Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Ketika Estelle Perrin Mencoba Menjadi Perempuan Jawa

10 Mei 2021   20:00 Diperbarui: 11 Mei 2021   13:48 628 27

Inilah sepenggal kisah tentang perjalanan sebuah sanggar tari yang berada di tempat terpencil, tatkala Alam membawa sosok Estelle, seorang gadis dari Perancis yang datang kepadanya, untuk belajar menari dan mendalami kebudayaan Jawa. Kala itu, pandemi sama sekali belum menyapa siapa pun, karena kisah ini terjadi dua tahun silam, tepatnya bulan Maret 2019.


Pada awalnya, Estelle datang ke tanah Jawa sebagai sukarelawan di bidang lingkungan hidup. Dari tempat kampnya di Gedong Songo-Jawa Tengah, ia pun mendapatkan informasi dari seseorang yang bernama Pak Roji, mengenai sebuah tempat di mana ia bisa belajar secara gratis tentang kebudayaan Jawa.


Bagai tertiup angin nan lembut, Estelle pun akhirnya menembus dinginnya kabut Gunung Sakya untuk datang pada sanggar tersebut, dan selama lima hari berturut-turut intens belajar menari dan mendalami kebudayaan Jawa.


Di pendopo dari kayu jati, tempat sanggar tari yang melestarikan akar budaya Jawa ikhlas tanpa pamrih itu berada, di sela-sela istirahat latihan menari, ia pun mengatakan dengan wajah sumringah bahwa ia telah merasa menemukan jati dirinya.

Menurut Estelle, ia memang meninggalkan negara asalnya dan berkunjung ke berbagai negara, untuk melihat dunia dan kebudayaan-kebudayaannya, karena di negara tempat asalnya, ia tidak bisa memahami, merasakan dan bahkan mengenali dirinya sendiri.

Setelah berkunjung ke berbagai negara di benua Eropa dan Amerika, ia pun datang ke benua Asia sebagai destinasi terakhirnya, untuk menjadi sukarelawan selama tiga bulan di beberapa negara.

Dan ia pun akhirnya memahami arti bersyukur yang sesungguhnya, karena melihat dengan nyata kehidupan masyarakat Asia, yang masih bisa tersenyum, juga bahagia meskipun dalam keadaan ekonomi yang terbatas, dibandingkan dengan negara maju yang telah memiliki kecukupan ekonomi memadai.

Menurut Estelle, ternyata dunia memang penuh dengan kebudayaan yang mengagumkan, karena di situlah akhirnya ia dapat merasa menemukan jati dirinya.

Ia pun akhirnya menyimpulkan, bahwa meskipun kita memiliki banyak perbedaan, sebagai manusia, kita tetaplah sama di dalam kesatuan yang damai.

Di sanggar tari itu, ia merasa tak sekadar belajar menari. Konsep menari untuk Tuhan dengan dasar ikhlas tanpa pamrih telah mengantarkannya lebih jauh mendalami falsafah hidup Jawa, dengan mengalami langsung aktivitas budaya melalui tariannya, berikut filosofinya yakni, empat unsur dalam Joged Mataram, sawiji, greged, sengguh, dan ora mingkuh.

Di sanggar tersebut, sawiji berarti satu atau bersatu yang dimaknai sebagai bentuk fokus dan konsentrasi total menyatukan pikiran, hati, jiwa dan raga ke dalam tarian yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan filosofi beksan dengan dasar ikhlas tanpa pamrih.

Greged memiliki arti semangat yang membara namun tetap terkendali. Sengguh, meskipun berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti tinggi hati, dalam Falsafah Joged Mataram dimaknai sebagai bentuk percaya diri namun tetap dengan kerendahan hati. 

Dan ora mingkuh adalah bentuk teguh pendirian dan tidak goyah dalam menjalankan ketiga unsur di atas, serta tidak menghindar dari tugas yang diterima sebagai bentuk pengabdian total kepada Tuhan Yang Maha Esa.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun