Aku melepas kacamata dan menoleh ke arah istriku sambil balik bertanya, "Siapayang belum pulang? Dimas atau Putri? Jam berapa ini?"
"Keduan-duanya. Ini sudah hampir tengah malam Pak!" seru istriku dengan suara lebih keras dari biasanya.
"SMS atau telpon sajalah. Suruh mereka pulang," memberi saran kepada istriku.
"Sudah Pak. Tapi tidak dibalas atau diangkat. Ayolah Pak. Mengapa Bapak tidak pernah perhatian dengan anak-anak kita?"
Kalimat terakhir istriku membuatku tersentak. Apa benar aku ini bapak yang tidak perhatian dengan keluarga, terutama anak-anakku. Bukankah selama ini aku berangkat pagi dan pulang hingga tengah malam, bekerja untuk keluarga. Bukankah semua kebutuhan Dimas dan Putri sudah aku penuhi? Apalagi yang mereka butuhkan?
"Mengapa Mama bilang aku tidak perhatian? Bukankah kerja kerasku ini bukti aku begitu sayang pada keluarga dan anak-anak kita?" Kali ini suaraku agak meninggi.
"Pak, yang mereka butuhkan bukan hanya materi. Anak-anak juga butuh disapa, diajak bercerita. Apa Bapak tahu kalau Dimas mendapatkan peringatan dari sekolah karena beberapa kali bolos sekolah? Apa Bapak tahu kalau Putri sering pulang malam?"
"Mengapa Mama tidak pernah cerita?" sergahku.
"Sudah dan berulang-ulang meminta perhatian Bapak dan sepertinya Bapak terlalu lelah untuk mendengarkan cerita mama tentang Dimas dan Putri," suara istriku yang lembut, terdengar begitu menohok egoku sebagai seorang suami dan ayah.
Apa benar aku abai dan lalai dalam mendidik anakku? Bukankah selama ini aku pasrahkan semua urusan anak-anak kepada istriku? Iya benar. Aku memang telah abai selama ini. Aku terlalu fokus pada pekerjaan. Bahkan pekerjaan sudah menjadi istri keduaku yang harus diperhatikan sepanjang hari. Sementara, aku melalaikan tugasku sebagai seorang suami dan ayah yang baik bagi kedua anak-anakku.
Aku beranjak dari kursi, menghampiri istriku dan mencium keningnya. "Maaf aku ya Ma. Aku akan cari mereka sekarang."
Berbekal nomer telpon teman-teman kedua anakku, aku menelusuri keberadaan Dimas dan Putri. Beruntung teman-teman Dimas dan Putri yang aku hubungi, mereka dengan senang hati memberikan informasi di mana kedua anakku itu biasa 'hang out' bersama kelompoknya.
Aku mencari Dimas terlebih dahulu yang informasinya sering berkumpul bersama anak-anak punk di daerah ruko dekat alun-alun kota. Mobilku memutari area pertokoan yang gelap. Hanya beberapa lampu jalan yang tidak terlalu terang, menyinari perempatan jalan. Hingga akhirnya mobilku berada di ujung jalan di belakang stadion. Dari jauh tampak beberapa orang sedang duduk di depan api unggun sambil bersendau gurau. Remaja tanggung dari kelompok anak punk yang aku cari. Mataku mencoba mencari-cari di antara mereka bila ada sosok Dimas, putraku. benar saja. Pemuda yang sedang bermain gitar itu putraku.
Aku menghentikan mobil agak jauh dari kelompok punk tersebut. Beberapa di antara mereka berdiri, termasuk Dimas. Aku keluar mobil dan berjalan berlahan mendekat. Rambutku yang sebahu aku biarkan terurai diterpa angin malam.
"Ngapain Bapak ke sini?" Dimas melotot ke arahku dengan wajah tidak suka.
"Pulang. Ditunggu Mamamu di rumah." Aku mencoba berbicar pelan dan menahan diri untuk tidak menghajar putraku yang berani melotot ke arahku. Dimas hanya diam tidak merespon permintaanku.
"Kita berbicara sebentar di sana yuk," pintaku, masih dengan suara dibuat sesabar mungkin. Kali ini Dimas berdiri, menyerahkan gitar yang dipegangnya kepada seorang remaja putri di sebelahnya. Aku tidak habis pikir, bagaimana remaja putri begitu bisa keluyuran tengah malam dan berkumpul dengan anak-anak punk. Hei... Bukankah putriku juga belum pulang hingga larut malam ini.
"Bapak mau ngomong apa? Tumben Bapak mencari Dimas? Biasanya Bapak tidak perduli dengan Dimas, bukan?" sergah anakku saat sudah menjauh dari kelompoknya.
"Dimas, maafkan Bapak. Bapak tidak bermaksud menelantarkan Dimas dan Putri. Bapak sadar kalau bukan orang tua yang baik. Bapak berfikir semuanya baik-baik saja." Dimas terdiam sambil mempermainkan gelang rantai yang ada di tangannya.
"Sekarang Dimas pulang. Mamamu mengkhawatirkanmu."
"Tidak!. Dimas tidak mau pulang. Merekalah keluarga Dimas sekarang," kata Dimas sambil menunjuk ke kelompok Punknya.
Aku tidak bisa memaksa Dimas dan berkonfrontasi dengannya. Aku sadar kalau anak seusia Dimas masih dalam masa pencarian jati diri labil. Egonya mulai tumbuh dan eksisntensinya ingin diakui. Bila dikerasin, dia akan cenderung memberontak dan akan bertambah jauh lagi.
"Oke. Bapak tidak akan memaksa Dimas untuk pulang. Tapi Bapak minta Dimas membantu bapak untuk mencari Putri yang juga belum pulang. Dimas sebagai kakaknya harus juga bertanggungjawab melindungi adikmu. Suatu saat, bapak dan mamamu akan pergi dan kamu akan menjadi kepala rumah tangga yang harus menjaga dan melindungi Putri. Kalian bersaudara harus bisa saling hidup rukun dan saling menjaga." Ada sedikit rasa haru saat mengucapkannya. Kesadaran bahwa usia tidak pernah bisa diduga dan berharap anak-anakku bisa hidup sebagai sebuah keluarga yang saling mendukung dan melindungi.
Kami terdiam sejenak hingga akhirnya Dimas bersuara, "Baiklah Pak. Dimas bantu Bapak mencari Putri. Tapi Dimas belum ingin pulang." Intonasi suara Dimas sudah tidak sekeras tadi. Dia nampaknya sudah bisa mengendalikan kemarahannya.
Setelah berpamitan dengan teman-temannya, Dimas masuk ke mobil dan menjadi navigator untuk menemukan Putri. Menurut Dimas, Putri biasa berkumpul bersama anak-anak gank motor di daerah lingkar barat yang biasa dipakai sebagai arena balapan liar. Sepanjang perjalanan aku hanya terdiam sambil sesekali memperhatikan Dimas dengan sudut mataku. Aku hanya merasa takjub kalau ternyata putraku sudah besar dan tumbuh sebagai pria dewasa. Perasaan, baru kemarin aku mengajaknya jalan-jalan ke taman dan mengajarinya bermain sepeda roda 2. Dia begitu gembira dengan sepeda kumbangnya dan sempat juga menangis saat terjatuh. Aku menghiburnya dan membangkitkan kembali semangatnya untuk terus bermain. Lalu mengapa kini putraku ada di sini dan begitu jauh dariku?
"Perempatan belok kanan Pak. Di situ ada warung kopi," kata Dimas memberi petunjuk arah. Benar saja, saat mobil berbelok di perempatan, tampak sebuah jalan gelap dipenuhi oleh motor-motor yang parkir di sepanjang jalan. Beberapa muda-mudi duduk di sadel motor bercengkrama dengan gelas di tangan. Beberapa pasangan lain tampak berboncengan mesra dengan pakaian ala kadarnya. Hampir semua remaja putri di situ bekaos tanpa lengan dan hot pants. Mereka seperti anak-anak yang ingin tampil dewasa. Mungkin ini yang disebut fenomena cabe-cabean.
Saat lewat, hampir semua pasang mata melihat ke arah kami dengan wajah tidak suka. Mungkin lampu mobil yang terang mengganggu aktivitas malam mereka. Aku tidak perduli dan aku sudah siap dengan segala keadaan. Andaikata harus bertarung, biar aku hadapi semua, demi menemukan Putri.
Tiba-tiba aku melihat sosok seperti putriku. Segera aku tepikan mobil, turun dan lari ke arah sepasang remaja yang sedang bermesraan di bawah pohon.
"Hai Putri, pulang sekarang!" teriakku sambil memegang si remaja putri. Namun saat orang yang aku pegang tersebut berbalik, ternyata dia bukan Putri, anakku.
"Maaf, bukankah itu jaket Putri?"
"Iya Om, benar," jawab si remaja tersebut.
"Di mana Putri sekarang?"
"Itu di sana," jawabnya sambil menunjuk ke arah warung remang-remang yang aku lewati tadi.
Aku bergegas berjalan ke arah warung. Dimas mengikutiku dari belakang. Benar saja, anak gadisku sedang duduk ngobrol di warung sambil tertawa-tawa dengan teman-temannya. Pakaiannya tidak jauh beda dengan cabea-cabean yang di luar sana. Tidak, anakku bukan cabe-cabean. Aku sudah mendidiknya dengan benar. Tidak mungkin dia tersesat menjadi cabe-cabean yang seringkali hanya dijadikan penghibur di kalangan gank motor atau bahkan jadi barang taruhan.
"Putri!" Teriakku saat di depan warung. Putri yang menyadari kehadiranku hanya menatap tanpa ekspresi ke arahku.
"Pulang sekarang!" Bentakku dengan penuh kemarahan. Aku menyosong masuk untuk menariknya keluar warung. Namun Putribangkit berdiri dan berteriak, "Aku tidak kamu... aku tidak kenal kamu..." Suasana mulai gaduh saat gerombolan gank motor mulai berkumpul di depan warung. "Hai aku ini Bapakmu.. Ayo pulang sekarang!" Bentakku dengan suara menggelegar.
Yang terjadi berikutnya, seorang pemuda yang duduk di sebelah putri meluncurkan pukulan datar ke arah wajahku. reflek, aku menangkisnya dan balik menghujamkan tamparan ke arah wajahnya dan membuatnya jatuh terpelanting mengenai rak piring. Aku segera bersiap dengan segala kemungkinan. Mataku waspada melihat ke segala sudut dan sesekali memiringkan badan untuk melihat bila ada serangan dari belakang.
"Putri harus pulang sekarang," pintaku. Kali ini aku sudah bisa menguasai diri untuk tidak membentaknya.
"Maaf Om. Putri tidak mau pulang. Om yang pulang saja!" Kata seorang pemuda yang paling senior di antara mereka semua. Sepertinya ini ketua kelompok atau gank motor.
"Tolong jangan ikut campur. Ini urusan saya dengan anak saya."
"Tapi Om berada di wilayah saya. Om segera tinggalkan tempat deh sebelum dikeroyok oleh mereka semua." Kali ini intonasinya tidak begitu tinggi namun terdengar seperti sebuah ancaman serius.
"Silahkan kalau memang kalian mencari perkara. Saya sedang menjalankan tugas dan kewajiban saya sebagai orang tua," jawabku sambil membenahi celana yang sedikit melorot karena tadi lupa tidak pakai sabuk.
Tanpa disangka, sebuah pukulan dari belakang mengenai punggungku. Aku terdorong ke depan dan hampir mengenai meja. namun dengan sigap, aku membalikkan badan dan mengirimkan tendangan memutar ke orang yang menyerangku tadi. Rupanya seorang remaja tanggung yang akhirnya terkena tendanganku. Tanpa dikomando, anggota gank yang lainnya juga menyerang dengan pukulan dan tendangan. Beberapa dapat aku hindari, namun banyak juga mengenai dada dan kepalaku. Aku terus melawan sambil mencoba menyerang balik orang yang terdekat yang menyerangku. Suasana begitu kacau dan ramai. Sesekali aku masih mendegar teriakan putriku agar semuanya berhenti menyerangku. Aku mulai merasa pening dan mual. Beberapa pukulan sempat mendarat di perutku dan membuat perasaan sesak nafas. Darah juga tampak mulai mengucur dari pelipis, hingga akhirnya sebuah tendangan telak mendarat di dadaku dan membuatku jatuh terjengkang.
Aku terbangun dengan nafas terengah-engah. Rupanya aku baru saja jatuh dari tempat tidur. Aku bergegas berdiri dan berlari menuju kamar anak-anakku. Dari balik pintu, tampak Putri sedang asyik dengan notebooknya sambil mendengarkan lagu Zombie dari Cranberies.
"Sedang apa?" Tanyaku masih dengan nafas terengah-engah.
Putri menyadari kehadiranku dan sambil tersenyum dia menjawab, "Eh Bapak sudah bangun. Ini sedang menyelesaikan episode terakhir dari novelku."
"Bagus lanjutkan. Nanti Bapak koreksi kalau suidah selesai ya." Putri hanya tersenyum mendengar komentarku.
Berikutnya aku menuju ke kamar Dimas. Tampak Dimas sedang berbincang-bincang dengan ibunya. Seperti biasa, Dimas juga sedang di tempat tidur dengan notebooknya sambil mendengarkan lagu-lagu indee yang aku sendiri tidak begitu mengenalnya.
"Eh Bapak sudah bangun. Makan ya?" kata istriku, kemudian berdiri menghampiri dan mencium pipiku. Aku masih tertegun dengan mimpiku barusan yang begitu tampak nyata. Mungkin karena aku tidur menjelang maghrib. Namun aku bersyukur kalau ternyata anakku baik-baik saja. Putri bukanlah tipe anak layangan dan tersesat menjadi cabe-cabean. Sedangkan Dimas juga bukan tipe anak yang tidak betah di rumah dan menjadi anggota punk.
"Alhamdulillah ya Allah. Engkau karuniai aku dengan anak-anak yang baik dan dijauhkan dari segala mara bahaya," seruku sambil menyeka genangan air di sudut mata.