Aku menengoknya sejenak, betulkah ia bisa memberiku refresh?
"Ayolah, bangun," ajaknya lagi seraya menarik lenganku.
"Kemana?"
"Dugem."
"Dugem?"
"Ya, kita mabuk gembira ria disana."
"Aku tak mau, Kawan. Sudah lama aku tobat dari mabuk-mabukan setan, maka jangan kau ajak lagi aku kesana."
Ia tersenyum.
"Tenanglah. Di diskotik sufi, tak ada minuman haram. Minuman surgawi tak ada yang memabukkan, tak ada yang menghinakan akal pikiran. Justru sebaliknya, semakin kita sering meminumnya, pikiran kita akan semakin sadar dan waras."
"Diskotik sufi? Di mana?"
"Sudahlah jangan banyak tanya dulu. Ikut saja nanti juga kamu akan tahu."
Aku pun tak kuasa menolak lalu segera beranjak dari pembaringan. Berdandan ala kadar yang penting tak terlalu tampak acak-acakan.
Khotib, kawan setiaku, kulihat sudah menunggu diatas sepeda motornya sambil mengusap-usap rambutnya yang tak karuan potongan.
"Ayo," teriak semangatku usai duduk dibelakangnya.
"Siap?" tanyanya meyakinkan lalu wusss. Kegelapan malam kami tembus. Disaksikan para bintang, malaikat, pepohonan, aspal hitam, angin malam, kami melaju meninggalkan mereka menuju kota penuh lampu-lampu, kendaraan berseliweran, setan-setan marakayangan, cucu-cucu Iblis yang sedang mesra bergandengan tangan.
Dan, entah dalam berapa menit perjalanan ini kami tempuh hingga sepeda motor yang aku tumpangi berbelok masuk ke pelataran parkir didepan sebuah bangunan megah nan indah, SELAMAT DATANG DI DISKOTIK SUFI, begitulah tulisan yang terpampang dengan menggunakan lampu-lampu hias aneka warna.
"Come on, Kawan," seru Khotib.
Bak kerbau dicocok hidung, aku masuk membuntut seretan tangannya.
"Kamu diam disini. Aku mau lapor dulu. Diskotik sufi berbeda dari diskotik yang lain."
Aku mengangguk pada bisikannya meski entah dengan apa yang ia maksud dari kata-katanya, 'berbeda dari diskotik yang lain'.
Tak menunggu lama ia kembali datang.
"Kamu sudah ditunggu didalam," ujarnya yang cuma kusambut anggukan tak paham.
Didalam ruangan, begitu terang, mungkin efek dari ruangan luar tadi yang hanya diterangi lampu disko. Mungkin ini yang ia sebut berbeda dari diskotik lain. Ya, ruangan didalam ini, ruangan sang manager, mungkin, begitu adem ayem tentrem.
Kawan, sekedar info tak penting, dulu aku adalah pelanggan berat diskotik-diskotik jakarta. Club 300di Jalan Boulevard Timur Raya Komplek Kelapa Gading Permai Bl NB-1/46-47, atau, Furama International Executive Club di jalan Hayam Wuruk 72, atau Grand Manhattan Club di jalan Lapangan Banteng 1 Hotel Borobudur Jakarta Lt 1-3.
atau Hailai Discotheque & Night Club di jalan Lodan Timur, atau diskotik-diskotik lain yang aku sudah lupa nama-namanya. Dan kini aku berada disebuah diskotik yang namanya sama sekali asing ditelinga. Diskotik Sufi, sebuah nama yang memadukan dua dunia yang berbeda, hitam dan putih. Diskotik yang kukenal sejak lama adalah tak lebih dari sarang pelamunan, khayalan hampa dunia, buaian nafsu syahwat. Sementara, sufi yang kudengar adalah sebuatan bagi para pengabdi Tuhan sejati, pengabdi-pengabdi ilahi yang tulus lahiri dan batini. Lalu kenpa, Khotib, mengajakku kemari? Ke dunia yang antara, Diskotik dan Sufi yang digabungkan tanpa pernah ada permusuhan. Apa maksudnya? Apakah ia ingin memberiku kesadaran lain setelah kemarin-kemarin aku diseret tobat olehnya dari hitam menuju putih, dari diskotik menuju masjid yang khusyuk. Apa maksud dari semua ini, Khotib?
"Apakah kamu betul-betul sudah siap mengikuti jalan ini?" mungkin begitu arti tatap mata seorang muda di depanku yang sejak tadi menatapku dalam diam.
"Ya, aku sudah siap atas apapun yang engkau bebankan padaku," begitulah tekad hati tundukku dihadapannya.
Dan, talqin diskotik sufi itu pun terjadi hingga aku resmi menjadi pelanggan tetap diskotik ini.