Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Koh Ahok, Kasihanilah Mereka

3 Maret 2015   21:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:13 1926 17
Awalnya saya begitu kasihan dan membela Ahok saat beliau diserang habis-habisan oleh anggota DPRD DKI Jakarta, terutama duo jagoan, Pakde Taufik dan Paklek Lulung, yang memang sudah nafsu sejak awal untuk menjatuhkan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. Waktu itu saya merasa, Ahok sebagai pihak korban yang harus dibela dengan taggar #SaveAhok dan turut menandatangani petisi di Change.org untuk mendukung Ahok dari serangan anggota GGS. Namun sekarang, saya berbalik arah untuk mendukung pada anggota DPRD DKI Jakarta, dari 'kekejaman' Ahok.

Mengapa saya berubah pikiran? Tentu saja karena saya berempati dengan para anggota dewan tersebut. Karena 'ulah' Ahok sebagai eksekutif yang seharusnya diawasi oleh anggota legislatif, kini malah beraih fungsi mengawasi anggota legislatif. Apalagi sampai kemudian Ahok membatasi anggota dewan tersebut untuk bermain-main dengan anggaran, bahkan melarang anggota dewan untuk menyisipkan apa yang Ahok sebut sebagai 'anggaran siluman', ke dalam RAPBD.

Ahok benar-benar sudah menganggu kepentingan para anggota dewan untuk mendapatkan dana di luar gaji bulanan mereka. Selama ini, permainan di APBD-lah yang menjadi harapan dan tumpuan mereka untuk mendapatkan dana lebih sebagai penghasilan tambahan. Bila mereka tidak mendapatkan dana lebih, maka 'matilah' mereka. Maksud saya, yang mati bukan orangnya, tapi syahwatnya untuk mengumpulkan uang.

Pertanyaan berikutnya, buat apa sih uang dan pendapatan lebih bagi anggota dewan? Bukankah gaji mereka sudah cukup besar untuk makan dan menghidupi 2 orang istri dan 4 orang anak? Eh jangan lupa. Kebutuhan para anggota dewan tersebut bukan hanya sandang, pangan dan papan saja. Mereka juga punya kebutuhan lain yang antara lain berupa:


  1. Uang Kas Partai
    Sudah menjadi aturan partai bila setiap anggota dewan dari sebuah partai politk, harus mengisi uang kas partai. Entah dalam bentuk potongan gaji 20%, atau bahkan berupa proyek-proyek pemerintah yang keutungannya bisa digunakan untuk menghidupi partai sebagai kendaraan politiknya. Jangan heran kalau tugas bendahara partai, adalah mengumpulkan uang dari para anggota legislatifnya serta mencari peluang mendapatkan dana dari proyek-proyek yang bisa dikongkalikongkan. Kasus Nazaruddin adalah contoh kasus bendahara partai yang akhirnya tertangkap dan dikorbankan oleh partainya seperti pada kasus Mission Impossible.  Saya pernah tuliskan di postingan "Nazaruddin Bukan Anggota Mission Impossible".

    Bila anggota dewan dilarang memainkan anggaran, itu berarti akan mengganggu asap dapur partai politik juga. Akibatnya, anggota dewan tersebut bisa-bisa akan diancam untuk di-PAW-kan atau pergantian antar waktu, karena partai politik berhak menarik seorang anggota dewan karena dianggap tidak berprestasi. Jika itu terjadi, tamatlah riwayat dan karir politik si anggota dewan yang telah begitu banyak mengorbangkan harta, air mata,  istri dan keluarga untuk menjadi anggota dewan. Apa Ahok tidak kasihan dengan nasib mereka?
  2. Balik Modal Kampanye Lalu
    Menjadi anggota dewan itu tidak mudah dan murah. Bila setelah pemilu legislatif kemarin ada berita di koran, beberapa orang menjadi anggota dewan tanpa biaya besar, itu hanya kasus seribu satu. Dari seribu anggota dewan, mungkin satu yang bernasib mujur begitu. Selebihnya, mereka berdarah-darah untuk menguras tabungan, menjual tanah warisan dan pinjam pada cukong sebagai  modal kampanye. Menjadi anggota dewan daerah  di Kalimantan saja, butuh dana 1 milyar, apalagi untuk DKI Jakarta yang penduduknya padat merayap. Bila anggota dewan tidak dapat memainkan anggaran, terus dari mana mereka bisa mengembalikan modal. Apalagi banyak anggota dewan yang sesaat setelah acara pelantikan dan menerima SK, mereka langsung mengagunkan SK tersebut untuk pinjaman bank. Silahkan baca  berita, "Utang ke Bank 29 Anggota Dewan DKI Gadaikan SK". Mereka sampai pinjam bank untuk bayar hutang dana kampanye lalu. Apa Ahok tidak kasihan dengan mereka? Bisa-bisa mereka dikejar-kejar dbt collector yang menagih hutang mereka.
  3. Modal Kampanye Berikutnya
    Setelah menjadi dewan yang terhormat, tentunya kalau bisa 'pengabdian' tersebut bisa berlangsung selamanya sampai mereka bosan atau sampai beralih menjadi fungsi menekuni profesi lainnya. Itu mengapa dari awal, anggota dewan tersebut sudah harus membuat 'rencana kerja', bagaimana mengumpulkan modal untuk kampanye periode berikutnya. Minimal, mereka membutuhkan dana atas nama 'jaring aspirasi' untuk tetap memelihara loyalitas konstituennya melalui berbagai dana bantuan hingga pengadaan proyek kegiatanke kantong-kantong pemilih mereka. Tidak ada yang salah dengan 'ngopeni' pemilih mereka dengan kegiatan pembangunan yang solutif sesuai masalah yang ada di wilayahnya. Namun yang terjadi justru, proyek-proyek yang ada hany asal jadi dan lebih mementingkan keuntungan finansial dari proyek tersebut. Kasus UPS berharga milyaran yang tidak terlalu urgent untuk sekolah menengah dan kelurahan, menjadi bukti betapa proyek yang diadakan itu kurang mengakar dan membumi. Bila kemudian Ahok melarang anggota dewan tersebut memainkan anggaran, maka kasihan sekali mereka bila akhirnya tidak lagi punya tabungan dana untuk kampanye pada periode yang akan datang.
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun