Akhirnya impianku kesampaian juga. Vina, anak gadisku semata wayang, akhirnya diterima kuliah di Fakultas Tekhnik Ternama. Tekhnik Sipil Institut Tekhnologi Bandung (ITB). Dengan semangat dan senyum cerah, dia memamerkan hasil ujian saringan masuknya. Namanya jelas jelas tertera, dalam nama-nama peserta yang diterima untuk kuliah di sana. Namun kegembiraan Vina kulihat tak lama. Beberapa hari menjelang registrasi calon mahasiswa, kuamati raut muka dan tingkahnya yang murung. Hingga, sore hari, saat kunikmati waktu membaca koran di teras rumah, dengan beringsut dia duduk mendekat. " Pa..." " Ya, sayang, ada apa?" " Vina pikir, Vina nggak jadi aja deh kuliah di Bandung". " Lho, kenapa?" tanyaku terkesima. " Biaya kuliahnya kan mahal Pa". " Kamu sudah kuasuransikan sejak kecil Vin, tenang saja". " Aku kasihan sama Papa, nanti Papa sendirian di rumah". " Ah, kamu kan bisa tiap minggu pulang. Atau, gantian saja, Papa yang datang ke sana". " Nanti siapa yang nyuciin baju Papa?" " Banyak laundry kiloan to?" " Nanti siapa yang masakin Papa?" " Banyak warteg, Vinaaa". " Yang bikinin kopi papa tiap pagi siapa juga?' " Bikin kopi gampang sekali, Nduk". " Huuuuuh". Anak cantikku menghela napas berat. "Kok Huh?" Vina terdiam. Cakap kami diseling jeda. Sesaat mata kami memandang rutinitas di depan mata. Tukang roti lewat di depan jalan rumah, menjajakan dagangannya. Seperti sore-sore sebelumnya, dengan mobil yang sudah disulap dengan jendela kaca. Memajang segala roti dengan berbagai pilihan rasa. Sekilas lewat, dan suara tawarannya sayup menghilang di ujung jalan. " Memangnya, Papa nggak bakal kangen sama Vina?" " Ya jelas kangen dong. Tapi kan Papa bisa telpon. Dan itu kan hal biasa, sayang". " Tapi Pa, Vina yang bakal kangen sama Papa", nada suaranya mulai merajuk. " Ya, ditahan sedikit dong Vina. Kamu bisa sibukkan diri dengan belajar atau jalan-jalan dengan teman" " Iya sih Pa. Tapi Vina takut, bagaimana nanti kalau aku sakit?" " Jangan sakit dong. Jaga kesehatan, makan yang bersih dan sehat. Istrirahat yang cukup". " Nah, itu dia Pa. Bagaimana bisa istirahat cukup Pa, kalau tiap malam nggak bisa tidur?" " Harus tidur dong Vina. Memang malam-malam kamu ngapain kalau nggak tidur?" " Iiih Papa!, Vina sebel! Papa nggak ngerti Vina!" rajukannya makin manja, ada semburat merah di wajah manisnya. " ....Kenapa sih, Sayang? tinggal merem saja kok?" " Papa nyebelin! Nanti Vina "ngetek" sama siapa??? Vina kan nggak bisa tidur kalau nggak "ngetek" dulu di ketiak Papa!" ".....Duh". Astaga! aku tersadar. Aku lupa hal "kecil" ini. Betul juga kata-kata mendiang istriku dulu. Agar jangan terlalu memanjakannya. Sekarang baru aku bingung menyikapinya. "Ah, Mama di sorga. Benar juga kata-katamu. Lalu bagaimana sekarang? Vina anak kita satu-satunya. Salahkah aku menjaganya?" " Pokoknya, Vina cari kampus di Jakarta aja Pa. Biar bisa pulang tiap hari!" Vina beringsut, dan masuk ke rumah. Lalu kudengar kesibukan sehari-harinya. Bunyi kran air pencuci piring seperti irama renyah, entah indah atau gamang, aku tak bisa menilainya. Hm. Bidadari kecilku. Aku terlalu menyayangimu. [caption id="attachment_140733" align="aligncenter" width="374" caption="from google"][/caption] . . 7 Nov 2011 Other side of East jakarta. C.S.
KEMBALI KE ARTIKEL