Persembahan sudah hal lumrah dalam kehidupan umat kristiani. Dari kecil saya pun memberi persembahan, tidak ingat persis memberi persembahan karena diajari, ikut-ikutan teman atau terikut liturgi gereja. Maka pada kesempatan kali ini saya ingin mengajak anda membedah 1 hal: motif persembahan.
Di artikel saya sebelumnya “gereja dan sistem persembahannya”, saya sempat bicara motif persembahan. Jika bicara motif alasan orang memberi persembahan bisa variatif, “saya memberi karena …..” A, B, C dan seterusnya. Secara umum fungsi persembahan untuk membiayai penyelenggaran kegiatan ibadah plus mendukung program-program gereja. Namun sebagai umat/jemaat Kristiani kita harus tahu betul mengapa kita memberi persembahan, apa motifnya? Sebab motif adalah fondasi yang sejatinya kokoh. Terdapat 2 persoalan penting mengenai persembahan; pertama, untuk apa? Kedua, untuk siapa?
Pause
Beberapa dari kita waktu masa kecil mungkin pernah diajari orang tua “ayo nak beri persembahan” dan kita senang memasukan uang ke kantong-kantong kolekte. Memasuki usia dewasa kesadaran pun mulai tumbuh. Di beberapa gereja ada bahasa-bahasa protokuler persembahan, misalnya “Mari memberi yang terbaik.” atau “tiba saatnya kita memberi yang terbaik”. Tetapi jika jujur, apakah kita memahami arti memberi yang terbaik? Apa yang dimaksud “terbaik”? Apa-nya?
Sepanjang pengalaman saya, belum ada penjelasan (terutama dari gereja) secara lugas menjelaskan arti “terbaik” dalam konteks memberi persembahan. Ini seperti orang ingin mendirikan bangunan namun fondasinya rapuh.
Ujung-ujungnya, “terbaik” di-intepretasikan nilai nominal terbesar yang ada di dompet, angka yang terbanyak. Atmosfer persembahan yang gereja bentuk makin memberi banyak makin baik. Bahkan beberapa gereja berani menjanjikan lebih, “mari beri persembahan nanti bisa berlipat ganda.” Seolah-olah kita bisa mendapat hasil berlipat dari yang kita kasi. Mereka juga sudah menyiapkan ayat kalo-kalo ada yang mempertanyakan aspek legal-nya. Izinkan saya menekan tombol “pause” sampai disini, mari kita berhenti sejenak dan melihat hal ini dengan nurani jujur. Apakah hakekat persembahan demikian?
BEJ - Bursa Efek Jemaat
Saya percaya setiap gereja ingin jemaatnya bertumbuh ke arah lebih baik. Juga dalam hal persembahan. Tentu jika pemasukan persembahan banyak, gereja makin efektif melayani bukan? Tapi persoalannya bukan di jumlah persembahan, tetapi apakah jemaat memberi dengan motif yang benar?
Jika gereja coba melakukan tekanan-tekanan tertentu agar jemaat mau memberi lebih terutama dengan gadang-gadang lipat ganda, situasi gereja bisa tidak sehat/kondusif. Motif jemaat bisa bergeser, jemaat tidak lagi memberi dengan hati tulus tetapi memberi karena suatu harapan “saya bisa dapat lebih”. Yang menjadi sentral persembahan bukan lagi Tuhan melainkan dirinya sendiri.
Jika demikian, dengan berat hati saya harus mengatakan praktek ini tidak berbeda dengan praktek yang terjadi di bursa efek/saham, di mana orang menanam modal untuk memaksimalkan keuntungan diri. Sistem investasi merasuk jauh ke dalam gereja! Betapa fatal! Dengan situasi seperti ini, gereja membangun sikap oportunis di dalam mindset jemaat. Artinya persembahan sebagai kesempatan ber-investasi. Akibatnya bisa dipastikan jemaat sulit menjaga kemurnian sikap dan motifnya memberi persembahan kepada Tuhan-nya.
Hukum Sudah Tersedia
Mari kita melihat dengan cerdas, biarkan nurani anda bergerak natural, memeriksa peta perjalanan, apa-kah peta saya sudah benar dalam hal memberi persembahan?
Jika gereja meminta jemaat memberi persembahan supaya mereka diberkati, misal supaya keluarga dipulihkan, jauh dari sakit penyakit, usaha/karir tambah maju, program studi berhasil; ini meleset jauh, sangat melenceng. Sebab untuk menjawab soal-soal penghidupan manusia, hukum sudah tersedia dan berlaku sama bagi semua orang bahkan bagi orang non-kristen sekalipun. Lihatlah sekeliling, ada orang-orang non-kristen juga hidup makmur, keluarga baik-baik, studi berhasil. Mengapa? Karena hukum sudah tersedia.
Yang saya maksud hukum sudah tersedia jika ingin sehat maka jaga pola makan, olahraga teratur. Ingin sukses maka bekerja keras, ingin lulus sekolah dengan nilai “A” maka belajar sungguh dan seterusnya. Nah dengan gereja berkata “berilah persembahan maka aspek-aspek hidup-mu jadi lebih baik, dilipat ganda.”, ini berarti gereja gagal menempatkan esensi persembahan yang benar di depan jemaat, tidak mendidik dan akhirnya jemaat tersesat. Aspek-aspek kehidupan bisa lebih baik disebabkan orang menjalankan hukum yang tersedia, bukan karena kontribusi memberi persembahan. Sekecil atau sebesar apapun persembahannya. Ini yang salah kaprah.
Attitude 24 karat
Persembahan yang murni adalah memberi dengan kerelaan hati dan tidak mengharap suatu balasan apapun.
Memberi persembahan bukan soal supaya saya diberkati lebih, mendapat lebih, tapi karena saya memberi tulus kepada Tuhan Maha Besar yang saya imani. Saya tidak mengharapkan benefit atau keuntungan apapun dari persembahan (clean motive).
Biarlah dengan persembahan gereja makin efektif melayani, makin luas menjangkau orang-orang yang butuh dilayani. Soal-soal penghidupan saya tanggulangi dengan tanggung jawab, terus mengembangkan potensi, kerja keras, tertib menjaga pola hidup dan seterusnya.
Hal ini bukan berarti tidak percaya Tuhan atau tidak mengandalkan Tuhan, tujuannya adalah menempatkan persembahan secara benar sehingga jemaat terhindar dari motif-motif yang bisa merusak kemurnian sikap hati.
By: Christanto Nugroho
#Lunch Desember – 2013