Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

PKS Itu "Bawang Kopong"?

9 April 2012   02:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:51 305 2
Sikap Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang “mbalelo” terhadap kebijakan mayoritas partai-partai yang berada di barisan koalisi terkait kenaikan harga BBM bersubsidi beberapa waktu lalu cukup memanaskan situasi politik negeri ini, terutama dinamika di Setgab koalisi itu sendiri.

Seperti kita ketahui, beberapa waktu lalu opsi PKS dalam rapat paripurna yang berubah-ubah hingga akhirnya memilih opsi menolak kenaikan harga BBM bersubsidi nyaris menjungkalkan rencana pemerintah terkait hal ini. Meski pada sisi lain, pemerintah masih terselamatkan dengan aksi walk outnya dua fraksi (partai) oposisi yang besar pengaruhnya dalam hal suara, yakni PDIP dan Hanura, sehingga hasil voting di sana masih mampu termenangkan karena hanya Gerindra dan PKS saja yang berkeras hati dengan pilihan akhir menolak kenaikan harga BBM tanpa celah pengecualian seperti pada ayat tambahan APBNP 2012 yang dibahas itu.

Sikap/keputusan PKS tersebut banyak dinilai sebagai “pengkhianatan” terhadap komitmen berkoalisi sehingga bermunculan wacana wajar agar secara sisi koalisi partai ini diberikan sanksi. Seperti yang selama ini diakui, bergabungnya partai-partai tertentu dalam koalisi yang secara ideal adalah untuk kuatnya (stabilitas) pemerintah (eksekutif) dalam parlemen juga diiringi paket “pembagian” jatah menteri yang duduk dalam kabinet. Sehingga sanksi yang dirasa pantas untuk PKS dalam hal ini adalah pencopotan (reshuffle) kader-kadernya yang duduk di kursi kabinet.

Kewenangan reshuffle kabinet itu ada di tangan presiden. Banyak yang berpendapat bahwa Pak Sus (SBY) terlalu menimbang (kurang cepat bertindak seperti yang selama ini selalu diparadigmakan) terhadap keinginan-keinginan anggota setgab yang ingin agar PKS segera “dihukum”. Meski sebenarnya ada pula dimensi lain yang perlu juga diperkirakan, yakni sebuah keinginan dari presiden agar PKS lah yang mengambil sikap. Jika memang sudah tak ingin mendukung dan seirama dengan pemerintah sebaiknya “mengundurkan” diri, tak perlu bertebal muka dengan tetap bertahan di koalisi namun bersikap semau sendiri. Mungkin.

Secara normatif, sebuah koalisi memang sudah selayaknya kompak agar pemerintahan berjalan stabil, diluar kebijakan-kebijakan yang seringkali “debatable” jika dipandang dari sisi demi rakyat (namun alangkah baiknya sebagai rakyat percaya, sambil menilai perjalanannya). Ketika ada salah satu bagian koalisi yang mengurangi soliditas, alangkah wajar jika dikeluarkan. Dengan catatan, partai-partai (tersisa) yang tergabung dalam setgab koalisi itu sendiri harus kembali menebalkan komitmen, karena meski “mungil” namun suara PKS dalam parlemen ketika satu suara dengan barisan oposisi tentu saja akan berpengaruh saat di tubuh koalisi sendiri kembali terpecah suatu saat, dan Golkar memiliki “bakat” untuk ini. Jadi, ketika setgab dalam posisi yang solid, apapun kemauan PKS dapat dianggap sebagai “bawang kopong” (bawang kosong) atau anak bawang yang tak memiliki isi. Namun ketika koalisi tersisa tak kompak dan PKS berada pada barisan oposisi atau barisan tak jelas sekalipun, namun suaranya segendang dengan oposisi maka tak pelak menjadi “bawang isi” juga. Disinilah koalisi itu harus mantap, kecuali kalau oposisi besarnya walk out lagi.

Khusus terkait kemungkinan pencopotan menteri-menteri PKS di kabinet, di luar anggapan sebagai sanksi untuk PKS serta stabilitas jalannya pemerintahan itu sendiri, layak dipertimbangkan pula dari sisi peran individu-individu itu secara langsung di kabinet. Apakah secara prestasi serta potensi mereka itu disayangkan jika diganti, ataukah memang tidak berpengaruh?

Di samping sikap partainya yang “berseberangan” dengan pemerintah, kader-kader PKS yang duduk di kabinet pun masih perlu dipertanyakan gebrakan prestasi mereka. Seperti kita tahu, kader mereka yang duduk di kabinet sejauh ini ada tiga orang, yakni Menkominfo Tifatul Sembiring, Mentan Suswono dan Mensos Salim Segaf Al Jufri. Di luar gerakan PKS sebagai partai induknya, masyarakat dapat menilai apakah mereka secara pribadi dianggap berprestasi dan patut dipertahankan. Ataukah selama ini mereka hanyalah pelengkap jatah kursi saja dikabinet, prestasinya biasa-biasa saja atau malah “bawang kopong” juga?
Keputusan reshuffle menjadi kewenangan presiden, namun dalam penilaian prestasi sang menteri masyarakat juga bisa sumbang wacana. Ganti atau pertahankan? Berprestasi atau hanya hiasan?

Saya masih ingat, pada masa kanak-kanak dan ikut bermain “gobak sodor” dengan teman-teman yang lebih besar. Karena ingin sekali ikut dalam permainan tapi dianggap masih terlalu kecil, rekan-rekan yang besar sering hanya sekedar memberi hiburan dengan menempatkan saya sebagai pemain “bawang kopong”. Boleh memilih ingin berpihak pada kubu mana saja, mau berlari kemana mau, karena perannya dianggap penggembira saja, tidak mematikan. Tapi permainan politik pasti tak sama dengan permainan anak-anak dalam gobak sodor kan?
.
.
C.S.
Kopi pertama tak datang juga

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun