Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Saatnya Kyai Sepuh Bicara (Ketika Tuntunan Mulai Menjadi Tontonan)

22 November 2011   09:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:21 1117 4
Pada sebuah Sekolah Dasar (SD) Guru :Nak, apa cita-citamu? Siswa:Ingin menjadi ustadz pak guru .. Guru :Kenapa ingin jadi ustadz? Siswa:Supaya bisa terkenal, masuk tivi, punya uang banyak, bisa beli mobil, rumah dan lainnya.. Sebuah dialog, fiksi. Tapi bisa jadi akan menjadi friksi nyata dalam dinamika perkembangan syiar Islam yang (sepertinya) dipaksakan masuk ke satu ranah yang melenceng dari khitoh awal. Kini, bicara tentang syiar, bukan lagi semata-mata bicara tentang tuntunan yang tersampaikan lewat piranti dan pitutur luhur, tapi juga tontonan liar dan vulgar yang mengetengahkan perilaku-perilaku tak wajar sang penceramah (baca=ustadz). Ini preseden buruk di tengah-tengah umat yang sedang bersungguh-sungguh menata kesempurnaan iman. Salah benar, wallahualam bi shawab. Bukan porsi saya untuk menyatakan mana yang haq dan tidak. Karena sama seperti yang lainnya, saya juga hanya menjadi salah satu dari sekian banyak umat yang masih terus belajar dan belajar untuk menggapai kesempurnaan iman itu. Semakin lama memperhatikan perkembangan kegiatan syiar, utamanya yang memanfaatkan prasarana media elektronika, semakin terasa bila kehadiran seorang da'i, penceramah, ustadz kini tak ubahnya seorang selebritis. Kemunculan mereka, tak lagi pada batas acara-acara da'wah semata. Seiring popularitas yang mereka dulang dari suksesnya suatu program acara da'wah, wajah mereka pun mulai kerap wara wiri di berbagai acara lainnya. Tak terkecuali acara gossip infotainment. Ironisnya, selayaknya artis papan atas, segala tetek bengek kehidupan pribadi mereka pun mulai terumbar ke  ranah publik. Dan ketika episode demi episode tontonan 'dapur' berikutnya tak lagi matching dengan alur cerita manis seperti yang dikagumi para jemaah sebelumnya. yang terjadi selanjutnya justru antipati, kebencian, dan kemarahan. Inilah yang saya maksudkan sebagai preseden buruk. Jangan sampai kegiatan yang seharusnya bertujuan MEMULIAKAN agama Islam justru menciptakan gambaran-gambaran buruk akannya, lantaran perilaku para 'panutan' yang tidak siap mentasbihkan diri sebagai guru yang layak digugu dan ditiru. Suatu saat saya pernah berdiskusi tentang hal ini dengan seorang teman, mencoba meruntut, bagian mana sebenarnya yang salah dari ketimpangan situasi ini? Menurut teman saya,  karena media (berikut posisinya sebagai ranah bisnis dan industri) yang mentasbihkan seseorang sebagai 'da'i' atau ustadz menjadi populer dan terkenal, maka sudah selayaknya medialah yang harus mulai berinstropeksi, membenahi diri dari sekarang. Diharapkan media lebih selektif lagi memunculkan ustadz-ustadz yang menjadi panutan. Kredibilitas, kandungan keilmuwan, menjadi harga mutlak yang harus dipertimbangkan. Karena ini (agama) adalah masalah tuntunan, dan bukan sekedar tontonan. "Da'wah tidak bisa dikompetisikan seperti acara idol karena ini berakar dari panggilan hati nurani,pengabdian, keikhlasan, keinginan tanpa pamrih. Bukannya karena didasarkan pada keinginan atau motivasi untuk menjadi populer dan harapan mendapatkan hadiah-hadiah. Sekarang ini, baru hafal beberapa ayat saja, bisa berkata bismillah, Alhamdulillah saja sudah dianggap layak berda'wah," kata teman saya tersebut, menyoroti maraknya kompetisi dak'wah di sejumlah statsiun televisi. Kegelisahan atas munculnya para 'ustadz selebriti' juga sempat mendapatkan kritisi dari seorang ustadz Ahmad Sarwat. Lewat blog pribadinya ustadz Sarwat menuliskan: Yang namanya berceramah, memang boleh siapa saja dan juga bisa bicara apa saja. Dari masalah-masalah yang perlu sampai yang tidak perlu. Dengan merujuk langsung kepada literatur hingga yang hanya ngelantur. Yang penting memenuhi selera penonton. Dan biasanya ceramah mereka selain lucu, juga komunikatif serta seringkali mengangkat masalah yang aktual. Sehingga yang mendengarkannya betah duduk berjam-jam. Itu sisi positifnya. Sisi positif lain, penceramah model begini adalah mampu merekrut massa yang lumayan banyak. Mungkin karena juga dibantu dengan media. Tetapi kekurangannya juga ada. Misalnya, umumnya mereka bukan orang yang lahir dan dibesarkan dengan tradisi keilmuan yang mendalam. Juga bukan jebolan perguruan tinggi Islam dengan disiplin ilmu syariah. Padahal point ini cukup penting, sebab yang mereka sampaikan ajaran agama Islam, tentunya mereka harus mampu merujuk langsung ke sumbernya. Agar tidak terjadi keterpelesetan di sana sini. Yang kedua, kelemahan tokoh yang dibesarkan media adalah akan cepat surut sebagaimana waktu mulai terkenalnya. Pembesaran nama tokoh lewat media itu memang demikian karakternya. Cepat membuat orang terkenal dan cepat pula 'melupakannya'. Yang dimaksud dengan melupakan maksudnya adalah bahwa media bisa dengan mudah menampilkan sosok baru. Dan sosok lama akan hilang sendirinya dari peredaran. Saatnya Kyai Sepuh Bicara. Bila seorang siswa berbuat salah, sudah selayaknya seorang guru menegur dan memberikan pembelajaran, menunjukkan hal-hal baik yang seharusnya dilakukan sang siswa. Lalu, bila sang guru yang salah, siapakah yang berhak memberikan arah? Secara aturan administratif dan hirarki, tentulah ada kepala sekolah dan ada lembaga pendidikan yang berhak menanganinya. Sedangkan secara sosial, peran para tokoh yang dituakan, sarat dengan pengalaman jadi begitu penting. Kondisi sekarang ini, menurut hemat saya, sudah saatnya para kyai sepuh (baik dari NU maupun Muhammadyah) ikut bicara. Agar umat seperti saya, yang terus terang mulai apatis dengan kegiatan-kegiatan syiar para ustadz selebritis memiliki kepercayaan penuh kembali. Kepercayaan untuk memandang sebuah kegiatan da'wah dimanapun itu, sebagai suatu upaya untuk mengangkat nilai-nilai kemuliaan agama Islam. Bukan sebagai ajang mengukuhkan popularitas untuk tujuan samar yang tidak diimbangi dengan konsekwensi-konsekwensi logis sebagai tokoh yang layak jadi panutan. Rais Syuriah PBNU, KH. A. Mustofa Bisri atau  Gus Mus, atau yang lainnya, tokoh yang dituakan dalam Muhammadyah, selayaknya memberikan pencerahan atas permasalahan umat yang sudah tidak bisa lagi dianggap remeh ini ... semoga ** =====================

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun