Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Embun dan Peristiwa Pahit Masa Silamnya

25 September 2024   17:44 Diperbarui: 25 September 2024   20:42 503 53

Akhirnya Embun bergegas menaiki sepeda penjelajah waktu di alam pikirannya, sebelum ia menguap diterpa hangatnya sang fajar. Ia bergerak melalui dimensi waktu untuk melakukan perjalanan mundur ke masa lalu dengan kecepatan negatif. Sebenarnya, ia berencana pergi ke masa lalu untuk menemui dan berinteraksi secara langsung dengan peristiwa pahit yang pernah dialaminya. 

Namun, rasanya itu mustahil dilakukan, karena masa lalu adalah negeri yang teramat jauh, meskipun kita dapat melihat gambar, film dan kenangannya. Maka, Embun bisa menemui masa lalunya hanya di alam pikirannya saja, dengan membuka kembali potret dan rekaman video peristiwa tersebut di otaknya.

Dan inilah kisah peristiwa pahit yang pernah dialami Embun di masa silamnya, yang terjadi pada tahun 1980-an. Seperti anak perempuan kecil lainnya, bukanlah hal yang aneh bila membantu ibunya berhutang ke warung langganan keluarganya, untuk mendapatkan beras, gula, minyak goreng, ikan asin, dan lain sebagainya. 

Gali lubang tutup lubang untuk urusan makan bagi keluarga besar yang menyekolahkan anak-anaknya dengan keadaan ekonomi terbatas memang sudah menjadi hal yang biasa. Memang demikianlah irama hidup di kampung halaman Embun ketika itu, yang tak bisa dibantah oleh angin jalanan.

Embun berjalan dengan kaki telanjang di bawah payung hitam. Kaki kecilnya memainkan air hujan yang telah berubah menjadi warna cokelat tua karena tercemar oleh debu tanah jalanan, saat ia menuju warung langganan ibunya. Di mata Embun, itu adalah pemandangan yang selalu menawan hatinya. 

Ups. Ia pun tersenyum terkulum, saat mulai tersadar bahwa apa yang dilakukannya itu membuat keropeng di kakinya kembali basah. Keropeng dari bekas luka akibat garukan kulitnya yang gatal karena digigit tungau kasur kapuk di rumahnya. Ya, luka itu pernah menjadi borok parah, dan Embun bersyukur  akhirnya bisa mengering juga.

Baiklah, kita lupakan sejenak tentang keropeng yang mulai basah itu. Kita kembali pada Embun yang merasa menjadi pahlawan keluarga saat berjalan menuju warung langganan ibunya hari itu.

Seperti biasa Ibu memang berencana membuat nasi liwet untuk makan malam sekeluarga dengan beras yang akan dibawa pulang oleh Embun. Di jalan yang masih basah oleh hujan, Embun sudah membayangkan nasi hangat dengan ikan asin yang digoreng kering itu akan masuk ke perutnya yang sudah mulai lapar. 

Ia pun kemudian menyempurnakan fantasinya dengan hati berbunga-bunga, membayangkan ia bermain film dan mendapatkan peran sebagai pejuang kemerdekaan yang sedang mencari perbekalan untuk rekan-rekan seperjuangannya. Dan terbukti, fantasinya itu memang benar-benar efektif menyulut semangatnya saat menerobos hujan. Begitulah cara Embun mengais kembali semangat dari dalam jiwanya, jika mulai redup diempas oleh angin jalanan.

Hari telah sore dan perjalanan itu memang cukup jauh bagi Embun. Agar tampak manis saat berhadapan dengan ibu pemilik warung, Embun yang mulai menggigil kedinginan pun merapikan rambutnya yang acak-acakan dengan satu tangannya kirinya yang tidak memegang payung, kemudian melanjutkan perjalanannya dengan senyum terindahnya, senyum yang menunjukkan lesung pipit di pipinya. Dan Embun masih saja menghentakkan kakinya tiap kali melewati genangan air hujan yang mengeluarkan pretikor, bau tanah yang begitu khas saat hujan, yang suka sekali ia endus diam-diam.

Akhirnya Embun sampai juga di warung yang dituju dengan hati riang. Sepanjang perjalanan menuju warung itu adalah catatan kebahagiaan baginya, yang akan tersimpan indah di dalam memorinya. Perlahan-lahan Embun pun mengeluarkan secarik kertas dari sakunya, yang di sana tertulis daftar belanjaan sangat panjang dari ibunya. Tetapi, ia benar-benar tak menyangka mendapatkan tanggapan yang tidak seperti biasanya dari pemilik warung. Hari itu, pemilik warung menolak memberikan hutang karena menyangsikan ibunya tidak akan mampu membayar semua hutang yang sudah menumpuk.

"Apakah untuk membayarnya nanti ibumu akan menjual organ tubuhnya?"

Hati Embun yang sebelumnya bahagia itu tersentak seketika. Ia tak mau percaya tetapi kalimat itu jelas terdengar. Organ vital jalan di mana Embun dilahirkan benar-benar diucapkan dengan begitu lantang, oleh sang pemilik warung dengan mengembalikan catatan belanjaan itu ke tangan Embun yang gemetar, entah karena kedinginan atau alasan lainnya. Atau karena perutnya Embun yang sudah mulai kelaparan.

Embun akhirnya pulang dengan tangan hampa. Matanya memerah dan suhu tubuhnya menghangat seketika. Gerakan bibir sang pemilik warung saat mengatakan kalimat demi kalimat, terus membayangi perjalanan pulangnya yang menjadi terasa sangat panjang. Hati Embun terasa nyeri dan jantungnya berdetak dengan sangat cepat. 

Darahnya seperti mendidih di angka 100 derajat, tetapi ia segera menyadari sesuatu, bukankah hak dari pemilik warung untuk menolak memberikan hutang? Embun pun segera menghela napas panjang untuk memberikan maklum pada apa yang telah terjadi, dan dengan sekuat tenaga menahan air matanya agar tidak jatuh di pipi, sesaat setelah ia menggenggam satu keputusan untuk memaafkan lalu melupakan.

Sore itu, hujan masih deras mengguyur jalanan. Yang biasanya begitu menawan di mata Embun menjadi tampak pekat dan seketika menggelap ke dalam warna cokelatnya. Air mata Embun yang menggantung itu akhirnya menguap perlahan-lahan seiring dengan ketenangan hatinya yang datang menyeruak. 

Bagi Embun, itu adalah berkat dari Sang Ilahi untuknya yang disangka-sangka. Ia pun segera  berpikir keras dengan menggoyangkan kepalanya, mencari kalimat yang tepat untuk menyampaikannya penolakan pemilik warung agar tidak sampai menyakiti hati ibunya. Ya, bocah perempuan kecil itu akhirnya berhasil menguasai emosinya. Ia pun kemudian tersenyum dan menunjukkan ketegaran hatinya pada dunia.

Benarkah semudah itu memaafkan lalu melupakannya? Embun memang tak akan berlarut-larut dengan beban di hatinya. Ia telah membuat keputusan penting dalam hidupnya, tepat saat angin jalanan juga mulai tenang dari kegelisahan yang mencekam. Ia benar-benar akan melangkah menatap masa depannya dengan mantap, seiring dengan keadaan ekonomi keluarganya yang juga mulai meningkat. Dan kesibukan akhirnya benar-benar menghilangkan perasaan-perasaan yang telah mengganggunya. Embun pun kemudian indekos saat masuk SMP dan meninggalkan kampung halamannya.

Namun.....
Gerimis, tanah becek, aroma hujan, payung hitam, dan pohon-pohon besar selalu saja membangkitkan kenangan masa silamnya, seperti foto-foto di album kenangan yang terbuka satu per satu tanpa diminta, kemudian merangkaikan cerita peristiwa itu dengan utuh. Embun akhirnya tersadar, hatinya masih terasa sakit tiap kali teringat peristiwa itu. Haruskah melupakan masa lalu untuk bisa memaafkan dengan tulus?

Embun masih mengayuh sepeda penjelajah waktunya, melewati satu detik di setiap detik. Pada saat-saat seperti itu, pikiran Embun berkelana entah ke mana, hingga waktu yang berlalu seolah mampu menghapus seluruh kenangan. Meskipun ia juga menyadari, bahwa waktu sejatinya bukanlah sesuatu yang berlalu, tetapi sebuah dimensi, arah pergerakan.

Ya, kenangan akan hujan, payung hitam, pohon-pohon besar dan air mata yang pernah tertahan, terus saja menyapa Embun bahkan saat ia sudah duduk di bangku SMA. Kenangan itu jelas selalu terbayang tiap kali musim hujan tiba, yang membuat mata indah Embun selalu berkaca-kaca dan nyeri senantiasa kembali terasa di hatinya. Tak jarang Embun tidak membawa pulang kembali payungnya dan meninggalkannya di sekolah. Mungkinkah sakit hatinya di masa lalu telah berubah menjadi dendam kesumat?

Akhirnya Embun memang harus jujur mengakui kegagalannya. Ia tak berhasil melupakan kenangan akan peristiwa pahit masa silamnya, meski telah bertahun-tahun ia tinggalkan di ruangan sepi tanpa nyawa. Atau hatinya telah salah memaknai peristiwa masa silamnya? Hingga kenangan pahit itu tidak menjadi sebuah anugerah dariNYA yang juga indah?

Dan waktu akhirnya benar-benar melesat secepat kedipan mata, seraya menyapu debu jalanan dengan sangat sempurna. Tanah yang becek itu akhirnya telah beraspal dan membuat wajah kampung Embun tak lagi sama. Hari itu hujan tidak datang dan payung hitam tak lagi di genggaman Embun. Kali ini Embun diminta ibunya untuk membeli sayuran di warung yang pernah menolaknya itu.

Perlahan-lahan Embun melangkahkan kakinya dengan hati bergetar. Ya, kenangan itu kembali datang dan album foto itu kembali terbuka. Napas Embun mendadak sesak dan nyeri di hatinya kembali terasa di langkah pertama. Tak mau percaya tetapi nyata terjadi. Embun yang telah bertransformasi menjadi gadis dewasa itu pun sesegera mungkin menghela dan mengendalikan perasaannya, dengan membangunkan ketenangan dan kesadaran dari kedalaman hatinya, untuk menerima perasaannya saat itu dengan lapang dada.

Embun bertemu pemilik warung saat senja mulai menghamparkan warna jingganya. Dengan sopan ia menyampaikan apa saja yang akan ia beli hari itu. Dan yang mengagetkan Embun, sang pemilik warung tampak begitu canggung. Apakah ingat akan peristiwa itu? Meskipun sudah sangat lama berlalu? Mungkinkah pemilik warung itu menyesal dengan perkataannya waktu itu? Embun segera tersenyum sesaat setelah ia menyadari sesuatu. Bila di posisi ibu warung itu, mungkin sesal itu memang akan terus terbawa sepanjang waktu, seperti luka di hatinya yang tak kunjung sembuh. Walaupun luka itu telah menjadi keropeng, tetapi selalu saja kembali basah oleh hujan masa lalu.

Embun segera memberikan senyum terindahnya, senyum yang menunjukkan lesung pipit di pipinya. Dan senyum itu ternyata tak hanya mencairkan suasana, tetapi juga menimbulkan kelegaan hati yang luar biasa. Tanpa kata dan tanpa kalimat panjang lebar, luka hati itu terasa mengering seketika, bahkan keropengnya pun terasa lepas sempurna, meski bekasnya tentu tak bisa terhapus, yang setiap saat bisa berpotensi membangkitkan kenangan itu kembali, dengan sangat detail dan tanpa kompromi. Seperti yang sudah-sudah, apakah akan membuat hatinya sakit kembali?

Semua telah lebur di dalam keikhlasan yang sempurna. Tentu saja itu adalah berkat dari Sang Pencipta, yang terkembang pada senyum keduanya. Dan di kamar sunyi usai dari pertemuan itu, akhirnya Embun mengucap syukur dengan sepenuh hatinya. Air mata yang pernah tertahan itu akhirnya mengalir dan menderas, tanpa hujan, tanah becek dan juga payung hitam. Ia yakin hatinya tentu tak akan lagi nyeri kala musim hujan datang. Bahkan, ia akan bisa membagikan ceritanya pada dunia dengan senyum terkembang. Kalau toh sampai menangis, pastilah bukan lagi tangis kesedihan, tetapi itu adalah tangis keharuan, tanda Tuhan hadir di dalam hatinya. Ia memang tak perlu menjadi hakim untuk mengadili yang benar dan yang salah. Embun sadar, yang ia perlukan hanya memahami perasaan sesamanya, dengan lebih jujur dan apa adanya.

Saat ini, Embun masih tersesat di alam pikirannya. Beruntung suara hatinya yang murni memanggilnya dan ia pun berhenti seketika dari penjelajahannya, tepat sang fajar sudah mulai merangkak naik, yang akan membuatnya menguap dengan sempurna. Ia tak harus meneruskan perjalanannya ke masa lalu, karena pintu masa lalu sebenarnya terkunci sangat rapat. Yang terpenting baginya adalah hari ini, yang pada momen saat ini, ia masih ada dan hidup, dengan masa depan yang akan dilalui. 

Ia akhirnya sadar, membentuk masa depan tentu jauh lebih mudah daripada mengubah masa lalu, dengan tekun belajar untuk menambah pengetahuan dan keterampilan, agar mampu menghadapi tantangan dan peluang yang ada  di masa depan.

Embun akhirnya telah menguap dengan sempurna. Dari ketinggian nanti, ia akan melihat segala sudut pandang ke bawah dengan lebih leluasa, untuk menjadi lebih bijaksana di dalam mencermati setiap peristiwa di dalam hidup dan kehidupannya, sebagai bekalnya saat kembali menjadi embun pada esok pagi. Ternyata, ia memang benar-benar tak mampu melupakan peristiwa masa silamnya, karena itu adalah kenyataan yang tak mungkin terhapus begitu saja.

Kini Embun mengerti, mengapa ia tidak bisa melupakan peristiwa itu meski hatinya tak lagi sakit kala mengingatnya. Itu karena otak sebagai fotografer maupun videografer di dalam tubuhnya memang akan selalu  menyimpan semua data secara otomatis. Dan hati yang bertugas memberikan nuansa pada potret-potret maupun video-video tersebut, itu yang sebenarnya membuat ia merasakan sedih maupun bahagia ketika melihat kembali potret-potret maupun video tersebut. 

Maka, memaafkan memang berurusan dengan hati, sedangkan melupakan memang mustahil dilakukan selama ia masih hidup di dalam kesadaran. Dan Embun memang hanya perlu senantiasa belajar menerima semua peristiwa dengan lapang dada, baik yang pahit maupun yang manis (tergantung hati memberikan nuansanya), hingga nantinya lebur di dalam keikhlasan yang sempurna.

Ya, Embun akhirnya menemukan jawaban mengapa hujan, tanah becek, payung hitam, dan pohon-pohon besar selalu membangkitkan kenangan masa silamnya. Akan ibunya, hutang warung, penolakan dan sakit hati yang mendalam. Ia memang tak harus melupakan masa lalu untuk bisa memaafkan dengan tulus. Bahkan, ia sangat berterima kasih pada peristiwa pahit itu, karena telah membawanya sampai pada hari ini, yang menjadikannya lebih bijak di dalam memandang dan memaknai hidup dan kehidupan (dengan segenap aspeknya) selalu sebagai anugerah yang indah dari Sang Pencipta.

Bandungan, 25 September 2024

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun