Dilahirkan di sebuah desa kecil yang mayoritas penduduknya ber-etnis China, membuat saya mengerti beberapa kebiasaan dan tradisi unik mereka. Salah satu yang menurut saya cukup menarik adalah cara pandang mereka terhadap laki-laki dan perempuan Jawa. Mayoritas keluarga ber-etnis Cina di daerah lahir saya, Desa Kuwu, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, cenderung mengawinkan anak laki-laki mereka dengan perempuan ber-etnis sama yang berasal dari kerabat dekat. Namun, anehnya, meski sudah memiliki istri, tidak sedikit pula pihak keluarga laki-laki yang akan menyuruh anaknya itu untuk memiliki WIL (Wanita Idaman Lain) atau 'simpanan' dari kalangan perempuan Jawa. Pasalnya, dalam pandangan atau keyakinan mereka, memiliki 'simpanan' perempuan Jawa akan membawa hoki bagi kehidupan ekonomi keluarga. Inilah mengapa di sejumlah kawasan pecinan, termasuk di desa saya tersebut banyak ditemukan laki-laki China 'berselir' perempuan Jawa. Kenapa hanya jadi selir? Menurut beberapa sahabat pria China saya, tradisilah yang menjadikan mereka terpaksa menempatkan perempuan Jawa yang dicintainya menjadi orang kedua di dalam kehidupannya. Di satu sisi, banyak hal yang membuat para pria China 'tergila-gila' dengan perempuan Jawa. Namun di sisi lain mereka tidak bisa mengabaikan tradisi yang mengharuskan mereka menikah dengan kerabatnya sendiri yang juga ber-etnis China. "Harta warisan keluarga yang harus dipertahankan melalui perkawinan kekerabatan," terang Khoo Bek Jan, salah seorang warga keturunan yang juga memiliki 'WIL' perempuan Jawa. Pria yang akhirnya harus menerima kenyataan tersingkir dari keluarganya karena lebih memilih sang perempuan Jawa sebagai istri sah dan menceraikan istri pertamanya yang China itu, mengakui banyak alasan mengapa dia lebih menyukai perempuan Jawa. Salah satunya adalah sikap setia, kepatuhan dan hormat perempuan Jawa kepada suaminya. Menurutnya, sikap tersebut sulit ditemui pada sosok perempuan China. Terutama perempuan China masa kini. Padahal, menurut dia, berdasarkan sejarah peradaban China, banyak fakta-fakta yang menunjukkan bahwa sesungguhnya, perempuan China pun digambarkan sebagai sosok yang seharusnya menghormati kaum laki-laki. Khusus untuk pandangan masyarakat China terhadap kaum perempuan ini, saya pernah menemukan sebuah tulisan dari rekan kompasioner
di sini. "Kalau saya lebih memilih perempuan Jawa bukan lantaran alasan hoki. Tapi lebih kepada penghargaan perempuan Jawa yang ditunjukkannya kepada laki-laki yang jadi pasangannya. Tapi saya juga tidak menutup mata bila ada yang menjadikan perempuan Jawa sebagai selir karena alasan tersebut (hoki)," terang laki-laki yang memiliki nama Jawa Kamijan. Ditambahkannya, tidak sepatutnya perempuan Jawa disamakan dengan berbagai benda pembawa hoki seperti yang saat ini banyak diyakini oleh masyarakat China. Seperti diketahui, masyarakat China memiliki banyak simbol yang dikait-kaitkan dengan hoki, misalkan Ikan Koi, Bambu Rizki, dan sebagainya. "Saya ingin istri saya menjadi teman hidup suami, bukan hanya sebagai semata-mata pembawa hoki. Bila kehidupan suami istri baik, tidak ada yang merasa diuntungkan dan dirugikan, dengan sendirinya aura postif itu akan datang di keluarga kami. Itulah hoki yang sebenarnya .."jelas Kamijan yang juga telah menjadi muslim. Sementara itu, berbeda dengan pandangan keluarga China terhadap perempuan Jawa yang membawa hoki, akan sulit dijumpai perempuan China bersuamikan laki-laki Jawa. Ini tak lepas dari pandangan bahwa mengawinkan anak perempuan China dengan laki-laki Jawa merupakan aib dan simbol kebangkrutan. Kondisi ini pernah diungkapkan salah seorang sahabat saya, seorang perempuan China yang harus merelakan cintanya kandas karena mencintai laki-laki Jawa. "Sampai kapanpun keluarga saya tidak akan pernah merestui hubungan cinta kami. Karena dia orang Jawa," katanya. Sahabat saya yang sangat benci dengan panggilan Chinanya: Tan Mei Lan itu akhirnya menikah dengan laki-laki China yang masih kerabatnya sendiri. Kini, dia, suami dan beberapa saudaranya membangun 'kerajaan keluarga' berupa sederetan ruko yang saling berdekatan di kawasan rumah induk, yang merupakan rumah orangtuanya dulu. "Keluarga kami tidak menginginkan harta warisan kami jatuh kepada keturunan Jawa," ungkap sahabat saya memberikan alasan. Dikatakan, laki-laki Jawa, di mata keluarga China merupakan simbol kemalasan, simbol orang 'nomor dua' yang tidak akan membawa kemakmuran keluarga. Padahal, di dalam keluarga China, pekerjaan, kebendaan, adalah hal yang paling utama. Bahkan, beberapa sahabat China saya yang lain mengungkapkan, sikap kompromis dalam berbisnis pada laki-laki Jawa dianggap akan merugikan usaha. Di dalam masyarakat keturunan China, bekerja adalah hal yang paling utama. Dalam urusan bisnis, keluarga China sangat tegas dan tidak ada kompromi. Bahkan kepada sanak saudara sekalipun. Sekecil apapun jumlah rupiah yang kami dapatkan berarti keuntungan .. Ilustrasi:Google image
KEMBALI KE ARTIKEL