Bagi sebagian kalangan, pembelajaran sejarah sering dianggap sebagai pelajaran yang: membosankan, hapalan,  jenuh, bikin
ngantuk, tidak menarik. Asumsi negatif tentang pelajaran sejarah harus diubah dan dibenahi, karena sejatinya sejarah adalah pelajaran yang penting dan berharga untuk diajarkan bagi generasi bangsa ini. Saking pentingnya pelajaran sejarah bagi Bangsa Indonesia, Ir. Soekarno yang merupakan Proklamator Kemerdekaan Indonesia sekaligus Presiden pertama Indonesia, berpidato pada tanggal 17 Agustus 1967 "Jas Merah (Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah), kemudian Bung Karno juga mengungkapkan bahwa "Bangsa Yang Besar, Adalah Bangsa Yang Menghargai Jasa Para Pahlawannya". Begitu pentingnya sejarah sebagai sarana belajar, sarana untuk lebih nasionalis (cinta tanah air), Â maka tidak salah ada ungkapan "Jika Ingin Menghancurkan Suatu Bangsa, Hapus Semua Mata Rantai Sejarah Bangsanya". Â Melihat fenomena di lapangan bahwa pelajaran sejarah yang mempunyai asumsi negatif, bisa dikatakan bahwa selama ini pembelajaran sejarah dilakukan dengan cara monoton, tidak menarik, ceramah konvensional,
teacher centered. Tapi pelajaran sejarah memang tidak akan pernah lepas dari metode ceramah, karena pada dasarnya bagaimana seorang guru bisa mendeskripsikan atau memaparkan suatu peristiwa sejarah kalau tidak ceramah, guru bisa menggunakan metode ceramah dengan inovasi agar menarik perhatian peserta didik, ceramah dengan monolog, ceramah yang memotivasi, ceramah yang diberi sedikit humor agar pembelajaran tidak kaku, serta guru harus mempunyai kemampuan retorika dalam penyampaian materi pembelajaran sejarah.                                                                                                                     Untuk mengubah stigma negatif tentang pelajaran sejarah, maka hendaknya guru yang mengajar pelajaran sejarah harus banyak inovasi dalam pembelajaran, karena zaman yang semakin maju dan teknologi yang berkembang semakin pesat menuntut guru harus menyesuaikan dengan pembelajaran di kelas. Maka dari itu, pembelajaran
student centered learning dengan model PJBL menggunakan media
Pop Up merupakan salah satu inovasi dalam pembelajaran sejarah, karena mendorong para peserta didik agar lebih kreatif, aktif, terampil, bertanggung jawab, kerja sama, kemandirian.
Project based learning (PjBL) adalah model pembelajaran yang menjadikan peserta didik sebagai pusat pembelajaran, menitikberatkan proses belajar yang memiliki hasil akhir berupa produk. Artinya, peserta didik diberi kebebasan untuk menentukan aktivitas belajarnya sendiri, mengerjakan proyek pembelajaran secara kolaboratif sampai diperoleh hasil berupa suatu produk. Itulah mengapa kesuksesan pembelajaran ini sangat dipengaruhi oleh keaktifan peserta didik.
Project based learning adalah model pembelajaran berupa tugas nyata seperti kerja proyek, berkelompok, dan mendalam untuk mendapatkan pengalaman belajar yang bermakna. Â Dengan menggunakan model PJBL dan media proyek
pop up, pembelajaran sejarah tidak akan monoton dan membosankan, karena dalam pembelajaran ini justru peserta didiklah yang menjadi pusat pembelajaran. Proyek pop up ini, diaplikasikan di kelas 12 IPS di SMAN 1 Margaasih dengan materi "Sistem Politik, Ekonomi, dan Sosial Pada Masa Demokrasi Liberal (1950-1959) dan Demokrasi Terpimpin (1959-1965)", Â mengapa proyek
pop up yang dipilih? karena, bagi sebagian peserta didik
pop up merupakan hal yang baru mereka ketahui,
pop up sebelumnya tidak digunakan sebagai media pembelajaran oleh guru mata pelajaran lain, peserta didik ada yang mengetahui
 pop up tetapi tidak pernah membuatnya secara langsung hanya tahu dari internet. Sebelum masuk pengerjaan proyek
pop up, guru memperlihatkan sebuah video/gambar apa itu
pop up beserta tata cara pembuatannya, bentuk
pop up, alat-alat yang digunakan, dan durasi pengerjaan.                                               Untuk proyek
pop up ini, guru bisa menugaskan peserta didik secara berkelompok, jumlah kelompok dalam satu kelas enam kelompok, masing-masing kelompok berjumlah enam orang (asumsi jumlah peserta didik 36 orang dalam satu kelas), pembagian kelompok pop up bisa ditentukan oleh guru dengan cara dikocok nama-nama peserta didik, setelah pembentukan kelompok kemudian guru membagi bahasan materi kepada masing-masing kelompok, guru membebaskan bentuk
pop up seperti apa (berupa buku/
pop up book atau box) dan alat-alat yang digunakan untuk pengerjaan proyek
pop up (kardus,
styrofoam, kertas duplex, karton, dll), guru  menentukan
timeline dan
deadline waktu pengerjaan proyek
pop up, selanjutnya
pop up yang sudah selesai dikerjakan secara berkelompok akan dipresentasikan di depan kelas. Karena dalam proyek
pop up memakai model PJBL (penerapan model PJBL dalam pembelajaran biasanya lebih dari satu pertemuan), pengerjaan proyek
pop up tidak mungkin berlangsung selama satu pertemuan perlu dua atau tiga pertemuan untuk menyelesaikan proyek
pop up ini, kuncinya guru harus konsisten dalam pemberian waktu pengerjaan proyek
pop up agar tidak memakan waktu yang lama.
 Guru bisa menentukan
 apakah
pop up akan dikerjakan terlebih dahulu sebagian (60%) secara berkelompok di rumah masing-masing, kemudian pengerjaan di sekolah tinggal bagian yang belum dikerjakan/
finishing (40%), atau pengerjaan proyek
pop up dilakukan di sekolah mulai dari 0. Hal yang tidak boleh dilupakan, guru mengingatkan peserta didik supaya membawa alat dan bahan untuk pengerjaan
pop up di sekolah, bila ada salah satu kelompok yang tidak membawa alat dan bahan entah itu ketinggalan atau lupa harus menjadi perhatian dan catatan khusus dari guru agar peserta didik bertanggung jawab dan bersungguh-sungguh. Selama pengerjaan
pop up di sekolah guru secara aktif membimbing serta mengarahkan, guru juga berkeliling mamantau proses pembuatan
pop up pada masing-masing kelompok. Peserta didik aktif berdiskusi dengan rekan kelompoknya mengenai bahasan materi kelompoknya atau bentuk Â
pop up yang akan dibuat akan seperti apa, serta bahan yang digunakan. Setelah selasai membuat proyek
pop up, untuk pertemuan selanjutnya
pop up tersebut dipresentasikan secara berkelompok di depan kelas (satu pertemuan, tiga kelompok), ketika presentasi peserta didik terlebih dahulu menjelaskan proses pembuatan
pop up yang meliputi: bahan, alat, bentuk, kendala selama pengerjaan, kemudian membahas materi. Ketika presentasi, ada sesi tanya jawab yang dilakukan oleh kelompok lain yang belum tampil, diakhir pembelajaran guru kemudian mereflesikan pembelajaran dan mengaitkannya dengan materi kelompok yang sudah tampil. Guru merasa selama pengerjaan
 pop up berlangsung banyak peserta didik yang antusias, kreatif, aktif, terampil, bekerja sama, banyak ide-ide keren yang muncul dari para peserta didik untuk pengerjaan proyek
pop up, sedangkan dari sudut pandang  peserta didik pembelajaran sejarah menjadi lebih menyenangkan, mengasyikan, tidak monoton, peserta didik seperti menemukan pengalaman baru karena mereka membuat sebuah karya yaitu
pop up sebagai media pembelajaran.Â
KEMBALI KE ARTIKEL