Perbincangan Kala Hujan #2
Hujan sore itu begitu deras. Di bawah payung bening aku berlari kecil menyusuri jalan-jalan yang tergenang air. “Rasanya aku sudah melewati bangunan ini?!”gumamku tak yakin. “Duh gusti, nyasar lagi kah?” Diantara deru hujan aku memandang lemah pada langit. Ini bukan kali pertama aku tersesat selama tinggal di kota kecil yang indah ini. Selama 40 hari tinggal disini aku semakin sadar bahwa kota ini memiliki banyak jalan bercabang yang rumit.
Aku menghela nafas.Menghafal nama dan rute jalan adalah kelemahanku nomor wahid. Kini aku hanya bisa berdiri diam, memandang lemah layarhandphone yang gelap dan membuatku semakin mati kutu. Lupa men-chargeHP adalah kelemahanku selanjutnya. Aku mulai memejamkan mata dan bersandar pada dinding bangunan tua yang tampak semakin mengerikan di bawah hujan. Sungguh, betapa tersesat seperti ini adalah sesuatu yang tidak menyenangkan.
…
Seperti dalam mimpi,
…
Kenapa ada suara tangis?
…
Aku tidak sedang menangis, siapakah?
…
Aku membuka mata dan berjalan ke arah sumber suara, sekedar memastikan bahwa yang aku dengar bukan sekedar mimpi.
***
“Kenapa?” tanyaku pada seorang gadis mungil yang basah kuyup dan duduk memeluk lutut di halaman belakang bangunan tua yang aku sandari.
Gadis itu menggeleng. Mengusap air matanya yang bercampur dengan air hujan sambil menunjuk sebuah jalan. Aku tak melihat apapun, selain punggung-punggung pekerja kantoran yang berjalan menjauh dari tempat kami.
“Ayahmu? Ibumu? Apakah mereka disana?”
Gadis itu menggeleng lagi. Lalu menenggelamkan wajahnya dalam lipatan tangan. Ada sesuatu yang meleleh di pelupuk mataku melihat gadis ini. “Ya Allah, siapa yang meninggalkannya di tempat seperti ini?” bisikku dalam hati.
Aku menuntunnya ke tempat yang teduh, mengeluarkan sebuah handuk yang baru saja aku beli di supermarket dan segera membungkus badannya yang begitu ringkih. Dia masih terisak dan aku pun memeluknya. Merasakan isaknya di dekapanku. Entah kenapa, aku merasakan dingin di hatinya menelisik hatiku.
“Aku tahu, aku juga, jangan nangis lagi ya!” aku berbisik di telinga mungilnya. Sore itu, air mata kami meleleh dalam diam. “Aku tau, sungguh..”
***
“Bajunya kebesaran ya?” tanyaku pada gadis mungil yang asyik menikmati coklat hangat. Ia hanya tersenyum dan menggeleng. Aku membelikannya baju ganti yang hangat di Mall terdekat yang bisa aku jangakau saat itu. Sejak satu jam yang lalu, ia belum berbicara apapun.
“Suka pancake nya?” tanyaku lagi, saat ia memandang takjub blueberry pancake dengan toping vanilla ice cream yang aku pesan untuknya. Matanya membulat, penuh rasa ingin tau. Sepertinya ia penasaran. Aku suapkan sepotong pancake dan ia menyambutnya dengan senyum hangat.
“Siapa namamu sayang? Tanyaku lagi.
“Ani..” jawabnya singkat sambil tersenyum. Lalu ia mulai sibuk lagi dengan pancakenya. Namanya mengingatkanku pada sesuatu, A-N-I, Ani, A-NI. Aku menyebut nama itu berulang-ulang dalam hati. Pikiranku melayang pada labirin-labirin dingin. Aku menggeleng, mencoba mengusir ingatan yang mulai membuatku tidak nyaman.
“Kak..”
Aku membuka mata dan merasa takjub ia memanggilku. Tangannya mengarah pada sesuatu di luar jendela. Mataku mengekor arah tangannya, dan…
“Itu pelangi..” ujarku tersenyum. Ani mengangguk dan terlihat sangat bahagia memandang pelangi yang sempurna itu. Pendar tujuh warnanya begitu indah dalam bulatan setengah lingkaran diantara dua bukit. Mega merah di ufuk barat menggenapi keindahan pelangi senja itu.
Rintik-rintik hujan di jendela masih menyisakan aroma dingin. Memandang pelangi setelah hujan rasanya begitu menyenangkan.
“Kamu tahu Ani, hujan pasti berakhir, dan pelangi adalah anugerah dariNya yang luar biasa. Allah membuat kita menangis tapi juga tersenyum hari ini. Dan selalu, selalu ada jalan untuk pulang. Kamu percaya?”
Ani hanya mengerjap-ngerjapkan mata dan tersenyum. Mungkin sebenarnya aku mengatakan hal itu pada diriku sendiri. Ani kembali melempar pandangannya pada punggung-punggung yang menjauh di luar jendela.
“Dia pasti akan menjemputmu, kamu harus percaya. Pun dia tidak kembali, akan ada yang melindungimu, menjagamu, dan memberikan kehangatan lebih dari yang pernah kamu rasakan dulu.”
Ani masih tak melepaskan pandangannya dari sosok-sosok di luar jendela.
Seketika itu, adzan magrib berkumandang. “Suara yang kukenal” bisik hatiku. Tak salah lagi, ini adalah suara khas dari muadzin masjid di seberang rumah yang aku tinggali.
“Ani, kamu mau pulang? Aku rasa aku menemukan jalan pulang.” Ujarku bersemangat. Aku sudah hampir berdiri dan bersiap mengejar suara adzan.
“Kak…. berjanjilah, kakak tidak akan meninggalkanku dan akan melindungiku. Aku lelah.”
Ani menatap mataku. Aku terkesiap. Bukan hanya karena ini kalimat terpanjang yang diucapkannya untuk pertama kali. Tapi karena sesuatu dalam matanya yang diam-diam menyisipi rongga hatiku. Butir-butir hangat itu pun mengalir lagi. Aku meraih tubuhnya yang ringkih dalam dekapanku.
“Aku janji, karena aku tahu, sungguh. Percayalah, kita bisa melewati semua ini, hujan ini. Pasti! Kita akan pulang, kita akan pulang” gumamku di telinganya.
Hingga perlahan sebuah cahaya mengusikku. Melepaskanmu. Potongan-potongan film bermain dalam suatu ruang yang entah apa, tawa hangat, suara-suara diskusi, marah, sedih. Berkelebat dan bermain cepat.. cepat.. cepat…
***
“Nis, bangun yaaa, udah mau sampai!”
—aahh lagi-lagi, mimpi…