Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Para Penjaring Codot

31 Oktober 2011   08:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:15 1111 2
[caption id="attachment_139153" align="aligncenter" width="300" caption="from google"][/caption] Ini penggalan cerita masa kecil. Saat televisi baru dimiliki satu dua orang tetangga. Hitam putih. Ketika tegangan listrik PLN baru ada 11o volt. Masa ketika masih banyak yang memasak menggunakan kayu bakar, kompor minyak tanah, dan juga arang. Sebuah cerita lalu yang secara substansi sama saja dengan masa sekarang. Saat rupiah sulit dicari, juga pengangguran yang selalu menjadi catatan resmi, pekerjaan rumah pemerintah negeri. Ini napak tilas. Dari merangkai ingatan masa kecilku. Di sebuah kabupaten kecil perbatasan Yogyakarta dan Jawa Tengah. Mengenai pergulatan hidup, mencari rejeki dan juga rupiah, pada masa itu. rejeki atau rupiah tetap saja tak mudah dicari, bahkan bisa dikatakan halal atau tidak, itu merupakan sebuah pendapat yang mengacu berdasarkan norma yang ada. Namun untuk ceritaku ini tentu saja bukan masalah halal atau haram, tapi tentang hidup, tentang mencari sepiring nasi. Sebuah profesi yang dilakukan dengan gigih dan harus dihargai. Yaitu "Penjaring Codot". Mungkin banyak yang tidak tahu atau tidak bisa membedakan. Apakas codot itu? Codot yang kumaksud di sini adalah binatang malam sebangsa kelelawar. Namun, codot bukanlah kelelawar biasa. Codot adalah pemakan "buah-buahan" dan madu bunga. Bukan seperti kelelawar biasa yang memakan nyamuk dan serangga. Dari penampilannya pun berbeda, kelelawar mempunyai sedikit buntut sedangkan codot tidak berbuntut. Codot memiliki aroma tubuh yang manis seperti gula, berbeda dengan keleawar yang berbau "langu". Malahan ada dilingkungan kami yang membedakan satu jenis codot tertentu, yaitu "codot kembang". Codot kembang ini memiliki ciri lebih khusus, yaitu bertubuh mungil dengan warna agak kemerahan--seperti bunga, dan ia lebih sering memakan madu-madu bunga. Banyak yang mempercayai pula bahwa codot kembang ini mempunyai khasiat menyembuhkan penyakit asma. Asma dipercaya bisa disembuhkan dengan memakan codot kembang ini. Lebih berkhasiat jika cara menyuguhkannya dengan dibakar/panggang. Saya ingat, abang saya waktu kecil dahulu juga memiliki penyakit asma. Setelah beberapa kali makan codot kembang panggang ini, asmanya sembuh. Sampai sekarang dia dewasa dan memiliki anak, tak pernah lagi merasakan gangguan asma tersebut. Lalu untuk apa mereka menjaring codot itu? tentu saja dirupiahkan. Dijual kepada yang berminat. Termasuk keluarga saya pun menjadi pembelinya. Karena rasanya lezat dan juga berkhasiat. Daging codot lezat dan gurih. Bisa dimasak dengan berbagai bumbu. Baik bacem, rica-rica,mangut, ataupun digoreng biasa. Oke lah, tak usah terlalu dibesar-besarkan mengenai makan codot ataupun jenis-jenis masakannya. Saya hanya ingin bernostalgia dengan para pencari dan penjaring codot itu. Penjaring codot yang kuingat pertama adalah Pak Tusman. Dia pegawai kecil/honor di pemerintah daerah setempat. Istrinya guru honor pula di sebuah TK kecil di kampung, yang muridnya dengan mudah bisa dihitung. Pada malam yang tepat, Pak Tusman tak pernah melewatkannya untuk membelah malam. Menjaring codot. Berangkat pukul delapan menyusuri hutan-hutan dan rerimbunan. Pulang menjelang pagi. Hasil tangkapannya dijajakan oleh sang istri. Waktu itu sering kudengar obrolannya dengan ibuku, salah satu pelanggan yang berkenan membeli hasil tangkapannya. Diantara tawar menawar harga, terselip obrolan dan keluhan Bu Tusman tentang kebutuhan hidupnya. Membuat kami sedikit bersyukur akan hidup kami, meski sederhana, masih bisa membagi rejeki dengannya. " Kalau ngandelin gaji, mana cukup jeng. Suami saya juga nggak punya keahlian lain, selain mencari codot. Yah, lumayan buat tambah-tambah beli beras". Lelaki malam yang kedua kuingat adalah Om Paiyo. Kami lebih akrab memanggilnya Om Piyok. Sebelumnya ia adalah seorang pelaut. Pada masa jayanya, penghasilannya cukup besar. Mungkin karena kekurangberuntungannya, ia memiliki istri yang "liar". Suaminya terapung-apung dilautan, istrinya hidup boros dan berfoya-foya. Bahkan terakhir kali, mereka bercerai karena sang istri selingkuh dengan pria yang lebih muda. Setelah berhenti melaut, Om Piyok tidak mempunyai pekerjaan pasti. Syukurlah ia menikah kembali, dengan seorang janda yang mau mengerti kondisinya. Mungkin karena merasa senasib dan pernah disakiti, mereka bisa membina rumah tangga kembali. Meski kondisi Om Piyok tidak seperti dulu lagi. Untunglah Om Piyok bukan tipe orang yang mudah putus asa. Disamping kerja serabutan, menjadi tukang atau kuli, ia cepat belajar dan memiliki keahlian baru. Keahlian menjaring codot. Pada saat senggangnya, aku kecil paling suka "nyethuk" mengamatinya saat membenahi jaring-jaringnya yang sobek. Secara manual, jaring-jaring yang terbuat dari tali/benang plastik itu dia jahit, sulam dan jelujur. Matanya cekung dan lelah, namun tetap tidak meninggalkan sebuah keputusasaan disana. " Sobeknya besar juga ya Om? codotnya galak?" " Iya le, semua codot galak. Kalo nggak ati-ati, jari kita bisa sobek juga". "Ooo..., nanti malam mau berangkat Om? aku ikut dong". " Halah..anak kecil bisa apa?..nanti aku malah repot nggendong kamu" "Ih, ngece. Aku kuat melek Om. Nonton pilem aja aku kuat sampe malam". " Lha, iya. Wong kamu nonton BF sama si Supri Tooo??? "He..he, jangan bilang Bapak ya Om. Tapi bener Om, aku boleh ikut ya?" " Boleh,...asal nggak ngrepotin saja". " Asiik, ntar aku yang bawain sentolop-nya deh. Emang mau njaring dimana Om?" " Di wetan kali, pekuburan wetan kali. Lagi musim buah janglot disana, pasti banyak codot yang berpesta". " Apa Om...di kub..u..ran?" " Iya, kenapa Le?" " Nggak jadi ikut deh Om,...aku mending nonton pilem sama Supri aja deh", aku cepat-cepat meralat inginku. Masih ingat saat dulu Om Piyok bercerita tentang pengalamannya menjaring jodot tengah malam. Ada yang mencoleknya dari belakang. Saat ditengok, ternyata seorang wanita yang mukanya gosong semua...hiiiii....ngeri deh ah. Itulah yang kuingat dari para penjaring codot dikampungku. Para pekerja keras, pantang menyerah, dan tak kenal lelah. Demi mengharap rupiah yang semoga saja berkah. Sekarang-sekarang pun, jika aku ingin pulang kampung, sesekali masih meminta ibu untuk memesan codot-codot lezat itu. Namun sayang, sudah beberapa tahun aku kehilangan hidangan ini. Karena dari berita yang kudengar, Pak Tusman sudah renta dan tak kuat lagi begadang menjelajah malam. Demikian juga Om Piyok, Saya sudah kehilangan dia. Ia ternyata menderita kanker otak, yang untuk ukuran orang kaya pun belum tentu mampu bertahan. Apalagi dia, hanya seorang penjaring codot. Kenangan ini membuatku bersyukur atas setiap sendok nasi yang mampu terhidang pagi, siang, dan malam. Tanpa harus bergadang menjelajah malam, membelah hutan, dengan harapan mendapatkan jaring-jaring penuh tangkapan, untuk dirupiahkan. Ini cerita nyata, yang sedikit diolah. C.S.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun