah. Berarti ban belakang yang harus diganti sekarang pun nggak jauh dari harga segitu.

“Harganya berapa, pak?” tanyaku padanya.

“30.000 neng” jawabnya kepada saya.

Hah!! 30.000!! dengan segera saya membuka dompet dan ternyata uang yang ada di dompet hanya 29.900. kurangnya seratus rupiah aja. Dengan keahlian negosiasi, saya menawarkan harga di bawah 30.000. dengan sedikit memelas kepada Bapak tambal ban.”

“25.000 mah teu acan tiasa neng” saya langsung mikir, mungkin memang belum dapet kalau saya beli ban harga segitu. Ditambah rasa kasian saya melihat tukang tambal ban tersebut. Dengan segera saya memutuskan untuk membeli ban tersebut.

“Iya pak, ganti aja!” tapi uang seratusnya dari mana?

Langsung memutar otak. Apa harus menjaminkan KTP? Oh mungkin menjaminkan Handphone, tidak...tidak... HP merupakan nyawa kedua (hhaa..lebay), tanpa HP saya nggak bisa menghubungi kemana-mana. Bagaimana kalau terjadi sesuatu dijalan, tabrakan mungkin (na’udzubillah) nanti tidak ada yang bisa dihibungi. Lagian harga HP itu tidak sebanding dengan harga ban yang 30.000.

Mungkin menjaminkan laptop. Tidaaaakkkkk....jangan...jangan.... laptop juga nyawa saya. Tanpa laptop saya nggak bisa chatting, nulis atau melihat dunia. Gimana coba kalo si emang langsung jual laptop dan tutup tambal bannya (langsung suusdzon aja..heum).

Atu menjaminkan kartu memory 2GB dari HP saya, dulu harga kartu memory itu 50.000. Tapi... jangan deh banyak photo-photo saya ama temen-temen, masa harus di hapus dulu.

Pasti yang punya motor akan tau, bahwa memasang ban yang baru lebih cepat dibanding menambal ban. Itu berarti saya harus segera mengambil langkah cepat untuk membayar yang seratus rupiah tersebut. Kembali lagi mengingat mouse saya, dulu saya beli mouse itu seharga 38.000. tapi rasanya nggak mungkin juga.

Di dalam tas saya melihat Beng-beng, itu lho makanan renyah alias wafer yang diselimuti cokelat. Saya menimbang-nimbang wafer itu. Dijaminkan?? Tanyaku dalam hati. Mungkin. Tapi, tidak..tidak.. nggak etis rasanya bayar pake beng-beng.

Dengan hati-hati dan tidak mau ketauan si emang tambal ban saya mengeluarkan semua barang di dalam tas. Siapa tahu saya adik saya menyimpan uang receh. Oh ya, karena saya memakai tas adik, jadi saya tidak menyelipkan uang yang biasanya saya lakukan disetiap tas yang saya bawa. Dua buah buku perpus saya keluarkan, begitu juga dengan laptop, mungkin aja ada uang nyelip seribu disana. Atau nyelip uang kertas seratus rupiah yang berwarna pink.

Dengan hati-hati, saya melihat ban akan sempurna. Saya menarik nafas, lalu menggelindinglah duaratus rupiah dari dalam tas. Subhanallah...ucapku dengan bergetar. Ya Allah, ada uang dua ratus rupiah ternyata di dalam tas.

Akhirnya saya membayar 30.100 rupaih kepada si emang tambal ban. Uang tersebut menggelinding dengan tepat waktu. Syukur tak henti kuucap di siang menuju sore itu. Hati pun tenang saat pergi dari tempat tambal ban. Terasa ironis hidup saya tapi menggelikan. Memang nikmat Allah itu datang saat tepat waktu. Alhamdulillah wa Syukrulillah...

Diperjalan pulang saya tersenyum geli, dan mengingat makanan yang akan dimakan. Kalau saya saya dan sahabat saya jadi makan di Reman hitung saja yang akan dikeluarkan 15.000 rupiah, kalau makan di BMK pun harganya akan lebih dari 15.000. jadi, trims saya buat teh lia yang udah ngajak makan di kantin Salman. Hhheee....

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun