[caption id="attachment_146676" align="aligncenter" width="260" caption="from google"][/caption] Rumah tua di ujung jalan desa itu terlihat mulai reyot. Tiang-tiang penyangganya terlihat miring, meski beban yang ditopangnya sudah tidak begitu berat. Yah, tidak begitu berat karena genting yang terbuat dari tanah kampung, yang dulunya menjadi penutup atap, sudah hilang, hanya tersisa sebagian, yang lainnya tertiup angin dan hujan sehingga melorot jatuh ke tanah yang berwarna agak kelabu kebiruan. Tanah yang subur, karena desa ini selalu kebagian debu erupsi merapi yang lumayan pekat. Bambu-bambu penyangga genting, atau yang orang desa ini sering menyebutnya usuk dan reng, memang sudah banyak yang luruh dan rubuh, lapuk terkena tetesan hujan yang dulu menyelinap dari sela-sela celah genting yang bocor. Mula-mula sedikit, namun karena berlangsung lama dan tidak ada perbaikan maka atap yang bocor bertambah parah, hingga bambu-bambu usuk dan rengnya pun patah. Wajar jika bermula dari satu genting, lalu genting yang lainnya pun semakin lama banyak yang turut melorot, hingga hanya tersisa beberapa keping saja. Semua karena rumah berdinding bilik atau gedhek ini sudah sekian lama kosong. Bahkan beberapa bagian rumah, seperti sisi samping dan belakang sudah tidak ada lagi lembaran bilik yang menutupnya. Jika agak mendekat maka terlihat bahwa lantai rumah ini hanya terbuat dari adukan pasir dan semen yang kasar. Bahkan dapat terlihat kalau lapisan semen buruk itupun sudah tak terlihat. Tertutup debu-debu reruntuhan atap, juga dirusak oleh gundukan-gundukan sarang semut ataupun debu buah karya undur-undur. Kotor sekali, itu jelas. Bahkan bau apeknya pun akan segera terendus dari jarak lima langkah, itupun kalau ada yang kurang kerjaan mendekat ke rumah yang sudah tiga tahun lalu kosong ini. Di masa yang lalu, Suwarni "bule", begitu penduduk desa sering menyebutnya, tinggal sendiri di rumah ini. Wanita ini yatim piatu, emak dan bapaknya meninggal tersambar petir ketika buruh matun, di sawah Juragan Supri ketika gerimis hujan. Suwarni sering dijuluki bule karena memang kulitnya putih agak kemerahan. Wajahnya lumayan cantik untuk ukuran gadis desa. Banyak pemuda desa yang terpikat padanya, namun Warni cenderung tertutup pribadinya. Sifatnya lebih banyak diam dan murung, waktunya dihabiskan dengan buruh matun disawah dan menganyam mendong untuk dijadikan klasa (tikar). Sikap pendiam Warni tidak membuat para pemuda luntur bersaing untuk mendapatkannya. Akhirnya ada juga yang beruntung diterima cintanya. Pitoyo, nama pemuda itu Pitoyo, bukan penduduk kaya, namun hanya buruh tani seperti Warni. Tapi begitulah, cinta warni lebih memilih jatuh padanya. Tapi tak semua cinta itu digariskan mudah. Pitoyo menyingkir dan mundur teratur ketika warni tiba-tiba diketahui hamil. Pemuda ini sempat menjadi satu-satunya orang yang oleh penduduk desa dianggap paling bertanggung jawab, tapi dia membantah. Karena dia merasa belum sekejap pun pernah bersebadan dengan Warni. Pitoyo tertolong oleh pengakuan Warni bahwa kekasihnya itu memang belum pernah menyentuhnya. Tapi Warni pun tak bisa menjawab dengan wajar, siapa yang telah menghamilinya. Gadis ini bersikeras, belum pernah ada yang menyanggamainya, tak ada yang bisa dia tegas katakan, ia hanya bingung, tak bisa jelaskan kenapa tiba-tiba ia mengandung. Hampir saja penduduk desa yang kolot sepakat mengusirnya. Namun karena para sesepuh merasa iba, akhirnya Warni dibiarkan tetap tinggal di desa itu dengan kehamilan tak wajarnya. Ketidakwajaran itu akhirnya semakin kentara, ketika kandungan warni belum genap satu bulan, perutnya sedemikian cepat membesar. Dan tepat satu bulan hanya lewat dua minggu, gadis ini telah melahirkan, sendiri, tanpa pertolongan satu pun dukun bayi. Bayi yang dilahirkannya pun jauh dari kata memikat, seperti layaknya anak lucu yang banyak diidamkan para pasangan. Anak si warni berkulit hitam, sekujur tubuhnya penuh bulu halus hitam bertotol, orang banyak sering menyebutnya tembong. Hanya wajah bayi ini saja yang sedikit tertolong, bulu-bulu hitam hanya menguasai wajahnya sebagian, namun bentuk mata hidung ataupun mulutnya tak jauh dari kata, yang jika tega untuk mengatakannya, adalah mengerikan. Tangisannya pun aneh, mungkin lebih tepat jika disebut sebagai bukan tangis bayi, tapi sebuah raungan. " Warni melahirkan anak lelembut", begitu yang selalu di riuh rendahkan seluruh penduduk desa. Sudiro. Warni memberikan anaknya nama ini. Ia sering memanggilnya dengan Diro. Mungkin ia memaknainya dengan darah atau ludiro. Darah kesengsaraan yang menandai lahirnya anak, yang meski melengkapi deritanya, tetap ia peluk dengan penuh kasih. Diro tetaplah miliknya yang berharga. Anak ini pun tumbuh bongsor, meski buruk wajah tapi hatinya tidak kotor. Wajah dan tubuhnya yang mengerikan, sedikit tertutup oleh polahnya yang lugu, bahkan mungkin cenderung bodoh. Sayangnya, keburukan dan dan keluguannya tetap menakutkan bagi anak-anak desa sebayanya. Diro sering pulang sambil menangis dan meraung, ketika anak-anak desa berlompatan panik, lari lintang pukang saat Diro mendekat untuk sekedar melihat, sedikit berharap agar diberikan tempat untuk bermain bersama. Ia sungguh kecewa, tak ada yang mau didekatinya. Bahkan sebagian anak-anak desa yang bengal cukup berani untuk mengusirnya, melemparinya dengan bluluk kelapa bahkan batu. Terkadang jika sedang musim tulupan, dia sering menjadi sasaran tiup semburan anak-anak desa yang menembaknya, dengan tulupan yang diisi tanah lempung yang liat. Hasilnnya adalah rambut gimbalnya penuh dengan tempelan lempung-lempung lengket yang sulit dibersihkan. Di saat seperti itu Diro hanya bisa menangis pulang, berlindung di ketiak ibunya yang mampu memberikan dia kedamaian. Meskipun ibunya menimpal dengan omelan. "Kamu ini, susah sih dikasih tahu, sudahlah le, kamu nggak usah kemana-mana, dirumah saja..", meski tertahan, ada gelinang air di tepi mata ibu muda ini. Tapi apa daya, Diro juga adalah anak-anak, yang pada masanya butuh bermain dan berlari riang dengan teman-teman yang ia idamkan. Meski berkali-kali disakiti, Diro mudah lupa dan ingin bermain kembali. Dan peristiwa seperti ini selalu terjadi. Hidup Diro semakin merana, ketika sebuah peristiwa membuat penduduk desa heboh dan gempar. Suatu sore, mayat Warni ditemukan warga desa tersangkut belukar, dipinggir kali. Dilehernya terdapat bekas cekikan, tubuh putihnya yang mulus, telanjang tanpa busana. Jejak-jejak luka di kewanitaannya menunjukkan, dia usai diperkosa beberapa orang, dan setelah itu dengan kejam dihabisi nyawanya. Pelaku peristiwa ini pun tak terungkap, hanya sempat mayat Warni dibawa oleh para polisi dari kota, untuk diambil visum katanya. Sampai mayatnya dikembalikan dan dikuburkan oleh warga desa, tak diketahui siapa para pembunuhnya. Sepeninggal ibunya, hidup si Diro yang masih belasan tahun umurnya, terlunta-lunta. Tak ada yang mau berbaik hati merawatnya. Sehari-hari anak ini hanya meraung dan menangis, berjalan berkeliling desa. Makan pun apa saja yang ditemuinya, masih untung setiap hari ada penduduk yang memberinya pengisi perut, meski memberi dengan cara melemparkannya. Ketika lelah berjalan, Diro memilih untuk pulang ke rumah reyotnya, rumah peninggalan ibunya. Di rumah itu kembali seperti biasa, ia menangis dan meraung lagi hingga ia lelah dan tertidur, entah dalam tidur apa yang dia impikan. Hari itu hari selasa legi, sudah menjelang sore. Pak Karto kebingungan karena si Binung, sapi kesayangannya berkeliaran tidak terikat. Dilihatnya si sapi, asik makan rumput dibawah pohon sengon di tegalan rumahnya. Tak terikat tali tambang yang biasa di kenakannya. " Bune!...kamu ya, yang melepas ikatan si Binung?", selidik Pak Karto ke istrinya. " Halahh...mana pernah aku deket-dekat sapimu Pak, baunya minta ampun", elak Mbok Karto, istrinya. " Lha...itu, tambangnya juga tidak ada, siapa yang melepasnya?" " Waduh, ya nggak tahu aku. Tapi tadi sih, sempet denger si Diro meraung di deket kandang, terus ku lempar singkong. Pasti dia tuh, yang melepas sapimu pakne, tambangnya dia ambil buat mainan". " Weeee.....lha, dasar anak dhemit. Mesti tak gebuk bocah kae..". Pak Karto bergegas beranjak. Ia kuatir hari keburu gelap, ia harus segera mengambil tali tambang itu. Karena Si Binung bisa menjadi liar kalau disuruh masuk kandang saat hari menjelang malam. Lelaki tua itu sudah siap dengan gagang pacul yang akan digunakannya untuk menggebuk si Diro, dia pikir agar anak ini kapok dan tak sembarangan lagi mengambil tali tambang pengikat sapinya. Masih sambil melangkah bergegas di jalanan, bahkan kakinya belum menapak sampai di depan rumah Diro, Pak Karto sudah berteriak-teriak galak. " Diro,...anak dhemit kurang ajar!..ayo sini tak penthung kowe! mana tali tambangku, kembalikan!" Pak Karto terus meracau. Tapi ketika sampai di depan rumah Diro, teriakannya tiba-tiba senyap bercampur gagu dan kelu. Di depan mata, ia melihat jelas tubuh Diro tergantung di palang atas pintu rumah itu. Tali tambang pengikat si Binung melilit lehernya. Mata Diro mendelik, lidahnya menjulur, bercampur tetesan darah berwarna hitam disela bibir anak si Warni yang buruk rupa ini. Pak Karto serentak balik badan. Lari lintang pukang, kadang dia terjerembab karena panik hingga sering tersandung batu cadas di jalanan. Dia berlari dan berteriak ketakutan. " Toloooong....tolonnnng....halah...halahhhh! Diro nggantung... Diro mati nggantuuuuung!!". Dan malam itu penduduk desa kembali heboh. Semua warga berkerumun. Rumah Diro riuh dan penuh orang yang tercekat. Anak si Warni ini telah mengakhiri hidupnya. Hidup diantara hinaan dan cercaan mereka. ______________________________________________ Rumah tua dan lapuk yang mulai reyot itu tetap beku dan bisu. Ketika senja datang, tak satu pun warga desa yang berkenan lewat melalui jalan di depan rumah itu. Jika terpaksa harus keluar dusun malam-malam, mereka lebih memilih mengambil jalan berputar, meski melalui bulak yang panjang. Sosok Diro tetap bersemayam di benak warga desa. Bahkan sering mereka gunakan, jika anak mereka tidak mau segera tidur di waktu malam. " Cepet tidur le, kalo tidak, nanti ku panggil si Diro loh". Demi mendengar nama itu, anak-anak pasti segera nyungsep di bawah bantal, ingin segera terlelap tidur. Ikuti kemauan orang tuanya. Jika saja ada warga desa yang sedikit memiliki nyali. Untuk melewati jalan di depan rumah reyot ini, ketika senja atau malam hari. Mereka pasti akan melihat, meski samar. Di halaman rumah ini, dua sosok serupa bayangan. Semuanya hitam, yang seorang lebih besar dan yang seorang lebih kecil, tampak duduk berduaan, penuh keakraban. Mereka tampak hangat menikmati hidangan. " Habiskan singkong bakarmu Le,...Sudahlah, kamu lebih nyaman sekarang, bersama aku, Bapakmu..". Di ujung langit, rembulan separuh terhalang batang-batang daun kemuning . Namun temaramnya tetap mampu menyibak kelam, membentuk bayangan-bayangan pekat, yang akan menampakkan guratan-guratan di permukaan tanah. Malam pun beranjak pelan, dan terus akan beranjak. Rumah ini tetap bisu, menjadi saksi, sunyi. . . 05/12/11 Paknethole
KEMBALI KE ARTIKEL