"Inilah paradigma yang harus dikedepankan bahwa setiap anak itu dilahirkan dengan membawa potensi sebagai juara, apapun kondisinya. Bahkan sudah banyak bukti di dunia, orang-orang dengan keterbatasan fisik dan otak bisa sukses. Namun, untuk membuka gerbang kesuksesan itu, mereka tentu mendapatkan penanganan yang tepat. Yang jelas, Tuhan tidak pernah menciptakan produk gagal," kata Munif Chatib, seorang konsultan pendidikan, pada acara pelatihan guru SLB dan pendidikan inklusi, yang digelar di Hotel Pelangi, Tanjungpinang, kemarin.
Munif yang juga pengarang buku "Sekolahnya Manusia" dan "Gurunya Manusia", yang menjadi best seller itu, mengakui, tidak semua guru jeli untuk melihat kemampuan yang ada pada setiap anak.
"Memang, ada guru yang sulit untuk mengakui bahwa setiap anak adalah seorang juara. Hal ini disebabkan guru sering punya hobi membangun ‘penghalang-penghalang' dengan muridnya-muridnya yang memiliki keterbatasan. Karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah merobohkan ‘penghalang' tersebut. Sesulit apapun jika dilatih dan diulang-ulang, pasti akan bisa," tegas mantan pengacara ini.
Kemampuan Itu Bermakna Luas
Hal kedua yang harus dilakukan guru adalah memandang bahwa kemampuan setiap anak adalah seluas samudera. Menurutnya, makna kemampuan dalam arti luas mencakup kemampuan psikoafektif (bisa berupa respon, sikap), psikomotorik (misalnya dengan cara berkarya dan berani tampil di muka), dan psikokognitif.
Sejauh ini, katanya, kemampuan kognitif anak selalu diukur dengan nilai-nilai di atas kertas. Padahal, jika sekolah berlomba-lomba mengejar pradigma tersebut justru akan mempersempit makna kognitif itu sendiri.
"Kemampuan kognitif itu banyak. Seperti kemampuan mengidentifikasi masalah, pemecahan masalah. Bukan hanya berbentuk nilai di atas kertas," ujar lulusan Distance Learning di Supercamp Oceanside California USA milik Bobby de Porter ini.
Kecerdasan Majemuk
Ketiga, lanjut Munif, adalah memandang setiap anak cerdas dengan kecerdasan majemuk (multiple intellegence). Jika perlu diredefinisi, kecerdasan adalah kebiasaan atau perilaku yang diulang-ulang, sehingga akan memunculkan kreativitas, dan memiliki kemampuan menyelesaikan masalah (problem solving).
Otak adalah komponen inti kecerdasan. Beberapa bagian otak pada anak-anak berkebutuhan khusus mungkin mengalami kerusakan. Namun, persentase yang tidak rusak itu masih sangat besar dan kemampuan pada bagian otak inilah yang perlu dilejitkan. Asalkan mendapatkan stimulus yang tepat, apapun kondisinya setiap individu memiliki kecerdasan.
Mengutip Howard Gardner, Munif memaparkan, ada delapan macam kecerdasan. Antara lain, cerdas bahasa, cerdas gerak, cerdas bergaul, cerdas bermusik, cerdas gambar, cerdas angka, cerdas diri, dan cerdas alam.
"Karena, sudah banyak bukti jika kecerdasan itu tak tergantung dengan kondisi fisik, kondisi otak, hasil tes-tes standar. Contohnya Albert Einstein yang baru bisa membaca saat duduk di kelas IV. Ada juga Stephen Hawking, ilmuwan yang cacat, dan banyak lagi," jelasnya.
Untuk mengetahui kecerdasan pada anak, guru harus memahami gaya belajar siswanya. Kemudian membuat strategi pembelajaran yang tepat, selanjutnya wajib membuat rencana pembelajaran.
Temukan Kemampuan Anak
Hal keempat yang harus dilakukan guru adalah menemukan kemampuan pada setiap anak. Munif mengakui cara ini butuh kesabaran. Karena, "Yang bisa melakukan ini adalah guru yang mengajar dengan hati," katanya.
Agar bisa menemukan kemampuan setiap anak, guru harus menjadi fasilitator, katalisator dan melakukan penilaian otentik.
Upaya terakhir yang harus dipahami setiap guru adalah memahami bakat yang ada pada setiap anak. Bakat yang diasah terus-menerus akan menciptakan sosok profesional. Apalagi jika guru memahami bahwa potensi yang ada pada anak, kemudian dipadu dengan hobi sehingga dia berbakat, selanjutnya memiliki minat yang kuat, akhirnya akan menciptakan individu yang profesional.
"Kesimpulan akhirnya adalah bahwa setiap orang adalahmasterpiece," tegasnya lagi. (*)