Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Anda (?)

12 Februari 2011   20:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:39 62 0
"Anda mau kemana ?"

Perempuan itu cuma bisa berlari sekuat-kuatnya menerjang hujan yang tampaknya lebih mudah untuk ditembus ketimbang menjawab pertanyaan lelaki  berumur lima tahun lebih tua yang berada di hadapannya tadi.

Lelaki itu tak berbalik mengejarnya, apalagi berusaha menarik tubuh mungil perempuan itu yang sudah terlanjur basah hanya untuk mencari tahu 'kenapa'. Ia lebih memilih menghabiskan tiga perempat kopinya yang masih panas.

Perempuan itu lega. Meskipun sebagian dari hatinya bergejolak miris. Persisnya Ia tahu kenapa, cuma Ia yang tahu. Sementara lelaki itu tidak.  Tidak perlu, mungkin lebih tepatnya. Sejurus kemudian Ia melangkahkan kakinya untuk meneduhkan sebagian besar dirinya yang sudah terlalu basah terkena  hujan di sebuah halte yang lumayan sesak.

"Kehujanan, dek ?"

Bodoh sekali ini orang. Pikirnya. Sudah tahu hujan dan saya basah, masih saja bertanya.

Dengan memaksa, perempuan itu menoleh kepada si empunya suara. "Iya, Pak," Senyumnya canggung, mungkin delapan puluh persen dipaksa, sementara dua puluh persennya lagi hasil perasaan tidak enak-nya.

Bapak itu kembali tidak peduli. Setelah bersusah payah menggeser tubuhnya untuk mempersilakan si perempuan masuk dalam kerumunan 'penunggu hujan reda' itu, Ia kembali tenggelam dengan memencet-mencet handphone jadulnya lagi.

Perempuan itu menarik nafas. Lega. Sambil mencoba menyesap aroma kopi yang masih tertinggal di saku bajunya. Ia membaui hujan. Sejurus kemudian pikirannya  melayang, menghambur, sesuka hujan membawanya kemana.

"Anda tidak pernah merasakan seperti ini,"

"Bagaimana Anda bisa tahu bahwa orang yang hampir setengah umur saya yakini itu Anda ?"

"Anda bisa membaca perasaan? Lucu bukan? Seharusnya Anda mengerti bahwa perasaan saya sudah hampir mati, gara-gara Anda."

"Sebentar lagi saya akan menikah. Tolong Anda jangan datangi hidup saya. Anda cuma lima belas tahun lalu dalam hidup saya. dan sekarang Anda bukan apa-apa lagi."

"Lebih baik seperti ini bukan ? Anda tetap menjadi Anda, dan saya tetap menjadi saya,"

"Saya sudah tidak bisa mengenali Anda lagi. Kenapa ? Karena Anda tetaplah Anda,"

"Anda mau kemana?"


Air matanya luruh, berbaur rintik hujan yang terkadang menjatuhi sisi atas kepalanya dari atap halte yang bolong. Ia menengadahkan wajahnya. Membiarkan rintik hujan sesekali mampir di wajahnya yang tirus. Membiarkannya jatuh membasahi pipinya. Lalu mengalir mengairi wajahnya yang tampak mengering selama beberapa tahun.

"Kamu tahu, saya cuma bisa bilang maaf."

"Saya tahu. Saya adalah Anda buat kamu, dan nggak bisa jadi apa-apa lagi, ataupun menjelma dalam wujud panggilan apa-apa lagi, selain Anda."

"Maaf. selamat tinggal."




"Dek, awas itu atapnya bocor. Sama aja kena hujan nanti." Bapak itu kembali peduli dengan sekitarnya, termasuk dengan perempuan itu-yang dilihatnya tambah basah kuyup.

Seorang Ibu disebelah si Bapak mengeluarkan satu helai tissue. "Pak, ini tolong dikasih sama adek ini,"

Bapak itu mengambil sehelai tissue dari tangan istrinya. Perempuan menyambutnya dengan ragu.

"Terima kasih," Senyumnya datar. Masih dipaksa. Pasangan suami istri tersebut tidak tahu, bahwa Ia baru saja mengalami hujan yang dasyat.

"Nama kamu siapa dek ?"

"Anda, Pak,"

Hujan hampir reda. Meskipun badai di sudut hatinya yang paling dalam tidak kunjung usai. Perempuan itu memilih meninggalkan halte ketika hujan masih menyisakan rintik-rintiknya. Ia ingin menuju ke suatu tempat - yang bahkan Ia sendiripun tidak tahu kemana. Perempuan itu hanya mencoba melangkah, ke tempat dimana sesuka hujan membawanya. Ke tempat, dimana mungkin - Ia harus berganti nama dan mencopot segala keterasingannya : Anda.

"Anda mau kemana ?"

"Ke tempat kemana kamu nggak lagi memanggil saya 'Anda' dan saya nggak lagi menjadi seorang 'Anda' untuk kamu,"



KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun