Berita-berita tentang hal itu yang sekilas saya rangkum adalah anak dari orangtua pengidap HIV positif tersebut gagal diterima di sekolah dimaksud karena tidak bersedia melengkapi syarat adanya "surat keterangan sehat/tidak mengidap HIV" bagi anaknya. Dan sepertinya perkara ini terus melebar/dilebarkan. Saya belum mendapat berita pasti apakah si ayah tersebut melakukan gugatan perdata/TUN atau tidak. Yang jelas, dari berita yang ada di koran tempo hari ini dapat saya prihatin karena permasalahan ini seperti menjadi berpotensi memanas karena yang ikut terlibat adalah Organisasi Jaringan Orang Terinfeksi HIV Indonesia (JOTHI). Organisasi ini diberitakan akan mendatangi DPR untuk meminta adanya pembahasan. Pihak sekolah tersebut juga membantah jika dia dianggap bertindak diskriminatif.
Beberapa hal yang dapat dicerna dalam hal ini adalah permasalahan seperti ini timbul karena perbenturan sikap yang sama-sama "ingin dimengerti". Rasa sensitif seorang penderita HIV yang dimungkinkan mudah "terusik" saat ada pihak lain yang meminta sebuah "klarifikasi" padanya. Dalam pandangan saya, pihak sekolah yang menginginkan adanya syarat khusus sebuah "surat keterangan sehat/tidak mengidap HIV" bagi calon siswa yang berkondisi khusus ini adalah respon yang wajar. Hal itu dapat dicerna sebagai sebuah landasan untuk kepastian sikap selanjutnya. Adanya Surat keterangan tersebut pastilah sangat diperlukan oleh pihak sekolah guna menjawab "keresahan" orang tua murid yang lain yang bersekolah ditempat tersebut.
Sangat disayangkan jika si ayah yang mengidap HIV positif tersebut memandangnya sebagai sikap diskriminatif. Maka ketidaksediaan si ayah memberikan surat keterangan yang diminta pihak sekolah sebagai syarat pendaftaraan tersebut, menjadikan pihak sekolah lebih memilih mengambil sikap menolak. Sikap si ayah yang keras kepala tersebut jelas saja akan menjadi kekhawatiran pihak sekolah dan juga orang tua murid lainnya, mengingat dimungkinkan pula jika si anak mengidap HIV juga. Bukankah jika itu terjadi, pihak sekolah akan kelimpungan memberikan perlakuan yang tepat untuk si anak? Belum lagi keresahan "wajar" bagi orang tua murid yang lain jika ternyata ada pengidap HIV yang setiap hari dekat dengan anaknya?
Secara formal, mungkin sekolah ini menolak dengan pertimbangan syarat pendaftaran yang diminta tidak dipenuhi. Selain sikap atas "kebingungan" yang wajar di alami oleh pihak sekolah yang mungkin juga baru kali ini menemui kasus seperti ini. Bisa di katakan sekolah ini " ketiban apes" harus mengalami peristiwa yang dilematis ini. Saya yakin sekolah lain pun akan kelimpungan jika mengalami hal ini. Apalagi sekolah ini adalah sekolah swasta, yang tentu saja masa depan kelanjutannya sangat bergantung pada seberapa banyak jumlah siswa/muridnya. Sekolah negeri pun saya yakin akan belingsatan jika mengalami hal ini, atau mungkin malah langsung tancap gas menolaknya.
Kekuatiran yang pantas mengemuka adalah peristiwa ini akan melebar menjadi ajang pen-degradasian nama sekolah dimaksud. Apalagi peristiwa ini bertepatan dengan Hari AIDS, ada organisasi/massa yang terlibat, bahkan akan sampai ke DPR segala. Apalagi era informasi dan latahnya jejaring sosial saat ini sangat mudah terprovokasi untuk serta merta euforia membela pihak yang "seolah-olah" teraniaya. Untuk itulah sebenarnya pemerintah, mungkin dalam hal ini kemendikbud atau pun kemenkes mungkin memberikan solusi yang tegas dan substansial untuk mengatasi kasus-kasus seperti ini. Memang benar "teori"nya bahwa pengidap HIV pun tetap berhak mendapatkan pendidikan, namun bagaimana prakteknya? sudahkah adakah kebijakan khusus yang memberikan penanganan atau perlakuan khusus dalam hal ini?
Permasalahan seperti ini sudah sepatutnya diselesaikan dengan cara mediasi. Hendaklah masing-masing pihak saling mengerti. Ingat, perlakuan khusus dalam hal ini janganlah di judge sebagai sebuah diskriminasi. Pengidap HIV positip pun (apapun penyebab awalnya) jangan hanya ingin dimengerti, tapi juga harus mau mengerti, bahwa saat ini kondisi masyarakat memang masih seperti ini. Bukan berniat kasar, tapi hendaknya mereka juga bersikap "tahu diri". Saat kondisi sosial sebagian besar masyarakat sekarang ini memang masih "ngeri" dengan hal itu, sang ayah dalam kasus ini janganlah memaksakan diri untuk menyekolahkan anaknya di sekolah resmi, apalagi jika syarat yang diminta tidak bersedia ia penuhi. Alangkah sayang jika sebuah permintaan syarat yang "wajar" dianggap sebagai diskriminasi. Jikapun si anak nanti dapat bersekolah di tempat resmi dalam kondisi sekarang ini, alangkah kasihan juga dia nanti.
Kita harus tetap proporsional dalam menyikapi peristiwa ini. Bukan tak ingin berbela rasa kepada pengidap HIV/AIDS, namun berusaha jujur bahwa untuk saat ini sebagian besar masyarakat pun menginginkan pula agar para pengidap HIV/AIDS pun mau memaklumi. Untuk saat ini, bukankah wajar pula kebijakan sekolah yang diminta tersebut, demikian juga pihak orang tua murid lainnya (bayangkan juga jika itu anda)?. Maka itu tetaplah ada jembatan agar saling pengertian itu dapat tercipta tanpa ada rasa kekhawatiran, dan pemerintahlah yang harus turun tangan, mengambil peran secara signifikan. Jangan sampai nanti ada pihak yang mengail di air keruh.