Pajak Naik, Harapan Meninggi?
Pemerintah beralasan, menaikkan PPN dari 11% ke 12% adalah cara untuk meningkatkan penerimaan negara. Toh, pendapatan pajak kita memang masih rendah dibanding negara-negara lain. Tapi tunggu dulu, apakah semua sektor siap menanggung beban tambahan ini, khususnya UMKM?
PPN, seperti yang kita tahu, adalah pajak konsumsi. Artinya, setiap kali kita belanja, ada “plus-plus” yang harus dibayar. Semakin tinggi tarif PPN, semakin mahal harga barang dan jasa. Bagi konsumen kelas menengah ke bawah, kenaikan ini bisa jadi kabar buruk. Dan bagi UMKM, yang sebagian besar konsumennya adalah kelompok ini, ini bisa berarti penurunan daya beli. Bayangkan penjual bakso atau pedagang kelontong harus menaikkan harga jual. Akankah pelanggan tetap loyal, atau justru kabur ke pesaing yang lebih murah?
UMKM: Bukan Sekadar Angka
UMKM sering dipuji sebagai pahlawan ekonomi. Tapi, mari jujur, pahlawan ini sering dibiarkan berjuang sendiri. Sebagian besar UMKM belum punya kemampuan atau sumber daya untuk beradaptasi dengan perubahan kebijakan pajak. Bayangkan pedagang gorengan yang harus memikirkan pembukuan pajak. Jangankan itu, membayar iuran BPJS saja kadang sudah jadi tantangan.
Menurut data, sekitar 98% UMKM berada di sektor mikro. Artinya, mereka beroperasi dengan margin keuntungan yang tipis. Kenaikan tarif PPN bisa menjadi pukulan telak. Mereka bukan hanya harus menyesuaikan harga jual, tapi juga menghadapi risiko kehilangan pelanggan. Ini jelas bukan sekadar soal angka; ini tentang kelangsungan hidup jutaan keluarga.