Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Mamamu Mana, Nak?

30 Desember 2014   21:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:09 130 1
Hujan sudah tak turun lagi pagi ini. Selepas subuh tadi, aku mencoba menikmati pagi yang cerah dengan berjalan-jalan pagi. Rupanya pasar kaget yang dulu aku sering kunjungi bersama sayangku, masih ramai seperti dahulu. Aku lupa mengapa sayangku tidak ikut pagi ini. Bukankah biasanya dia selalu mengikutiku jalan-jalan ke mana saja.

Setelah membeli sebungkus bubur ayam, aku berjalan pulang kembali. Rasanya sudah terlalu jauh aku tadi berjalan dan bertemu dengan banyak orang yang aku sendiri tidak kenal, walaupun mereka menyapa dan menyebut namaku. Aneh. Mengapa aku bisa lupa siapa mereka. Ah sudahlah. Yang penting pagi ini hatiku begitu senang menikmati pagi.

"Assalamualaikum," teriakku saat membuka pintu. Namun tidak ada jawaban salam dari dalam rumah. Ah rupanya ada yang memutar lagu anak-anak keras-keras. Siapa lagi yang menyetel lagu anak-anak di rumah. Bukankah anak-anakku sudah besar-besar.

Aku melangkah masuk ke ruang tamu. Tetapi mengapa perabotan dan hiasan dinding di ruang tamu begitu aneh. Hei... Foto siapa itu yang di dinding. Aku tidak kenal dan aku juga tidak pernah memasangnya. Mengapa ada banyak foto orang-orang yang tidak aku kenal di dinding. Atau anak-anak mulai kurang ajar kepadaku dengan mengganti foto-foto lamaku di dinding ini.

"Ma... Ma....," teriakku mencari istri tersayangku yang biasanya selalu menyambutku datang. Aku masuk ke ruang tengah mencari istriku. Biasanya dia begitu rajin memasak sop bubur ayam beras merah kesukaanku. Sejak aku mengalami pradiabetes, istriku mengganti makanan nasi putih dengan beras merah.

"Aaaaaa.....Ma.... ada orang masuk rumah.....," teriak seorang anak kecil yang baru keluar dari dapur dan berlari ke pintu halaman belakang rumahku.

"Hei... siapa kamu! Kenapa kamu ada di dalam rumahku?" Teriakku sambil berjalan mengikuti anak kecil tadi. Usianya sekitar 5 tahunan. Rambutnya ikal dengan telinga sedikit besar.

Tiba-tiba muncul seorang wanita dengan daster sedikit basah. Tangan kanannya memegang pakaian setengah basah dan sepertinya baru saja diperasnya dengan tangan. Sedangkan tangan kirinya digandoli oleh anak kecil tadi yang berdiri dengan wajah ketakutan.

"Bapak siapa?" Tanya si wanita. Eh aku bingung dengan pertanyaan si wanita tersebut. Bagaimana bisa seseorang bertanya aku ini siapa di rumahku sendiri.

"Eh maaf. Seharusnya saya yang bertanya, kalian ini siapa" Jawabku dengan keheranan.

"Ini rumah saya. Bapak mencari siapa?" Tanya si wanita tersebut. Kali ini nadanya sedikit lebih tinggi dan tegas. Melihat wajahnya yang melotot ke arahku, aku menjadi seperti diremehkan. Bagaimana seseorang membentakku di rumahku sendiri. Andai tidak ada anak kecil di sampingnya, pasti sudah aku balas teriakannya tersebut.

"Eh saya pemilik rumah ini. Justru saya yang seharusnya bertanya, Anda mencari siapa di sini. Atau kalau tidak saya, akan panggil satpam komplek sini untuk mengusir Anda."

Aku berjalan cepat ke pojok ruang tengah tempat meja telpon rumah berada. Hei... Mengapa aku tidak menemukan telpon yang aku maksud. Siapa yang memindahkannya. Perasaan, tadi pagi aku masih gunakan telpon tersebut untuk menyapa saudara-saudaraku yang ada di kota lain. Aku kebingun melihat semua isi rumah telah berubah. Benar saja. Warna cat putih yang ada di dinding sebelah kanan, kini mengapa warnanya berubah menjadi warna krem. Sedangkan dinding yang menghadap ke depan, dicat dengan warna berbeda.

"Bapak..." sapa si wanita tadi. Aku menoleh ke arahnya. Rupanya dia telah mengganti bajunya dengan yang lebih tertutup. Aku berdiri masih dengan perasaan bingung.

Si wanita mendekatiku dan menarik tanganku dengan lembut ke arah meja makan. "Bapak silahkan duduk dulu di sini ya. Saya akan buatkan teh hangat untuk Bapak." Aku menuruti perkataannya, walau masih begitu bingung dengan semua keadaan ini. Aku tidak habis pikir, mengapa isi rumahku berubah dan aku bertemu dengan orang yang tidak aku kenal di rumahku sendiri.

"Nama Bapak siapa?" Tanya si wanita lagi saat datang kembali dengan secangkir teh hangatnya.

"Nama saya...." Tenggorokanku terasa tercekik saat harus menyebut namaku sendiri. Tetapi mengapa aku sendiri menjadi lupa siapa namaku. Apa masalahnya denganku. Tanganku mulai gemetar dengan keringat yang mulai mengucur dari wajah dan leherku. Aku mencoba merogoh saku belakang untuk menemukan dompet.

"Nama saya..." Kali ini aku tidak bisa meneruskan menyebut namaku dengan membaca tulisan di KTP seumur hidupku. Aku lupa membawa kacamata baca yang biasanya tergantung di leher dengan tali hitam, agar tidak mudah hilang. Terkadang istriku yang menyimpannya saat kacamata baca tersebut tertinggal di teras atau bahkan di rumah tetangga.

"Biar saya yang bacakan Bapak," ujar si wanita. Sementara anak kecil yang aku lihat pertama kali tadi duduk di depan televisi sambil makan kripik kentang. Aku menyodorkan KTPku.

"Bapak Suroso ya?" Tanya si wanita sambil membaca data di KTPku. Aku yang mendengar dia menyebut sebuah nama, hanya terdiam. Entah apakah benar atau tidak kalau namaku Suroso. Rasanya aku memang pernah dengar nama tersebut. Tetapi apakah itu namaku?

"Ternyata Bapak memang benar dulu tinggal di sini. Alamat yang tertera di KTP memang masih alamat rumah ini." Aku tetap terdiam dengan penjelasan si wanita. Bagaimana bisa dia menyebutkan kalau aku dulu pernah tinggal di rumah ini. Bukankah sekarang juga masih tinggal di sini. Tetapi mengapa juga aku tidak menemukan istri tersayangku?

"Silahkan Pak di minum tehnya, nanti keburu dingin." Aku mengikuti saran si wanita untuk meminum teh hangat yang diberikannya. Dengan tangan sedikit gemetar, aku mengangkat cangkir duralex yang orang tuaku juga suka mengoleksinya.

"Sebentar Bapak tunggu di sini ya, saya akan coba tanya ke tetangga sebelah. Siapa tahu ada yang bisa membantu Bapak untuk pulang." Sejurus kemudian, si wanita sudah melangkah ke arah pintu depan. Aku tidak mengerti mengapa dia ingin membantuku pulang. Padahal aku sekarang sudah pulang ke rumah.

Entah berapa lama kemudian, si wanita datang kembali dengan seorang pria. Mungkin dia suaminya.

"Papa. Kita pulang yuk. Kami mencari Papa hampir 3 jam, di pasar, namun tidak juga ketemu," kata si pria sambil mencium tanganku.

"Siapa kamu?" Aku benar-benar tidak kenal dengan si pria yang katanya dia mencariku selama 3 jam.

"Papa, saya Antonio, anak Bapak."

"Antonio... Antonio..." Otakku bekerja keras untuk menemukan file yang bernama Antonio. Apa benar anakku bernama Antonio. Atau jangan-jangan dia hanya mengaku-aku saja.

Tiba-tiba aku ingat sesuatu. "Oh iya, Antonio. Mengapa kamu sudah pulang. Bukankah kamu bekerja di luar negeri." Aku tersenyum puas karena file tentang Antonio masih bisa aku temukan di ruang kepalaku.

"Papa... Aku sudah kembali ke Indonesia sejak 5 tahun yang lalu dan tinggal dengan Papa di rumah."

"Mana Mamamu? Mengapa dia tidak ada di rumah ini."

Antonio hanya terdiam mendengar pertanyaanku. Wajahnya tampak meredup dengan mata berkaca-kaca.

"Mama sudah berpulang, 5 tahun yang lalu Pa."

Aku terdiam. Tidak mengiyakan dan juga tidak membantahnya. Rasanya informasi yang disebutkan oleh Antonio tersebut sama sekali tidak ada dalam kepalaku. Bukankah tadi pagi istriku masih membangunkanku untuk sholat subuh dan olah raga pagi.

"Ayo Pa kita pulang sekarang." Antonio memegang lenganku untuk membantuku berdiri.

"Bukankah kita sudah di rumah?" Tanyaku.

"Iya Pa. Kita pulang ke rumah yang lain ya," jawab Antonio dengan suara lirih.

Aku menuruti perkataan Antonio dengan beranjak berdiri.

"Mbak, terimakasih sudah menghubungi saya tadi. Mohon maaf bila sudah membuat Mbak repot," ujar Antonio kepada wanita yang memberiku teh tadi.

"Iya ghak apa-apa. Saya bisa paham," jawab si wanita.

"Mamamu mana nak?" Tanyaku lagi pada Antonio sesaat setelah mobil bergerak maju. Antonio hanya terdiam sambil mengusap linangan air matanya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun