Kupacu kencang kuda tungganganku. Derap tapalnya menerbangkan debu-debu jalanan tanah yang kutempuh. Bergumpal di belakangku, tertiup angin di siang yang terik ini. Aku harus segera sampai, semua harus kuambil kembali. Mengambil segala yang pernah kumiliki, pada padukuhan kecil di tlatah Blambangan ini. Bhre Wirabumi sudah habis riwayatnya, demikian juga kekuasaan tamak yang mengalir pula ke orang-orang di bawahnya. Apalagi si jahanam Gajah Anom. Tak seperti dua tahun yang lalu, dia tak akan bisa lagi congkak bertindak, seperti dahulu saat mengandalkan kekuasaan Ki Demang Maruto, orang tuanya yang menjadi kepercayaan Sang Adipati, Bhre Wirabumi. Semua harus dituntaskan sekarang, sudah lama ini kunanti, karena kenangan pahit itu selalu menyiksaku pada setiap mimpi.
“Kakang Ronggo! Tolong aku!....”. Itu jeritan terakhir yang kudengar dari Dyah Sawitri, kekasihku. Selanjutnya dia lenyap bersama suara derap kuda dan terbahaknya tawa Gajah Anom yang melarikannya.
“Jahanam!,...berhenti kau Gajah bengkak!...kita bertarung secara jantan!”. Aku berusaha mengejarnya, namun sia-sia. Didepanku telah berjajar lima orang bertampang sangar. Dari busananya aku tahu, mereka prajurit Blambangan.
“Minggir kalian! Prajurit berjiwa rendah!, tak sepantasnya kalian ikut campur!”
“Jaga mulutmu, Ronggo Peteng!, kau harus relakan apa yang Tuan Anom inginkan!”
Aku terjang para prajurit itu. Tak peduli walau nyawa harus melayang. Pertarungan tak seimbang pun harus berjalan. Pada awalnya, dengan olah kanuragan yang aku miliki, aku masih mampu bertahan. Bahkan tusukan kerisku mampu membuat dua dari prajurit itu tewas bersimbah darah. Namun, sabetan-sabetan pedang mereka begitu banyak melukaiku, hingga tenagaku melemah. Begitu juga begitu banyak pukulan dan hentakan yang harus aku terima, meski sesekali akupun mampu membalasnya, bahkan membuat mereka terjengkang. Tak mudah bagi mereka menjatuhkanku, hingga akhirnya saat rintik hujan mulai turun, sebuah tendangan keras melanda dadaku.
“Desss!!”. Aku terhuyung dan terjajar beberapa langkah. Tak berhenti sampai di situ. Salah seorang dari mereka dengan beringas mengayunkan pedangnya, tepat mengarah ke leherku.
“Wuss...seeeng!”. Hanya sehelai rambut jaraknya, untung saja aku mampu menghindar. Jika tidak, maka kepalaku sudah pasti akan menggelinding di tanah basah.
“Blugh!!!”. Belum sempat aku menata diri dan pandanganku yang masih berkunang-kunang, sebuah hajaran keras kembali melanda punggungku. Aku jatuh berdebam ke tanah, dan semua menjadi gelap terasa.
Ketika tersadar, aku sudah berada di sebuah amben, pada sebuah bangunan besar dan lapang, tapi tidak mewah. Ternyata sebuah balai keprajuritan. Itu kuketahui dari bibir tebal lelaki gagah yang ternyata telah menolongku. Sosok ini sepertinya aku kenal, karena sering diceritakan oleh orang-orang seantero negeri.
“ Eh.., di mana aku?
“ Selamat datang di Majapahit, kisanak. Siapa namamu pemuda berbakat?”
“ Saya, Ronggo Peteng. Maaf apakah Tuan yang menolongku?”
“ Hm. Ya. Aku melihat bakat prajurit pada dirimu”.
“ Terima kasih telah menolongku. Boleh kutahu siapakah Anda ini?”
“ Gajah Mada”.
Dan aku pun bersimpuh menjura padanya. Orang besar ini menjadikanku sebagai bagian dari sebuah balatentara Majapahit. Kerajaan yang jauh lebih besar serta berkuasa atas tanah asalku, Blambangan. Semangat dan mungkin benar apa kata Gusti Gajah Mada tentang bakat itu, membuatku menjadi prajurit tangguh dan semakin tangguh. Deretan bakti yang kupersembahkan membuat akhirnya aku mendapatkan jabatan yang tak pernah aku impikan sebelumnya. Senopati. Ya, akhirnya nasib juga yang membawaku menjadi bergelar Senopati Ronggo Peteng.
***
Kutarik kekang kuda untuk menghentikan lajunya. Aku telah sampai. Tapi tempat yang kutuju sudah rata dengan tanah, tak ada lagi bangunan yang berdiri di tempat dahulu Ki Demang Maruto dan keluarganya tinggal, termasuk juga Gajah Anom, seseorang yang selama ini memenuhi dadaku dengan dendam kesumat.
“ Kang!....Kang Manyuro!”, segera kupanggil sosok lelaki setengah baya yang melintas sambil memanggul kayu bakar, aku sangat mengenalnya.
“ Ronggo...kamu Ronggo kan?...weleh, gagah sekali kamu sekarang. Sudah menjadi....,..oh..hormatku untukmu Tuan Senopati”. Tiba-tiba laki-laki ini hendak bersimpuh mengajukan hormat.
“ Ah. Sudahlah Kang Manyuro. Bersikaplah seperti dulu saja, aku bukan siapa-siapa, masih tetap Ronggo Peteng yang dulu”. “ Aku hanya ingin tahu, di mana mereka sekarang?”
“ Ki Demang sudah tewas di tangan prajurit-prajurit Majapahit, harta mereka diambil sebagai rampasan perang”. Kakang Manyuro mengerti betul apa yang aku maksud.
“ Gajah Anom?”
“Dia tidak dibunuh, tapi sekarang menyingkir jauh ke ujung barat bulak padukuhan”.
“ Baiklah, aku segera kesana”. “Heyaaa!”
Kuhela keras kudaku hingga ringkiknya memecah siang, lalu kehentak keras hingga melaju dan menerabas jalan. Sempat ku dengar teriakan Kakang Manyuro menyebut nama Dyah Sawitri, kekasihku. Tapi gemuruh dendam di dadaku membuatku tak ingin sekejap berhenti. Tak ada yang perlu kudengar lagi. Semua harus kuledakkan saat ini juga.
Kuda yang kutunggangi ini bukanlah kuda sembarangan. Tak heran jika dalam waktu yang singkat telah sampai di ujung barat pedukuhan. Ketika pada sebuah tegalan, kulihat sosok yang sangat kukenal. Meski dalam balutan pakaian sederhana seorang petani, bukan pakaian mewah yang dahulu selalu ia kenakan. Lelaki itu,...yah lelaki itu yang selama ini menyalakan api kesumat di jiwaku. Dia tampak sibuk mengayunkan cangkulnya di tanah tegalan. Rupanya ia hanya petani biasa sekarang. Aku hentikan kudaku, turun dari pelananya. Bergegas dan berlari aku menghampirinya, serta dengan keras meneriakkan namanya.
“ Gajah Anom!”
Lelaki ini terkesiap. Ia letakkan cangkulnya dengan pandangan terpana. Lalu kulihat wajahnya pucat pasi. Sekejap tampak ketakutan tak terhingga, namun segera rautnya berubah sayu dan penuh pasrah.
“ Kau...Ronggo? Ronggo Peteng?”. Lirih sekali suaranya, dan juga gemetar bibirnya. Meski ada sedikit senyuman, namun itu tersaput lenyap dengan rasa kekhawatiran.
“ Ya, ini aku!”.
“ Apa kabarmu Ronggo?”
“ Cuiih!...tak pantas kau ucapkan itu!”. Aku meludah ke tanah, sebenarnya ingin sekali mengarahkan ke wajah. Dia tertunduk lesu, hanya memandang tanah yang usai ia gemburkan.
“ Maafkan Aku Ronggo...aku...”.
“ Cukup!, sekarang saatnya semua harus dituntaskan! Bersiaplah berlaga secara jantan!”. Kucabut kerisku dari warangkanya, aku ingin segera mengulang kembali kisah lama.
“ Baiklah Ronggo, aku siap..., hujamkanlah keris itu..., aku pantas menerimanya”.
“ Tak usah berlagak memelas kamu! “. “ Hiaaat!”.
“ Desss!!”.
“Uhk!!”
Tendanganku meluncur dan bersarang keras di dadanya. Tubuhnya bergulingan ke tanah dan terlentang tanpa daya. Dari mulutnya meleleh darah segar. Ternyata Ia begitu lemah, atau mungkin memang tendanganku yang terlalu keras menerpanya. Tendangan seorang prajurit digdaya melanda lelaki yang ternyata tak memiliki sedikitpun ilmu olah kanuragan. Dahulu saja aku telah yakin bahwa Ia bukanlah apa-apa, apalagi sekarang, hanya petani biasa. Hm, sebaiknya aku segera menghabisinya, agar lega semua yang telah lama menyumbat di dada. Kuhampiri tubuhnya yang lemah tanpa perlawanan, kerisku berkilat diterpa panas mentari. Akan segera kuhujamkan, entah di dada atau di lehernya, aku yakin semua segera usai.
“ Huh!!, mati kau!...Gajah Anom!”. Kerisku meluncur dan semakin mendekat ke dadanya.
“ Jangan!!....hentikan Kakang Ronggo!”. Pekik perempuan yang sangat akrab di telingaku membuat aku terhenyak dan menghentikan niat.
Entah darimana dia datang, mungkin karena amarahku yang meledak hingga sejauh ini tidak mengamati sekitar. Dyah Sawitri tiba-tiba telah meringkuk di kakiku, dalam tangisan keras dan tersedu sedan.
“ Sawitri?...kau...”
“ Kakang Ronggo. Kumohon ampuni dia. Dia...suamiku sekarang kakang”.
Aku tercekat. Inikah kenyataan? Mendadak dadaku serasa hampa. Kosong, seolah tak ada jantung dan gumpalan darah yang mengisinya. Lepas, semua terbang ke awang-awang. Terpaku, tak tahu apalagi yang hendak kuperbuat.
“Bapak....Biyung.....huhuhuhu.....”. Ada sebuah suara yang memaksaku mengalihkan pandangan. Seorang anak laki-laki kecil berlari tertatih, sesekali jatuh di pematang seiring tangisannya yang takut karena merasa seperti akan ditinggalkan. Sepertinya ia belum lama bisa berjalan.
Dyah Sawitri beranjak dan membopong anak itu, lalu menghampiri tubuh Gajah Anom yang tergeletak pingsan. Aku masih berdiri mematung.
“ Kakang Ronggo. Maafkan aku,...maafkan kami. Jika kau masih ingin menuntaskan dendam, bunuh saja kami semua”.
“ Sawitri..., Aku..., Kamu...Dia..”.
“ Semua telah berlalu Kakang. Kumohon ampuni kami, biarkanlah kami hidup tenang..”.
“ Huuu...Biyung...,huuuu....pulaaaaang...”. Anak kecil ini kembali menangis. Tangis ini begitu kejam seolah merobek dadaku. Lebih tajam dari mata tombak yang terkadang melukaiku di medan perang. Wajahnya begitu ketakutan. Ah...tunggu...wajah anak ini, sangat tidak mirip dengan wajah Gajah Anom. Dia lebih mirip...wajahku.
Aku mendekati mereka, tangis anak ini semakin keras.Namun ibunya sudah lebih tenang sekarang, matanya tajam menatapku, ia masih cantik seperti dahulu.
“ Sawitri,.....anak ini...?”.
Dyah Sawitri tidak mengucapkan jawaban, hanya mengangguk pelan.
“ Maafkan Aku Sawitri. Baiklah, Aku pergi. Hiduplah kalian dengan tenang, jaga dia dengan baik”.
“ Terima kasih Kakang”.
***
Kupacu kembali kudaku. Sekarang aku harus segera tiba di kotaraja. Ingin ku menghadap Gusti Gajah Mada. Akan aku ajukan sebuah permohonan agar aku selalu dikirimkan dalam setiap medan perang.
***
.
C.S.