Ini masih merupakan catatan hasil liburan Saya sekeluarga kemarin, kalau tak salah tanggal 30 Desember 2011.Saat menginap di kediaman salah seorang kakak yang tinggal di Yogyakarta, yaitu pasangan Pakde Dus dan Budhe Yanti, begitu kami memanggilnya.
Pagi-pagi sekali kami sudah terjaga, sepertinya rugi kalau bangun kesiangan saat liburan. Karena hari itu tampak cerah, setelah malam sebelumnya hujan deras mengguyur. Sebenarnya saya ingin begitu bangun pagi kopi sudah tersedia, tapi sayangnya si tuan rumah sendiri masih bermalas-malasan di tempat tidurnya. Padahal, Mbak Ela, anak semata wayang mereka yang berumur lima tahunan juga sudah bangun.
Akhirnya kuputuskan untuk mengajak istri, kedua anak balita saya, dan juga Mbak Ela-keponakan kami untuk berjalan-jalani. Menikmati segarnya udara dan pagi yang cerah di Desa Sambisari yang hijau ini. Awalnya kita hanya berkeliling di sekitar pemukiman, membeli gorengan dan nasi bungkus untuk sarapan. Setelah selesai dengan apa yang kami beli itu, ternyata keponakan Saya yang lucu dan gembul ini menawarkan sesuatu yang menarik sekali. Yaitu mengajak jalan-jalan ke Candi Sambisari, yang memang lokasinya tidak jauh dari sini. Cukup berjalan kaki.
Lokasi candi ini memang dekat dari tempat kami berada. Cukup berjalan kaki sekitar 50 meter kami sudah tiba di bangunan batu bersejarah ini. Dari ukurannya memang tidak dapat dibandingkan dengan candi-candi lain yang sudah terkenal, seperti Borobudur atau Prambanan. Karena candi ini dapat digolongkan dalam candi kecil. Namun untuk keindahan wujudnya, tetap saja membuat Saya terkagum-kagum dan terpesona. Sedangkan pada dasarnya, Saya memang menyukai apa saja yang namanya bangunan kuno dan bersejarah. Apalagi sebuah candi.
Sebuah nilai lebih menurut Saya adalah kesunyian yang menyelimuti candi ini. Mungkin sebagai kebetulan, karena waktu kami berkunjung terhitung masih pagi. Tapi sepertinya memang candi ini selalu sunyi, karena sebelumnya Saya pernah juga melewati kawasan ini pada siang hari, namun tetap saja terlihat sepi. Saya yakin karena selain kecil, lokasi candi ini cukup “terpencil”, ditambah lagi tidak pernah terlihat adanya “promosi” yang serius agar cagar budaya ini banyak dikunjungi. Tapi tak apalah, mungkin candi ini pun lebih suka dirinya tetap dalam kesunyian. Karena candi, yang selayaknya sebagai tempat pemujaan sudah selayaknya sunyi, bukan riuh ramai oleh pengunjung yang seringkali malah merusak keindahan candi.
Saat tiba di sana, kawasan ini terkesan “bebas”. Padahal seperti yang terlihat di bangunan loket yang masih tutup, ada tertulis bahwa tarif masuk untuk dewasa sebesar Rp.2000,- dan untuk anak-anak Rp.1000,-. Cukup murah sebenarnya. Ketika kami ke sana, pintu gerbang sudah dibuka, hanya disambut oleh seorang satpam yang mempersilahkan kami masuk, tanpa perlu membayar. GRATIS. Entah karena masih pagi, atau mungkin tarif yang terpampang itu hanya formalitas.
Bangunan kantor yang berfungsi sebagai ruang informasi pun masih tutup, padahal Saya berharap mendapatkan sedikit “contekan” agar saat mengamati setiap detail candi lebih mudah memahami sejarah bangunan kuno ini. Saya maklumi, karena memang kami datang terlalu pagi. Sekalian Saya ingin menguji sisa-sisa ingatan tentang pelajaran sejarah yang sangat Saya sukai waktu SMA dulu. Dari dulu Saya suka sejarah, apalagi guru sejarah Saya waktu itu lumayan cantik dan dia sepertinya “menyukai” Saya serta memberi perhatian lebih, karena bukannya nyombong nih, nilai-nilai ulangan sejarah Saya tak pernah kurang dari sembilan. Cieeeh. Itu karena Suka guru yang cantik..eh..suka sejarah ding..he..he.
Kami sangat menikmati kunjungan ke candi ini karena terkesan bangunan ini sangat menyambut, belum ada orang lain yang berkunjung. Serasa bercengkerama di “rumah” sendiri, kami berkeliling sambil menikmati sarapan nasi bungkus dan gorengan yang tadi sempat dibeli. Dan untung saja ponsel Saya yang batereinya tinggal separuh masih mampu digunakan untuk mengambil gambar-gambar detail candi yang eksotis ini.
Meski daya ingat Saya ternyata mulai tumpul, paling tidak beberapa hal yang terlintas saat mengamati tiap sisi candi ini Saya yakini benar. Di antaranya adalah candi ini merupakan candi Hindu (karena bentuknya ramping), merupakan peninggalan kerajaan Mataram kuno. Demikian juga patung (arca) yang ada di sana, dapat Saya beritahukan dengan tepat kepada istri dan anak-anak, misalnya arca Durga dan Ganesha (untuk arca Ganesha ini, kebangetan kalau nggak tahu ya?). Baru setelah ruang informasi itu dibuka, saya dapat mencocokkan dengan membaca referensi/keterangan yang berhubungan dengan candi ini, meski tidak terlalu lengkap, tapi lumayan membantu.
Candi Sambisari terletak di desa Sambisari, Kelurahan Purwomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman. Posisi Candi Sambisari berada lebih rendah dari kontur tanah sekitarnya, lebih tepatnya berada di lembah, namun untuk menuju ke bangunan candi telah disediakan tangga-tangga batu yang ada di tiap sisi bukit yang mengelilingi kawasan berbentuk berbentuk persegi ini.
Hal ini sepertinya karena awal mula ditemukannya candi ini memang berada di bawah tanah/terpendam. Yakni ketika seorang petani yang tak sengaja mencangkul sebuah batu berukir. Ternyata temuan tanpa sengaja tersebut merupakan bagian kecil dari sebuah gugusan candi yang terpendam hingga kedalaman 6,5 meter di dalam tanah, yang merupakan endapan lahar vulkanis dari gunung Merapi. Penelitian hingga pemugaran dilaksanakan antara tahun 1966 sampai dengan tahun 1986 ketika akhirnya bentuk candi secara utuh dapat ditampilkan.
Candi Sambisari merupakan candi Hindu yang dibangun sekitar abad 9 Masehi. Yang tampak sekarang adalah terdiri dari satu buah bangunan induk dan tiga buah candi perwara (semacam pendamping/tambahan-menurut Saya). Candi induk menghadap ke barat dengan denah berbentuk bujursangkar berukuran 13,65 x 13,65 m dengan tinggi 7,5 m. Di depannya terdapat 3 buah candi perwara yang berukuran 4,8 x 4,8 m (sisi utara dan selatan) dan 4,9 x 4,8 m (tengah). Dikelilingi dengan pagar batu setinggi kurang lebih dua meter berukuran 50 x 48 m. Sejauh yang Saya lihat, batu-batu penyusun bangunan candi berbeda dengan yang digunakan untuk pagar. Untuk bangunan candi berwarna hitam, sedangkan untuk pagar lebih menyerupai batu padas berwarna agak keputih-putihan.
Di halaman kawasan ini, di dekat ruang informasi juga terhampar banyak sekali batu/arca yang mungkin terpaksa hanya diletakkan saja karena belum ditemukan tempat yang tepat di mana posisinya dalam komplek candi ini. Mudah-mudahan saja tidak ada yang mengambil kesempatan untuk mencuri benda-benda berharga ini.
Yang lumayan menarik perhatian saya adalah batu berbentuk bulat dan panjang menyerupai alat kelamin laki-laki (maaf), mungkin istilah arcanya ini disebut lingga. Yang jelas, detailnya sangat mirip “punya kita” yang merasa laki-laki. Tapi yang membuat Saya “minder” adalah ukurannya yang jumbo, membuat “apa yang Saya banggakan” terkesan mungil jika dibandingkan dengan batu ini..he..he.
Hm. Terima kasih Candi Sambisari. Keindahanmu menyejukkan hati. Rakai Pikatan pulang dulu ya, lain kali kita bertemu lagi.
.
.
C.S. (masih oleh-oleh nih)
Nb: Maaf, tidak semua foto sempat terpajang (lama lahh..). Dan beberapa catatan yang mungkin membuat kesan saya banyak tahu tentang candi ini, sebagian besar adalah apa yang Saya comot dari ruang informasi. Semuaagar jangan sampai dibilang saya hanya piknik tanpa berusaha tahu tempat apa yang kita kunjungi. Semoga berkenan menikmati.Thanks.