Salah satu sub-suku terbesar yang menganut Kaharingan, yaitu Suku Dayak-Ngaju, mengakui keberadaan satu entitas ilahi yang Esa, dikenal sebagai "Sangiang" atau "Pangunraun" dalam tradisi Dayak Maanyan. Asal-usul istilah "Sangiang" ini diperkirakan terpengaruh oleh budaya Hinduisme, khususnya konsep "Sang Hyang", yang berasal dari kata "Sang" yang berarti "Yang Mulia" dalam bahasa Sansekerta dan "Umang" yang merujuk pada kuasa semesta.
Kepercayaan Kaharingan juga mencakup pemahaman mendalam akan roh-roh, makhluk gaib, dan dewa-dewa yang berasal dari pandangan mitologis terhadap Sangiang. Mereka meyakini adanya dua wilayah utama, yaitu alam atas dan alam bawah, yang dihuni oleh dewa-dewa dan makhluk mitologis dengan peran masing-masing.
Di alam atas, terdapat dewa-dewa seperti Bungai, Radja Tontong Matandau, Sangiang Danum Pasang, dan Lalunganing Singkor Olo, yang bertanggung jawab atas berbagai aspek kehidupan manusia. Sementara di alam bawah, terdapat makhluk seperti Tambon dan Bawin Djata Balawang Bulau, yang juga memiliki peran penting dalam kehidupan manusia.
Dalam kepercayaan Kaharingan, manusia tidak secara langsung berhubungan dengan ilah-ilah tertinggi, sehingga terdapat ilah-ilah pengantara yang berperan sebagai perantara antara manusia dan ilah-ilah tersebut. Ilah-ilah pengantara ini, seperti Raja Pali, Raja Ontong, Raja Sial, Raja Hantuen, dan Raja Peres, memiliki fungsi dan peran yang berbeda-beda dalam kehidupan manusia.
Meskipun memiliki berbagai kesamaan jika dilihat dari berbagai konsep teologis mereka tentang Tuhan dengan ajaran Hinduisme. Namun, berbagai pengikut agama Kaharingan selalu menolak ajaran agamanya disamakan dengan agama Hindu, karena secara praktik dan unsur kebudayaan yang digunakan sebenarnya sudah menjelaskan perbedaan yang cukup tersirat dari kedua unsur agama ini. Tidak terlepas, dari pengaruh-pengaruh modernisasi dan perkembangan informasi lah yang membuat pemahaman setiap individu mulai menyamakan beberapa penyebutan ilah dari Kaharingan dan Hinduisme.Â