Krisis ekonomi yang melanda Eropa baru-baru ini tak pelak membuat China yang selama ini muncul sebagai kekuatan baru ekonomi dunia ketar-ketir juga. Diperkirakan untuk menyikapi pengaruh krisis Eropa terhadap melambatnya pertumbuhan ekonomi mereka, China akan berusaha keras memacu penjualan produk-produk mereka ke pasar ekspor di luar Eropa, demikian juga di luar Amerika.
Tren yang selama ini berlangsung yakni Indonesia telah menjadi pasar yang empuk produk China tampaknya akan semakin membesar volumenya. Dengan kata lain, produk-produk negeri tirai bambu ini akan semakin membanjiri bumi pertiwi. Hal ini jelas karena pangsa pasar di Indonesia akan mereka andalkan untuk menggantikan pasar produk mereka di Eropa dan Amerika yang drastis penurunannya. Ini artinya peluang defisit perdagangan Indonesia dan China akan semakin njomplang. Gejala ini dapat kita lihat pada data versi Bloomberg yang mencatat bahwa pada Desember 2011 defisit perdagangan Indonesia-China masih sebesar US$ 162,9 juta, namun pada Januari 2012 ini membengkak menjadi sekitar US$ 328 juta, bisa dikatakan melonjak dua kali lipat jurangnya. Jelas bahwa produk mereka yang kita beli jauh lebih banyak daripada produk kita yang dijual kepada mereka.
Yang kemungkinan besar menjadi target “serangan” mereka ke tanah air adalah produk tekstil dan elektronik. Untuk produk elektronik mungkin tidak terlalu signifikan kekuatirannya karena Indonesia belum menjadi pemain besarnya, namun untuk tekstil sepertinya merupakan pukulan berat. Kita masih ingat beberapa masa yang lalu banyak produsen tekstil kita bertumbangan karena tidak mampu bersaing dengan gempuran produk-produk dari China.
Sebenarnya ini jelas sebuah masalah serius jika pemerintah tidak segera mengantisipasinya. Sudah selayaknya dipetakan kembali, dari neraca perdagangan Indonesia-China yang semakin defisit ini dapat ditinjau kembali produk-produk jenis apa yang selama ini kita jual ke sana dan produk jenis apa yang kita impor dan membanjiri konsumen kita.
Namun sepertinya dapat diperkirakan bahwa kemajuan yang kita harapkan terkait produk yang kita hasilkan masih berjalan lamban. Impor kita yang besar dari dari China sebagian besar dapat dikatakan merupakan produk “jadi”, yakni telah memiliki nilai lebih, bahkan ada tambahan keunggulan yaitu lebih murah dari produk sejenis yang ada di dalam negeri. Sedangkan apa yang selama ini kita jual ke mereka tidak dapat dipungkiri barulah cenderung mengandalkan jenis barang mentah/baku yang bernilai “apa adanya”, bahkan apa yang kita jual ke sana adalah kekayaan alam yang tidak dapat diperbaharui. Sangat disayangkan jika kita terlena mengandalkan menjual gas alam ataupun batu bara saja, meskipun saat ini berlimpah. Apalagi sebenarnya sumber daya alam itu sendiri sekarang dan ke depannya masih sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Ada baiknya kita kembali kepada potensi sejati negeri ini. Akan jauh lebih baik jika kita terlebih dahulu mengandalkan serta menggenjot potensi pertanian/agraris, peternakan, dan kelautan. Ini yang harus kita sadari dan pemerintah sebaiknya berada di barisan depan memimpin kemajuan. Banyak yang masih menjadi ironi ditengah segala keunggulan yang kita miliki. Swasembada beras menguap tak berbekas, bahkan kita sering mengandalkan impor dari Thailand, ikan-ikan di lautan kita yang maha luas sedemikian mudah dicuri orang dan lebih trenyuh lagi sampai urusan garam pun kita harus mengimpor dari luar negeri.
Memang, untuk saat ini karena kemampuan kita dalam bidang teknologi masih harus dibenahi. Namun perlu dipertimbangkan keseriusan dalam rencana ke depan. Status investment grade (layak inevstasi) yang kita genggam memang wajar kita manfaatkan untuk memikat para investor (luar negeri) datang, tapi alangkah baiknya jika momen ini kita manfaatkan juga untuk sebuah proses alih teknologi dari mereka terutama yang ditujukan untuk menciptakan “nilai lebih” dari segala sumber daya yang menjadi keunggulan kita.
Ketika China berusaha bertahan dengan membanjiri negeri kita dengan produk-produk mereka, itu wajar saja untuk sebuah negara yang ingin meningkatkan kemakmuran rakyatnya. Kita lah dengan kebijakan pemerintah yang tanggap harus mampu menempatkan posisi untuk sebuah hubungan dagang yang saling menguntungkan. Kita akui bahwa untuk sebuah perdagangan bebas saat ini belum siap, maka itu perlu ditelaah serta kritisi jika China menerapkan kebijakan yang “kurang fair” dalam menggelontorkan produk mereka dengan harga murah.
Namun kembali pada yang terpenting harus disikapi lagi adalah memaksimalkan kembali potensi keunggulan yang kita jual, segala potensi terutama yang dapat diperbaharui. Silahkan saja China memaksimalkan pasar ekspornya ke Indonesia, tapi kita pun harus berusaha melakukan langkah serupa, yakni dengan membanjiri negeri mereka dengan produk berbasis keunggulan kita yang di sana tidak/belum ada.
China wajar berkeinginan menjual besar-besaran produk tekstil dan elektronika ke kita, namun kita harus mampu menggenjot potensi menjual beras, ikan olahan, sepatu kulit, batik, kosmetik, olahan rumput laut, mebel rotan, ban radial, garam, kompos,tapioka, tepung jagung, minyak goreng (bukan CPO), dan masih banyak lagi potensi kita yang bahkan sulit menyebutkan satu persatu, termasuk potensi pariwisata. Tentu saja diimbangi dengan mutu yang tinggi, karena agar bisa dikategorikan mendunia tak cukup hanya dengan slogan “mencintai produk dalam negeri” saja. Yang jelas, jangan hanya mengandalkan menjual gas dan batubara, sebaiknya sih malah tak usah.
Akan semakin banjirnya produk China ini seharusnya merupakan tamparan agar kita sadar untuk kembali fokus pada potensi yang Indonesia miliki. Mudah-mudahan suatu saat kita semakin sadar dan pemegang kebijakan melangkah di garis depan dalam memaksimalkan keunggulan origin kita yang begitu lengkapnya, dan ketika teknologi tinggi mampu kita/anak-anak kita nanti kuasai, serta semua tanpa menimbang golongan apapun berkomitmen saling bahu membahu, bukan khayalan bahwa Indonesia akan memimpin dunia.
Salam.
.
.
C.S.
Insipirasi : Koran Kontan 6/3/2012