Dahlan Iskan sukses memimpin perusahaan. Â Tidak ada seorangpun yang meragukan, apalagi mengingkari kenyataan itu. Bahkan belum lama ini, pengamat BUMN, Said Sidu di berbagai media sempat mengungkapkan bahwa sebagai calon Menteri BUMN pengganti Mustofa Abubakar, sang CEO Jawa Pos (JP) yang kemudian didapuk Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) sebagai Dirut Perusahaan Listrik Negara (PLN) itu, memiliki kapasitas yang tidak dimiliki oleh orang lain. Beberapa kelebihan yang dimiliki Dahlan, menurut Sidu, di antaranya; memiliki gaya, kepemimpinan yang elegan, dapat berkomunikasi langsung dengan Presiden, sehingga dapat mengurangi intervensi non-korporasi dari pihak lain, dan cepat dalam mengambil keputusan. Dahlan juga dinilai memiliki integritas yang tinggi, serta mempunyai pengetahuan korporasi yang cukup. "Saya yakin di bawah kepemimpinan beliau (Dahlan Iskan), BUMN dapat lebih baik lagi. Beliau memiliki segalanya baik dari sisi integritas maupun pengalaman dia di bidang bisnis," demikian dikatakan Sidu yang juga Mantan Sekretaris Kementerian BUMN kepada sejumlah media. Benar sekali yang dikatakan Sidu. Soal memimpin perusahaan, Dahlan
is the best. Sejarah telah membuktikan itu ! Ketika saya mencoba searching di
Google tentang sepak terjang seorang Dahlan, ada ratusan tulisan yang menggambarkan betapa Dahlan adalah enterpreneur sejati yang piawai dalam mengolah bisnis. Banyak orang mengulas tentang prinsip-prinsip dasar pria kelahiran Magetan itu dalam memanage JP-nya sehingga mampu membuat perusahaan  koran yang hampir mati itu sehingga menjadi perusahaan penerbitan-yang berdasarkan hasil riset AC Nielsen awal tahun 2009, merupakan koran terbesar di Indonesia. Satu hal yang menjadi catatan banyak orang, terutama dari kalangan pengamat ekonomi. bisnis dan media, kunci sukses Dahlan lantaran dia membuat skala demi skala prioritas di dalam perusahaan. Diantaranya:  menempatkan perusahaan di list pertama prioritas, masih perusahaan di list kedua prioritas, dan tetap perusahaan di list ketiga prioritas. Sedangkan karyawan, berada di list ke empat prioritas. Dalam menjalankan perusahaan, Dahlan juga disebut-sebut pemimpin yang ogah memegang prinsip
"right man on the right place". Loyalitas bawahan adalah hal terpenting di dalam perusahaan. Semua anak buahnya harus siap ditempatkan di mana dan kapan saja. Menolak, membantah berarti karyawan tersebut harus siap mengundurkan diri atau dikucilkan di tempat yang tidak enak. Bukan rahasia lagi bila bermunculannya banyak anak perusahaan baru JP adalah cara lain Dahlan untuk 'meminggirkan' bawahan yang dinilai tidak lagi 'klik' dengan kebijakannya. Wajar bila sampai saat ini, belum terlihat atau muncul
'The Golden boy' dari internal perusahaan JP yang digadang-gadang bisa mewarisi kepemimpinan Dahlan. Kalaupun ada beberapa nama 'Golden Boy' yang sempat memunculkan spekulasi banyak pihak, ternyata itu tidak berlangsung lama. Dalam hitungan bulan, nama yang dimaksud, dengan sendirinya  akan tenggelam. Bila tidak menjadi salah satu jajaran pemimpin di anak perusahaan baru JP, ya benar-benar hengkang dari perusahaan yang berkantor pusat di Surabaya itu. Itulah sekilas tentang kehebatan sang pemimpin perusahaan koran yang juga mantan wartawan majalah Tempo, Dahlan Iskan yang juga telah banyak diketahui orang, terutama orang-orang yang berkecimpung di dunia industri pers dan media massa. Tapi sepertinya, ada catatan kecil yang banyak 'dilupakan' orang. Yakni, bagaimanakah bila Dahlan tiba-tiba ditasbihkan menjadi seorang
'anak buah' dari sebuah 'perusahaan besar' bernama negara yang bosnya, nota benenya adalah Presiden. Artinya, di 'perusahaan' nya yang sekarang, Dahlan bukan lagi bertindak sebagai pemimpin yang bisa menentukan hitam putihnya kebijakan. Masihkah prinsip yang seakan-akan menempatkan
'bawahan dalam genggaman' itu akan setia dia jalankan sebagai seorang 'bawahan' yang loyalis, bukan sebagai big bos? Ataukah dia akan memilih menjadi
'the right man' yang profesional menempatkan diri di
'the right place'. Berani menentukan, bahkan menolak keputusan yang berseberangan dengan profesionalisme (baca=hati nurani)? Pasalnya, kita semua tahu bahwa sistem demokrasi di negara ini tidak bisa dipisahkan dari berbagai kepentingan. Kepentingan parpol, kepentingan golongan. Bahkan tak jarang adalah kepentingan pribadi. Dan Menteri BUMN adalah posisi strategis yang pastinya paling menjadi 'incaran' banyak pihak. Tak terkecuali kepentingan the big bos.
Tidakkah Anda penasaran, di posisi mana seorang Dahlan akan berpijak? Bila Dahlan memilih menjadi
LOYALIS berarti dia memang konsisten dengan pola yang diterapkannya di JP. Tapi bukankah itu berarti seorang Dahlan ternyata sama saja dengan para pendahulunya. Tapi bila memilih menjadi TheÂ
RIGHTMAN yang profesional dan memiliki nilai tawar lebih. Bahkan bisa mem-pressure 'bos' dengan profesionalismenya, sama artinya dia menjlentrehkan 'pembelajaran' yang keliru tentang kepemimpinan sebuah perusahaan di jajaran anak buahnya di JP selama ini. Dan yang jelas, seandainya hari ini saya masih tercatat sebagai karyawan di salah satu anak perusahaan JP, pastinya saya tidak akan merasa se'merdeka' ini menyampaikan gagasan tentang sosok seorang Dahlan ke ranah publik. Bahkan  dari posisi redaktur atau pemimpin redaksi sekalipun, bisa-bisa saat ini saya sudah berganti jabatan menjadi SATPAM. wassalam foto:riaupos
KEMBALI KE ARTIKEL