Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Tanah Pekuburan ataukah Tanah Warisan Nenek Moyang ?

13 Januari 2011   15:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:37 523 3

Pemberitaan mengenai permukiman yang dibangun di atas tanah pekuburan di daerah Menteng Jakarta Selatan memicu sebuah pertanyaan, “Seberapa mahalkah harga tanah di perkotaan Jakarta ?”. Bertolak belakang dengan keadaan tersebut bahwa saat ini para developer-developer yang bergerak di bidang property sedang gencar-gencarnya membangun konsep hunian superblock dengan segudang fasilitas mewah entah diperuntukkan untuk siapa, namun kondisi ini semakin membuat permukiman masyarakat menengah kebawah menjadi semakin terpinggirkan oleh adanya penggusuran akibat pembebasan lahan untuk peruntukkan perumahan mewah (www.poskota.co.id)

Prosesi penggusuran sering berjalan tidak manusiawi, bahkan sering berakhir dengan adanya kekerasan. Masyarakat miskin di perkotaan haruskah menjadi pihak yang dianggap tidak berhak untuk ikut menikmati infrastruktur yang memadai di perkotaan ?, jawabnya tentu tidak karena mereka juga manusia dan bahkan di UUD ’45 tertulis adanya jaminan bahwa orang-orang terlantar dipelihara oleh negara.

Harga tanah yang sangat tinggi merupakan salah satu bentuk halus untuk mengusir para perusak keindahan kota yang dalam hal ini yaitu permukiman kumuh dan liar masyarakat MBR. Sudahkan negara memikirkan nasib mereka ketika rumah-rumah kumuh dan liar yang menjadi aset penting kemudian dirampas tanpa adanya solusi yang yang menguntungkan kedua belah pihak, tidak jarang malah menjerumuskan masayarakat golongan menengah ke bawah menuju lingkaran setan kemiskinan

Indonesia merupakan negara kepulauan, pulau-pulau ini membentang dari Sabang sampai Merauke, namun kenapa masih ada warga yang rela tinggal di tanah pekuburan padahal tanah nenek moyangnya masih sanggup menampungnya. Kota ibarat lampu pijar ditengah kegelapan sehingga banyak laron-laron yang rela berjubel untuk menikmati keindahannya. Kota memiliki daya tarik karena dianggap mampu merubah nasib seorang miskin menjadi kaya raya atau justru membuatnya terbuang dan tertindas, maka tidak jarang kaum migran berbondong-bondong untuk beradu nasib dan memiliki persepsi bahwa kehidupan mereka akan menjadi jauh lebih baik daripada tetap tinggal di sebuah perkampungan.

Andai para migran yang tidak memiliki daya saing untuk hidup  di perkotaan sedikit sadar diri, bahwa masih ada lahan-lahan  yang belum terbangun yang dapat dimanfaatkan sebagai ladang  meningkatkan ekonomi maka fenomena urbanisasi akan dapat    terbendung. Lahan-lahan ini mayoritas terletak di perkotaan di  luar pulau jawa, namun keadaan infrastruktur memang tidak se-  memadai di perkotaan utama (Jakarta, Surabaya, Bandung dan  sebagainya). Program transmigrasi itulah salah satu solusi atas  mahalnya tanah-tanah di perkotaan sebagai permukiman. Kaum  MBR diharapkan kesadarannya serta kegigihannya  untuk survive membangun kembali kemandirian ekonominya  melalui program ini. Transmigrasi memberikan beberapa luasan lahan untuk kemudian diolah dan dimanfaatkan agar dapat meningkatkan taraf kesejahteraan kaum terbuang di perkotaan. Program ini diharapkan mampu membangun skill para transmigran dan sebagai upaya pemerataan persebaran penduduk dengan memecah konsentrasi penduduk di tengah hiruk pikuknya kondisi perkotaan yang semakin tidak manusiawi dan degradasi lingkungan yang cukup parah.

Sekarang tinggal memilih tetap mempertahankan kehidupan di tanah pekuburan ataukah tinggal di tanah-tanah peninggalan nenek moyang yang nun jauh disana tetapi setidaknya menjanjikan suatu kehidupan yang lebih baik untuk masa depan. Mari membangun Indonesia menjadi bangsa yang besar dengan langkah sederhana dan sedikit kerja keras.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun