Dua mata yang bersinar, kini bertopengkan duka,
Saling membelakangi, hati dipenuhi penyesalan,
Kian jauhlah cinta, menjadi reruntuhan raganya.
Gelap merayap, malam menyaksikan,
Pengkhianatan tumbuh di rimbunan lara,
Janji palsu, menghancurkan kepercayaan,
Cinta yang teriris, kini tertiup angin sepi.
Takdir berbisik di lorong kesalahpahaman,
Di balik senyuman, noda pengkhianatan meraja,
Sejuta dusta tertumpuk di antara dua jiwa,
Tak lagi ada rasa, yang menyala dalam mata.
"Dia" dan "Dirimu" kini hanya bayangan,
Sebuah masa indah yang pupus terbawa angin,
Rahasia dalam kalut, terkubur dalam sunyi,
Luka yang tak terucapkan, tetap tersimpan dalam hati.
Tapi di sela kehampaan, bunga kebenaran mekar,
Mengungkap tabir kelam, membelah tirai kebohongan,
Cahaya jernih menusuk temaram pengkhianatan,
Mengajarkan tentang harapan, tentang peluang kedamaian.
Biarlah puisi ini menjadi saksi bisu,
Akan masa-masa yang terbelenggu,
Dan dalam kepedihan yang meradang,
Mungkin kita menemukan arti sebuah penghianatan.
Dalam gores puisi, mengalirkan pilu,
Takdir dan cinta beradu,
Namun diantara luka yang memar,
Terselip harapan yang tumbuh bersama.